Share

Bab 5

"Kita akan bertemu lagi, Nona Irish. Gadis dengan takdir."

Aku tidak bisa tidur karena kata-katanya. Ia mengenal Irish, sementara aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Apa ia dari ingatan Irish sebelum aku menempati tubuh ini 2 bulan yang lalu? Terlebih dia memanggil Irish dengan julukan gadis dengan takdir.

"Aku tak paham."

"Apa yang kau tidak pahami, sayang?" tanya Clea.

"Ah, Ibu! Bukan apa-apa!" ucapku sembari tersenyum.

"Ibu jadi sedih, akhir-akhir ini kau jadi lebih pendiam." Clea menangkup pipinya sembari memasang wajah sedihnya.

"Ti-tidak Ibu! Aku hanya berpikir anak-anak seumuranku ada yang sangat pintar," ucapku asal.

"Anakku, apa kau ingin belajar bahasa kekaisaran?" tanya Clea.

Aku tersenyum tipis. Oh, apa ia baru saja mengatakan Irish tidak pernah belajar bahasa kekaisaran sebelumnya? Lalu kenapa kemarin aku dapat membaca tulisan kekaisaran?

"Tidak. Aku cukup senang dengan yang sekarang. Aku akan pergi bekerja, sampai jumpa lagi, Ibu."

"Hati-hati di jalan, sayang."

Aku melambaikan tanganku dan segera pergi dari sana. Berjalan melewati beberapa penduduk yang menyapaku. Sesekali aku singgah untuk bertukar kabar. Walau dari luar terlihat seperti itu, tapi sebenarnya aku sedang mengumpulkan informasi mengenai Irish dan kekaisaran ini.

"Irish, kau semakin cantik saja. Aku ingat pertama kali kau tinggal di sini. Saat itu kau seperti orang kebingungan dengan lingkungan baru," ucap bibi tersebut.

"Eiy, aku mengingatnya. Saat itu ia tidak mau melihat ke arah kita karena malu," sambung bibi lainnya.

Aku hanya dapat tersenyum tipis dan tertawa kecil. "Ahaha, karena aku baru pindah ke sini. Jadi aku tidak terlalu familiar dengan lingkungannya."

"Itu benar. Kalau tidak salah dua atau tiga bulan lalu kau pindah ke sini bersama orangtuamu," ucap bibi itu membenarkan.

Kena kau! Jadi Irish ternyata bukan orang asli dari ibukota dan baru pindah beberapa bulan ini? Namun tampaknya ia memiliki daya tarik hingga membuat orang-orang mengingatnya dengan jelas.

"Kuingat orangtuamu dulu sering singgah ke ibukota untuk berjualan. Tapi tampaknya mereka sudah lelah berpindah tempat dan memutuskan menetap di sini."

"Sangat sulit untuk berjualan sembari menjaga keluarga. Ayahku sudah bekerja keras," ucapku dengan nada yang dibuat-buat.

"Oh, jangan menangis gadis cantik. Ayahmu memang banyak berjuang untuk keluarganya. Namun akan lebih berbahaya jika kalian terus berkeliling. Itu sebabnya Ayahmu memutuskan untuk membeli rumah di ibukota untuk kalian." Mereka semua menatap iba diriku yang sedang berpura-pura sedih.

"Itu benar, tapi kadang aku merindukan Ayahku yang jarang sekali pulang," ucapku sembari mengusap air mata buayaku.

Sebenarnya aku sedikit terharu. Kupikir Irish hanya pindah rumah saja, ternyata Ayahnya membeli rumah di ibukota ini? Karena aku membaca buku di perpustakaan istana kemarin aku jadi tau harga rumah dan tanah di ibukota sangat mahal. Apa sebenarnya Ayah Irish adalah orang kaya biasa?

"Oh ya ampun, kupikir kau akan baik-baik saja seperti saat kedua orangtuamu ke ibukota berdua."

"Maaf?" tanyaku.

"Ada apa?" tanya mereka balik.

"Bisa Bibi ulangi yang tadi Bibi ucapkan?"

"Ya? Kau akan baik-baik saja saat orangtuamu ke ibukota berdua dulu?"

Ada yang aneh dengan kata-katanya. Orangtua Irish selalu melakukan perjalanan bisnis berdua tanpa mengajak Irish? Apa karena Irish yang menolak untuk ikut?

"Irish, ada apa denganmu?" tanya mereka.

"Ah bukan apa-apa. Aku hanya baru ingat aku harus cepat pergi ke istana. Aku permisi dulu," ucapku dengan sopan untuk membuat mereka tidak curiga.

Aku segera berbalik dan berjalan menuju istana. Kepalaku terasa pusing karena memikirkan apa yang mereka katakan, belum lagi dengan apa yang pemuda yang kutemui malam itu.

"Kepalaku akan pecah jika begini terus."

***

Seperti biasa, di pagi hari aku akan menyapu taman yang luas ini. Syukurlah aku tidak bekerja sendiri. Taman istana sangat luas jadi dibagi menjadi beberapa bagian dan masing-masing ada pelayan yang membersihkannya.

"Setelah diingat-ingat, kenapa juga Irish memilih bekerja di istana? Sementara Ayahnya sendiri dapat membeli rumah di ibukota."

Irish melakukan ini untuk tidak membebankan kedua orangtuanya? Ini sih bodoh, bukan baik.

"Hei, Nak. Selama kau masih di bawah umur, maka semuanya adalah tanggungan orangtuamu! Ingat itu!" teriakku seolah takkan ada yang mendengarnya.

"Kau berisik seperti biasa."

Aku tersentak mendengarnya. Aku menoleh ke berbagai arah, tapi tak dapat menemukan sumber suara.

"Aku di atas."

Aku pun menoleh ke atas pohon. Betapa terkejutnya aku saat melihat pemuda istana waktu itu tengah duduk santai di dahan pohon yang cukup besar.

"Kau sedang apa di situ?"

"Kau masih tidak sopan seperti biasa," ucapnya.

Aku menggembungkan pipiku kesal melihat tingkat anak bangsawan yang terlihat angkuh ini. Selagi tidak ada orang lain, haruskah aku memukul wajahnya kali ini? Tidak, tidak, wajah tampan harus dilestarikan.

"Jadi, apa yang kau inginkan?" tanyaku dengan ketus.

Dia tersenyum. Aku terkejut saat melihat dirinya dengan cepat menjatuhkan tubuhnya sendiri. "Hei, tunggu!"

Di luar dugaan, ia mendarat dengan selamat di depanku. Aku menatap manik matanya yang berwarna emas itu. Seketika jantungku berdegup dengan cepat. Apa ia benar-benar setampan ini sebelumnya? Atau karena kami tidak pernah sedekat ini sebelumnya? Terlebih berbeda dengan kemarin, dia menghampiriku dengan senyuman.

"Apa kau mengkhawatirkanku? Rubah kecil?" tanyanya dengan senyuman usil.

"A-apa?!" 

Bajingan kecil ini! Siapa yang ia panggil rubah kecil? Ugh... Moodku sudah cukup rusak karena urusan yang lain. Aku tidak mau jika harus meladeninya lagi. Aku pun berputar dan berjalan seolah tidak pernah melihatnya tadi.

Pemuda itu terlihat kebingungan dan mengikuti ku dari belakang. "Rubah kecil, kenapa kau marah lagi? Kau sangat sensitif."

Lihatlah siapa yang berbicara. Sudahlah lebih baik aku menyelesaikan tugasku. Tamu ini pasti juga sebentar lagi akan pulang, kan? Dia tidak mungkin di istana terus.

Aku tanpa sengaja melihat wanita pelayan tua yang selalu memarahiku itu sedang berjalan menuju ke mari. Sial! Tanpa sadar aku menarik tangan pemuda itu untuk ikut bersembunyi denganku di balik pohon di dekat sana.

"Ada apa denganmu, rubah kecil?"

"Duh, berisik! Diam dulu!" ucapku dengan kesal. Masa bodo dengan dirinya yang bangsawan atau tidak, saat ini aku tidak ingin merusak moodku lebih jauh lagi.

Pemuda itu menaikturunkan alisnya tak mengerti. Ia pun ikut melirik ke arah pandanganku dan langsung paham dengan pikiranku.

"Bisa-bisanya kau takut pada pelayan tua itu dibandingkan denganku," ucapnya dengan senyuman.

Ia pun segera berdiri dan keluar dari persembunyian sembari memanggil pelayan tua itu. Akh, sial! "Apa yang kau lakukan?!"

"Akan kutunjukkan, siapa yang seharusnya kau takutkan di sini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status