Xera merapatkan tubuhnya dengan Lembayang, telapak tangannya membekap bibir lelaki yang lebih tinggi darinya—memastikan agar Lembayang tetap diam dan tenang. Gadis itu menajamkan pendengarannya, takut kalau Ananta curiga dan mencari tahu. Saat keadaan mulai aman, ia menatap lurus pada netra hitam Lembayang, saat mata mereka bersiborok, keduanya merasa kikuk.Xera lebih dulu menurunkan tangannya dan berdeham untuk mencairkan kecanggungan. Gadis itu mundur dua langkah ke belakang, dan menyilangkan tangannya di depan dada. "Apa kau ingin mencelakakan kami dengan sikap bodohmu itu?" tanya Xera seraya memicingkan mata.Lembayang ternganga, selama ia hidup, belum pernah ada gadis yang mengatai dirinya bodoh. "Maaf, tadi aku tidak berpikir panjang."Xera menggelengkan kepalanya, dan bibirnya melengkung ke bawah. "Kau hampir saja membahayakan kami semua, kau harus ingat, ibu dan kakakku mengambil risiko besar dengan menyelamatkanmu dan adikmu."Lembayang tersenyum tipis, merasa tidak enak.
Roanna menaruh cincin yang tadi ia pungut ke atas meja, Ananta menatap benda kecil itu dalam diam dan ekspresinya terlihat sendu. Ia menyenderkan kepalanya pada punggung kursi yang menempel di dinding. Roanna menangkap perasaan yang terlihat dari wajah dan setiap gerakan Ananta. Lelaki ini sedang patah hati."Anda minum-minum sendiri saja? Di mana teman-teman Anda?" tanya Roanna.Masih dalam kondisi setengah mabuk, Ananta berusaha berbicara dengan fokus. "Aku memang datang sendiri ke bar ini, Nona, teman terbaikku adalah minuman ini." Ia menunjuk pada botol-botol brendi kosong."Aku juga datang sendiri ke bar ini." Roanna mengeluarkan sekotak cigarettes dari dalam tas tangannya, kemudian menghidupkan satu batang dan menghirup dengan nikmat."Jadi, bagaimana rupa gadis yang telah mematahkan hatimu, Tuan?" tanya Joanna sambil mengepulkan asap cigarettesnya ke langit-langit.Sebelum menjawab pertanyaan Roanna, Ananta mengankat botol kosong ke arah bartender sebagai kode. "Gadis yang san
Xander sudah bisa berbaur dengan para buruh dan beberapa tahanan seperti Dara. Orang-orang itu juga tidak merasa keberatan. Xander hanya menjadi pendengar, jarang sekali ia membuka mulut untuk berbicara.Di ruangan lainnya, Sundari terlihat sangat cantik mengenakan kebaya berwarna hitam. Pagi ini ia mendapatkan undangan minum teh bersama Kolonel Harland. Di atas meja kayu yang berbentuk bulat—aroma wentelteefjes dengan topping kayu manis, gula, dan sirup sangat menggugah selera. Secangkir kopi dituangkan dari teko berbahan keramik.Kolonel Graff melihat arlogi yang menggantung di saku bajunya. "Kurasa waktu sangat cepat berlalu, maafkan aku, Nona. Ada pekerjaan yang harus aku lakukan. Kau nikmatilah sajian ini. Aku harus pamit.""Saya sedikit sedih, Kolonel. Aku kira kita akan berbicara lebih lama, aku sudah mulai bosan berbicara dengan Sati setiap harinya."Kolonel Graff terkekeh mendengar keluhan Sundari. "Kamu bisa mengajak para prajurit berbicara, Nona. Mereka tidak akan menyakiti
Di bawah panasnya matahari tropis, Dara menengadah wajahnya—menatap langit biru tanpa awan. wajahnya yang berkeringat memantulkan cahaya seperti butir-butir mutiara."Benar kata Bara, seharusnya aku memakai caping." Dara menyeka keringat yang menetes.Semenjak dua minggu yang lalu, ia di tempatkan di peternakan sapi perah dan kandang kuda yang terletak di dekat kebun tebu pabrik Marienberg. Bersama Diah dan beberapa wanita lainnya—mereka diberi tugas untuk mengumpulkan rumput-rumput segar.Dari jarak belasan meter, para prajurit yang mengawasi para pekerja menatap dengan pandangan lapar. Bahkan, tidak jarang di antara mereka ada yang melakukan pelecehan, dengan menepuk bokong buruh yang tidak sengaja mendekat. Dara mengambil ranting dari pohon waru yang ujungnya cukup tajam. "Akan aku congkel keluar bola mata mereka kalau berani macam-macam!""Semuanya berkumpul, kita akan kembali ke peternakan!" teriak salah seorang pengawas.Semua pekerja segera mengikat rumput yang berhasil mereka
Saat tangisan Diah sudah mereda dan merasa lebih tenang, mereka memutuskan untuk segera pulang. Dara dan Diah berjalan di belakang Xander. derap langkah pria kaukasia itu membuat Dara menjadi gugup, bahunya yang lebar membuat gadis itu merasa terlindungi. Rasa gentar yang tadi menjalar kini perlahan menghilang.Tidak ada pembicaraan diantara mereka, Diah sibuk dengan pikirannya sendiri. Dara terus merangkul gadis itu. Hanya Xander yang sesekali menengok ke belakang untuk memastikan. Saat matanya tidak sengaja bersiborok dengan tatapan Dara, gadis itu segera menundukkan kepalanya."Di depan ada pertigaan, kiri, kanan, atau lurus? Aku belum hafal tempat ini?" tanya Xander memecah keheningan."Tempat tinggal kami ada di sebelah kiri, Tuan," jawab Dara buru-buru.Dari kejauhan, terlihat deretan rumah-rumah sederhana yang saling berhadapan, atapnya terbuat dari ijuk dengan tinggi tiga meter. Ada satu buah jendela yang membuat sirkulasi udara menjadi sedikit lancar, ubin dan dindingnya terb
"Bara!" sapa Dara dengan semangat."Dara, itu kau?""Bagaimana kabarmu, Bara?" Dara duduk diantara mereka."Aku baik-baik saja. Senang melihat kau ada di sini," jawab Bara.Senyum gadis itu terus mengembang, membuat Bara merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Meskipun kulit Dara terlihat lebih coklat dari terakhir kali mereka bertemu. Hal itu tidak mengurangi nilai kecantikannya. "Kau terlihat lebih dewasa dari pertemuan terakhir kita, tapi aku suka." Dara berkata dengan polosnya. Pipi Bara bersemu merah. "Ah rupanya diam-diam kau memperhatikanku, ya?"Dara tergelak mendengar jawaban Bara. "Perkataanmu itu seolah-olah mengatakan kalau aku adalah penggemarmu, Bara. Padahal semua orang dapat melihat perubahanmu.""Aku dengar kemarin Diah mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan?" tanya Bara tiba-tiba."Kamu benar, Bara. Tapi kami baik-baik saja ... orang itu menyelamatkan kami lagi, aku tidak tahu kalau dia ada di tempat ini juga. Kukira dia akan ke Netherland." Dara menghela
Dara duduk dengan gelisah. Hujan yang menambah hawa dingin, nyatanya—tidak mampu menghentikan keringatnya yang terus bercucuran di dahi dan punggungnya. Ia cemas kepada waktu yang terus berjalan, para penjaga pasti akan memberikan hukuman, kalau sampai mengetahui ia belum ada di tempatnya saat melewati batas jam malam."Kau ingin membuatku buta, ha?!" Suara berat Xander membuyarkan lamunan Dara. Pria itu membawa kotak obat dan berjalanke luar dari kamarnya."Aku tidak sengaja! Tadi aku sangat takut, aku kira Anda orang yang ingin berbuat jahat, Tuan," sanggah Dara."Kau sangat bodoh jalan sendirian malam-malam begini! Kau mau kejadian kemarin menimpamu, ha? Kau ingin di bawa ke dalam hutan dan ditelanjangi?""A–aku baru saja selesai bekerja, dan ingin pulang ke tempatku." Dara sesekali melirik Xander yang tengah berdiri dengan berkaca pinggang."Lebih baik kau menginap di sana daripada harus membahayakan dirimu. Apa memang itu adalah hobimu?""Tentu saja tidak! Anda saja yang selalu m
Pagi itu cuaca cerah, sangat berbeda dengan hujan yang turun semalam. Matahari kekuningan merayap hati-hati di langit biru tanpa noda. Dara segera membantu menyelesaikan pekerjaan, suasana dapur terlihat lebih ramai dari biasanya, bahan makanan yang jumlahnya berkarung-karung dan berpeti-peti tampak baru diturunkan dari truk. Dara baru ingat, seharusnya ia menemui Sundari dan mengatakan pada wanita itu, kalau ia berhasil menemukan adiknya. Penginapan Sundari cukup jauh dari tempatnya saat ini, ia harus mencari cara. Saat Sidja terlihat hanya seorang diri, Dara menghampirinya."Aku harus mencari cara untuk bertemu kakakmu, Mbak. Dan mengabarkan tentang keberadaanmu di tempat ini." Dara pura-pura mengiris bawang seperti apa yang dilakukan Sidja agar tidak dicurigai."Kamu tenang saja, Dara. Aku sudah menyiapkan sebuah rencana," ucap Sidja dengan tersenyum simpul."Aku harap, rencanamu ini akan berhasil, Mbak. Sundari sangat menantikan kabar dariku, juga darimu." Dara dan Sidja berkata