Share

Kehilangan

Penulis: Purwa ningsih
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-09 08:09:49

"Istrimu keguguran lagi. Dokter bilang, kandungannya sudah lima minggu. Keguguran karena stres, kelelahan." Mamanya bicara pada Devan yang baru saja datang.

Tak ada jawaban. Devan tak merespon perkataan Mamanya. Ia malas melakukan apa pun, termasuk bicara.

"Maaf, Mas."

Devan memeluk istrinya dari belakang saat tengah melamun menatap ke luar jendela. Pandangannya terasa kosong. Lagi Zahira menangis. Devan membalikan tubuhnya menghadapnya. Menghapus air matanya perlahan. Mengecup keningnya lama istrinya terisak lalu memnamkan wajahnya di dada Devan.

"Maaf."

"Aku juga sedih, Sayang. Sudah jangan nangis lagi."

"Mas."

"Hmm?"

"Aku gak bisa memberikan kamu keturunan."

"Kita bisa ya." Devan menenangkan istrinya.

"Aku ngak yakin. Ini sudah kali ketiga aku keguguran, Mas."

Devan menggelengkan kepala. "Kita usaha sama-sama ya."

Kehilangan anak ternyata sesakit itu. Devan merutuki kejadian malam itu. Apa itu karmanya telah menyakiti Mia? Entahlah Kali ini perasaan Devan pada istrinya campur aduk. Entah benci, entah marah, entah kecewa entahlah. Dia bingung dengan perasaannya sendiri karena keguguran itu.

"Mama agak kecewa sih ternyata Zahira selalu gagal. Tapi ya sudahlah. Dia wanita gak berguna."

"Mama." Tekan Devan.

"Kenyataan sih. Calon bayimu juga sudah tiada?"

Air mata Zahira menetes dalam keadaan mata masih terpejam.

Devan mengengam tangan istrinya, menenangkan saat melihat istrinya meneteskan air mata.

"Bagaimana kita menjelaskan semua ini pada Papa kamu, hah?"

Devan dan Zahira terdiam.

"Zahira bukan ya pilihan Mama." Bisik Devan di telinga Mamanya.

Bu Lili terdiam.

Saat mereka berbicara pintu kamar ruangan Zahira terbuka, terlihat sang papa menatap dengan cemas.

"Bagaimana, Nak? Papanya sudah menunggu saat-saat seperti ini."

Hati Devan teriris, aku hanya diam tidak tahu apa yang akan Devan katanya pada Papanya. Semua orang di ruangan itu hanya diam saling menatap.

"Calon bayi itu sudah tidak ada Pah," ucap Mama pelan.

"Apa maksudmu, Ma kenapa bisa tiba-tiba tidak ada? jelaskan padaku," tanya sang Papa.

"Sebenarnya...." Ucapan mamanya terputus.

"Sebenarnya sayalah yang bersalah, dan ceroboh. Hingga terpeleset jatuh, Pa akhirnya bayi kami tak bisa di selamatkan." Zahira menjelaskan.

Kemudian mengalirlah cerita dari mulut Mamanya. Laki-laki itu terlihat menahan amarah mendengar penjelasan dari istrinya.

"Zahira, kamu menyia-nyiakan calon cucuku." Sang Papa berkata sambil mengepalkan tangannya.

"Saya minta maaf, saya tidak tahu akan terjadi hal seperti ini." Zahira berusaha menjelaskan.

"Kamu Dev, kamu tidak bisa menjaga istrimu.!" Papanya berteriak sambil menunjuk Devan.

"Papa! ini bukan salah Mas Devan," ucap Zahira lemah.

"Tapi Papa hanya inginkan cucu laki-laki Zahira bukan yang lain."

"Maaf kami sudah berusaha, Pa."

"Kalian ini mengecewakan."

Tidak mau membuat keributan akhirnya Papanya dan Mamanya keluar dari kamar inap Zahira.

"Mas, tenangin Papa keluarlah!" Zahira mengusir suaminya juga.

"Tapi Za ...." ucap Devan memelas.

Devan mendekati istrinya dan mengecup kening. "Ya sudah. Nanti aku kesini lagi," bisiknya di telinga Zahira.

"Eumm."

Zahira melepas kepergian suaminya dengan berat hati, mereka sama-sama kehilangan. Dan ujung-ujungnya dialah yang akan di salahkan dan dipojokan.

***

Beberapa minggu berlalu. Segera Zahira membersihkan diri, ia mencari pakaian yang bisa membuatnya tampak cantik hari itu. Jam tujuh pagi ia sudah rapi menunggu Devan suaminya di meja makan.

"Sarapan, Mas?"

"Ya,"

"Kamu mau makan apa?"

Devan berpikir sejenak. "Pengen makan nasi."

"Oke." Zahira berdiri mengambilkan nasi serta lauk yang sudah Bibi masak pagi itu.

Bahagia. Setelah mengetahui jika Sarah telah meninggal, jawabannya tidak! Devan berusaha keras agar ia bisa melupakan kejadian beberapa tahun lalu itu, segala cara dia gunakan untuk bisa melupa. Setiap kali terlintas bayangan gadis itu di kepala, kembali rasa sakit menghunjam dada. Wajah gadis itu seolah menghantuinya hati setiap menit bahkan setiap detik.

"Mas aku izin masuk kerja aku bosen di rumah."

Devan mengangguk-anggukkan kepala.

"Boleh ya Mas?" Zahira bertanya serius, hampir dua minggu ia di rumah dan itu sukses membuatnya jenuh.

"Em, boleh asal jangan kecapean?"

"Lebih baik kamu istirahat biar bisa hamil lagi. Suka ngeyel kalau orang tua bicara!" titah Bu Lili mertuanya yang baru saja datang berkunjung ke rumahnya.

"Zahira sehat. Aku sehat. Tidak ada masalah di antara kami, Ma," sahut Devan menanggapi perintah sang Mama.

"Sehat sehat buktinya mana, kalian ini sudah lama menikah ya."

"Mungkin memang belum saatnya kita diberi keturunan saja," ujar Devan menghibur diri. Jujur, lelaki itu pun sudah sangat mendamba kehadiran sang penerus.

"Ya sudah ... cari perempuan lain saja yang bisa kasih cepat kamu kerturunan."

"Mama!"

Devan menatap Zahira yang menghentikan sarapannya. Zahira lalu bangkit dari kursi. Dan berjalan lagi masuk ke kamar.

"Tuh kan ngak ada sopan-sopannya sama orang tua." Bu Lili merasa kesal oleh sikap menantunya yang sati dulu suka acuh dan sombong.

"Mama sudah muak, Dev!"

Devan menggeleng. "Ya Dev tahu. Tapi ngak segampang itu Mama. Lagian itu pilihan Mama, kan?"

"Nyesel Mama. Harus tuh dibuat gampang, dan kamu ini keturunan Mama dan Papa pasti sehat," sahut sang Mama tidak peduli.

Devan hanya mampu menghembus napas dengan kuat. Dan ikut menyusul istrinya ke kamar. Zahira memalingkan wajah, menepis tangannya kasar dan membebaskan diri dari rengkuhan lelaki itu. Lalu, melangkah menjauhinya ke tepi jendela.

"Maafkan Mama."

"Kenyataannya benar kan. Bahwa aku bukan wanita yang bisa memberikanmu anak."

Harga diri Zahira serasa terkoyak karena keadaannya. Menyisakan rasa sakit yang membuatku sulit untuk menerima takdir yang ia rasa tak adil.

"Sudah ya sudah." Sevan menenangkan istrinya.

"Aku juga lelah, Mas. Aku sudah hati-hati tapi nyatanya aku kepleset."

"Ya aku ngerti."

"Mama keterlaluan, Mas."

Tetes demi tetes air mata Zahira terus mengalir membasahi wajah. Zahira berusaha menolak saat Devan menariknya dalam pelukan. Pelukan yang kemudian terasa semakin erat saat bahu Zahira bergetar kencang karena masih menangis.

"Tidak, aku tak akan membiarkan wanita siapa saja mendapatkan apa yang sudah menjadi milikku. Tidak akan pernah. Devan tetap milikku." Batin Zahira berperang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gadis Yang Kunodai   Ending Bersamamu

    "Ya Zahira pelakunya."Devan mencoba menjelaskan, tetapi mengherankan karena saat menjawab tak sedikit pun ia berani menatap Sarah."Astagfirullah jadi?''Devan diam. "Mas!""Iya dia." Sarah bahkan tak tahu jika suaminya Devan menyembunyikan sesuatu yang mungkin bisa membuat Sarah marah. "Kenapa, Mas tak memberitahu aku?" Sarah sungguh tak ingin berprasangka buruk, tetapi ia seorang wanita. Ekspresi sangat bersalah jelas ia tunjukkan, matanya masih belum berani menatap mata Sarah. "Aku tak ingin kamu kepikiran."Sarah diam."Maaf Sayang.""Apa menurut, Mas aku tak bisa dipercaya?" cecar Sarah bertubi-tubi."Sayang bukan begitu.""Aku tidak paham apa yang ada di pikiranmu. Kenapa menyembunyikan sesuatu yang penting begini?""Maaf, Sayang," ujar Devan. "Bukan masalah minta maaf, Mas. Tapi lihat ini kelewatan. Astaga? Dia hampir mencelakai kita semua lo. Pantasnya dia dipenjara kan?""Iya sih tapi belom punya bukti. Lagian hembus yang beredar saat kecelakaan dia hampir kritis.""Mas

  • Gadis Yang Kunodai   Semua Rindu Devan

    "Bunda lihatlah Kak Shaka teleponan sama seorang wanita." Adu Raiyan pada sang Bunda. Sarah tersenyum. "Masa? Benar itu Shaka?" tanya Sarah penasaran karena selama ini Shaka begitu rapat menyimpan teman wanitanya. "Tidak ada. Orang ini teman mengajar aku Bunda. Adek saja yang kepo," jawabannya seraya menunduk. "Itung-itungan buat semangatin kalau ngajar kan, Mas.""Apaan ngak ngak ngak.""Dih. Cakep tau itu fotonya." Goda adiknya Raiyan. Shaka merasa malu. "Adek." Shaka kembali menggendong adik perempuannya Syena. Sarah menggelengkan kepala, "sudah-sudah mungkin Kakak kamu ingin fokus mengajar Raiyan."Raiyan tergelak, jalan pikiran kakaknya Shaka memang lain dari yang lain. Baginya itu sangat menghibur karena ia tipe pendiam, "Ide bagus. Tapi jangan kelamaan jomblo Mas." Godanya seraya menemani Syema bermain. "Raiy sudah jangan ganggu Kakakmu, lihatlah mukanya merah itu." Kata Sarah tersenyum. "Iya iya, Bunda."Shaka menguncir rambut adiknya. ''Bunda Syena dan Syema sudah maka

  • Gadis Yang Kunodai   Rindu kamu

    Devan mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu mengembuskannya pelan. Ia menatap istrinya lama. Tatapan mata itu yang dulu selalu berhasil meluluhkan Devan, hingga Devan kalah berulang kali. "Minumlah, Mas!" Sarah membawakan secangkir kopi panas untuk suaminya. "Ya.""Bagaimana tangannya masih linu?'' tanya Sarah pada suaminya lagi. "Lumayan sih."Sarah menggeleng. "Jadi hari ini terakhir kontrol?''"Ya Sayang. Alhamdulillah pen sudah dilepas semua normal tinggal pemulihan saja.''"Alhamdulillah kalau begitu." Sarah duduk didekat suaminya. "Kamu tidak mencintaiku lagi?" Sarah tertawa keras hingga air mata menghentikannya. "Mas."Kekhawatiran berlebih pada sesuatu yang belum terjadi, kerap menimbulkan ketakutan tak beralasan, karena usai jatuh beberapa tahun lalu Devan harus terapi karena tangannya cidera akibat menghindari mobil yang mengarah ke pada dirinya. Sarah mendorong pelan dadanya untuk melepaskan diri dari pelukannya. Tersenyum kaku saat melihat tatapannya yang seolah menunt

  • Gadis Yang Kunodai   Penyesalan Zahira

    Tangan Zahira mengusap cepat air yang tersisa di mata dan pipi. Ia lantas mengulas sebuah senyum, senyum yang bisa Zahira pastikan hanya sebuah kamuflase. Ya, hanya untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Padahal, gurat kesedihan dan kecewa terlihat jelas di wajahnya."Pagi Sayang.""Pagi, Ma.""Bagaimana semalam tidurnya nyenyak?""Eumm.""Syukurlah. Kita lalui ini sama-sama," ucap Mamanya seraya menariknya dalam pelukan. Zahira tahu Mamanya bermaksud menghiburnya, tetapi yang terjadi ia malah kembali menangis, hingga terisak-isak di pelukannya. "Sudah, jangan nangis lagi. Hanya kamu satu-satunya harta Mama.''"Kenapa pas kecelakaan aku tak mati saja, Mama. Kenapa harus Joy?" "Hus. Jangan bicara begitu, mungkin Allah punya rencana lain untukmu, Nak."Zahira terdiam. "Sabar ya."Sang Ibu mendorong kursi Zahira ke dekat sofa. "Tapi aku bukan wanita sempurna aku cacat, Mama."''Kamu masih punya Mama. Tenanglah.''Zahira menggelengkan kepala. "Tidak, aku kesepian, Ma.""Sudah, ja

  • Gadis Yang Kunodai   Tak Bisa Melupa

    Sekarang apa yang bisa Zahira lakukan selain menjalani hidup tanpa arti, mungkin itu karmanya karena sikap jahatnya selama ini padanya. Mata kini terpejam, segera kembali terbuka ketika mobil sepertinya sudah berhenti di depan rumah. Zahira menyusuri halaman rumah di dorong dengan kursi roda, oleh bodyguard sekaligus sopir kiriman Papanya tiga tahun lalu. "Deri, apa aku terlalu buruk?" tanyanya tidak sanggup lagi menahan ucapan. Ada yang menekan keras hati di dalam sini, seluruh sendi seakan lepas dari pengait. "Siapa yang bilang, Non?" tanya balik Deri pada majikannya itu. "Aku. Aku bahkan wanita tak berguna juga wanita jahat, aku telah menyakiti banyak orang.""Non semua orang punya masa lalu.""Aku lelah bolak-balik berobat ke Singapore tapi sepertinya tak ada hasil."Deri menatapnya lembut, terlihat dia tersenyum. "Karena bolak-balik itu akan membuat, Non bisa berjalan lagi."Zahira menunduk karena tidak kuasa menahan rasa bersalah, merasa malu telah berbuat semena-mena dengan

  • Gadis Yang Kunodai   Karma

    Tiga tahun kemudian. Perjalanan pulang dari Singapura terasa panjang dan melelahkan. Bandara Soekarno Hatta yang selalu ramai juga jalanan Jakarta yang padat, menyambut kedatangan Zahira seperti sekarang ini. Sudah hampir satu tahun belakangan ini Sarah mondar-mandir Jakarta-Singapura. Demi pengobatan kakinya yang lumpuh karena tak bisa jalan. Zahira menghela napas panjang. Mematikan layar ponsel dan memasukannya ke tas yang ia kenakan. Di dorong Deri sang bodyguard dengan kursi roda itu membuatnya muak dan putus asa, ia menangis hampir setiap saat. Zahira memejamkan mata lelah dan berat. Teringat terakhir kali mereka bertemu Devan di kantor sehari setelah Zahira mengalami kecelakaan hebat, Karena Zahira ingin menabrak Devan hingga dirinya terbanting sendiri bahkan rekan kerja juga sahabatnya Joy meninggal di tempat. Berdua duduk berdampingan siang itu, Zahira mulai berkeluh kesah. Mulai menyesali diri, mengutuki diri karena kematian Joy sahabatnya. Masih Zahira ingat perkataan Devan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status