KONSEP KELUARGA!
Sifa menangis mendengar jawaban Abahnya yang memang terasa menyakitkan baginya. Sebagai istri, Sifa yang tersakiti, Sifa juga yang harus legowo. "APAKAH SURGA HARUS SESAKIT INI, BAH? MAS?" tanya Sifa tegas dan penuh penekanan. "Nah itu Mulki yang lebih tahu. Bagaimana Le?" tanya Abah Furqon pada Mulki. Mulki menganggukkan kepalanya. "Hal ini sebetulnya sudah diatur. Mahkamah Konstitusi atau MK mengatakan bahwa anak di luar nikah mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana putusan MK pada uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 43 ayat 1. Hal tersebut tentu perlu diketahui lebih lanjut. Mengingat pentingnya informasi tentang tanggung jawab ayah terhadap anak di luar nikah, maka dari itu Merdeka.com rangkum penjelasan tentang tanggung jawab ayah terhadap anak di luar nikah yang perlu untuk diketahui," jawab Mulki. "Mbak sudahlah, jangan terlalu drama begitu. Pikirkanlah lagi, rasanya itu juga lebih adil, Mbak. Kita di sini tak bisa menyalahkan sang bayi itu, karena sang bayi itu tak salah. Bayi itu terakhir suci dan tanpa dosa dan yang salah adalah perbuatan orang tuanya. Kalau memang Mas Rio ingin memberikan nafkahnya kepada sang anak kita bisa apa selain mendukungnya? Karena jika kita menghalangi bukankah sama saja kita zalim kepada anaknya, Mbak? Jadi menurut Mulki tak menjadi masalah daripada daripada justru suamimu malah memberikan secara sembunyi-sembunyi nafkah itu kepada gadis itu dan kau tak tahu serta tak jujur kepada Mbak Sifa. Itu akan membuat Mbak Sifa lebih sakit hati bukan," jelas Mulki. "Mbak jangan sampai hisab kita berat gara- gara hati yang tak lapang, dzolim, dan sakit hati," sambungnya. Abah Furqon pun menganggukkan kepalanya. Sifa menghela nafas panjang, menghormati semua penjelasan Abah nya dan Mulki. Kemudian tiba- tiba terbesit satu hal konyol di benak Sifa. Dia sepersekian detik seperti mendapatkan ilham dan pencerahan. "Baiklah kalau begitu aku setuju, hanya satu rumah tak lebih dan itu nafkah pertama sekaligus terakhir yang kau berikan kepada wanita itu, Mas. Aku atau Mulki yang menemanimu mencari rumah yang akan kau berikan kepadanya biar kami yang menentukan. Bagaimana?" tanya Sifa. "Alhamdulillah," gumam Abah Furqon. Jujur saja dia sangat salut pada Sifa, akan ketegasan hatinya, keluasan maafnya. Dia bangga pada putrinya itu. Benar- benar sholehah luar dalam. Sifa kemudian meneguk minuman Mulki hingga tandas tanpa izin dulu, Mulki hanya menggelengkan kepalanya. "Oh ya, berhubung kau sudah memberikan kesepakatan, kertas dan materai maka aku tak akan menyia- nyiakannya, Mas. Aku juga ingin ketika kau memberikan rumah untuk anakmu itu maka kau juga harus memberikan satu rumah untuk Farhat dan satu rumah untuk Humairah. Bagaimana? Adil kan? Jadi tak hanya satu anakmu saja! Wong anakmu ada tiga, Mas. Bukannya apa-apa kita tak tahu sampai mana jodoh kita bukan? Aku tak ingin menakuti atau apapun itu, Mas. Tidak. Karena aku sudah pernah tersakiti berkali-kali olehmu, sehingga aku memutuskannya!" tegas Sifa. "Aku ingin kau coba bersikap adil saja pada anak-anakku juga, Mas. Bukan anaknya saja. Karena aku yang lebih lama menemanimu daripada wanita itu, aku yang lebih banyak memberimu anak daripada wanita itu, dan aku yang berjuang dua kali lipat lebih sakit daripada wanita itu," ujarnya. Abah Furqon dan Rion saling berpandangan. Mereka juga heran bagaimana Sifa bisa melakukan hal ini. Rasanya seperti mustahil saja Sifa bisa berkata seperti itu. "Tapi Dek, mungkin uangku tidak cukup jika membeli tiga rumah sekaligus," kata Rio tak kalah kaget. Dia memang heran bagaimana Sifa langsung bisa berubah menjadi seperti itu. Padahal Sifa bukanlah tipikal wanita yang matre, penuntut, ataupun pemaksa. Dia tak pernah mau memegang uang, tak pernah mau tahu uang, bahkan selalu meminta secukupnya. Sekalinya meminta dia tak kira- kira. "Bisa kok, Mas. Caranya dong! Jadi kau membeli rumah di perumahan yang kecil di perumahan subsidi rasanya itu cukup kok. Kau ingin aku ikhlas kan? Sekarang gantian dong! Ganti sampean yang mengalah, aku sudah begitu banyak berkorban. Sedangkan kau hanya mengorbankan satu hal yang bisa di cari lagi, yaitu uang. Sedangkan aku perasaan," debat Sifa. Rio langsung terdiam dan langsung menghela napasnya panjang. Dia tak mengira Sifa akan bertindak senekat ini, dia pikir dengan dia mengalah kepada Sifa dan ingin kembali kepadanya itu sudah cukup membuat Sifa senang dan tak menuntut padanya. Ternyata salah, justru dia meminta keadilan seperti itu sekarang. Rio baru merasakan susahnya memiliki dua ratu dalam rumah, padahal dia belum berpoligami hanya bentuk tanggung jawab saja dan sekedar basa-basi tetapi resikonya sudah sejauh ini. Berkali-kali Rio menghela napasnya panjang, mau tak mau Rio pun mengabulkan permintaan Sifa. "Baiklah kalau begitu, Dek. Tapi aku berkata jujur padamu bahwa aku tak sanggup memberikan rumah yang bagus, mampuku hanya rumah subsidi itu sekitar harga seratus lima puluh jutaan. Aku pun tak ingin berhutang, maka kau jangan protes jika aku juga menjual mobilku aku akan mengganti dengan mobil yang jauh lebih sederhana. Karena uangnya aku berikan rumah seperti maumu juga, Sifa," ujar Rio. "Sekarang aku akan menurutimu, semua sertifikat akan aku hibahkan kepada anak-anak. Kau dan aku, kita sama- sama tak berhak. Aku pun juga tak berhak. Bagaimana ?" anya Rio. Dengan sinisnya SIfa tersenyum, seketika perasaan cinta dan kasihan pada Sifa di hati Rio mendadak hilang. Meskipun dia sadar itu salah, karena kalau di pikir lagi, Sifa lebih berhak sebagai seorang istri tapi rasanya dia tak rela saja. "Tak masalah kok, Mas! Aku tak memerlukan mobil itu, lagi pula mobil itu penuh kenangan keluarga kita tapi jauh lebiih banyak kenanganmu dengan wanita itu! Wanita yang dengan bejatnya bisa merusak rumah tangga. Jadi lebih baik kau menjualnya daripada aku emosi dan membakarnya," ujar Sifa dengan entengnya. Mulki hanya bisa menahan tertawa cekikikan dari dalam dirinya. Begitu pun Abah Furqon menganga melihat tingkah anaknya. Satu sisi dalam hati ingin kasihan kepada Rio, tetapi rasanya itu adalah balasan yang setimpal. Dia sungguh salut dan tak menyangka bahwa kakaknya Sifa mampu bertindak konyol itu. Tapi dia cukup salut dengan ketabahan dan keteguhan hati kakaknya. Rela berkorban demi masa depan sang buah hati. Mulki sekarang menyadari mengapa Sifa kakaknya masih terus ingin bertahan dengan Rio Karena bagaimanapun juga sebagai seorang istri yang melahirkan dua anak dari rahimnya. Sifa memang belum memperoleh apa-apa dari Rio justru wanita itu yang sering kali memperolehnya sehingga dia tak rela melepaskan dia begitu saja ini jawabannya. APA YANG TERJADI SELANJUTNYA? BERSAMBUNG Season 1 Selir Kesayangan SuamikuANAK PEREMPUANKU DAN SEJUTA MASA LALUNYA!"Kenapa? Kenapa aku yang harus bertanggung jawab atas kebahagiaan Kakak kandungku? Bukankah selama ini kau yang mengecewakan Kakak kandungku, Mas?" ledek Mulki."Mas Rio, Mas Rio. Kau ini aneh dan lucu sekali, kau itu jangan mencari kambing hitam atas rasa cemburumu. Kenapa? Kau masih tak terima kalah dariku? Dari tadi semua ucapan dan pembicaraanmu itu selalu berputar-putar arah! Pembicara kamu sungguh tak jelas seperti itu, kau di sini yang salah tapi kau tak mau mengakui kesalahan," ujar Mulki lirih. Dia tak enak juga jika mama Gendhis mendengarnya.Rio terdiam, dia hanya mengusap wajahnya dengan kasar. Tak lama kemudian Bu Ririn datang dari belakang, sudah tak mengenakan mukena lagi. Hanya mengenakan gamis panjang dan jilbabnya. Tak lama Gendhis menyusul di belakang sang Ibu sambil membawa nampan minuman dan meletakkannya di hadapan Rio."Maaf ya lama," kata Mama Gendis."Oh tidak apa apa, Tante. Kebetulan saya juga baru datang," sahut Mu
KENAPA HARUS AKU YANG BERTANGGUNG JAWAB?Mendengar ucapan Rio itu Gendis terdiam, dia tak mengira Rio akan menilainya seperti itu. Dia cukup kaget meskipun apa yang dikatakan Rio adalah kebenaran. Dia tak mengira serendah itu harga dirinya di hadapan Rio."Apakah sebegitu hina aku di hadapanmu, Mas?" Tanya Gendis dengan mata berkaca-kaca.Rio terdiam diam memandang ke arah wanita yang begitu dia cintai itu, kemudian dia menyadari kesalahannya. Mata cantik itu dulu pasti akan nyalang ketika dia melakukan kesalhan, langsung mendebat tanpa ampun namun sekarang semua sudah berbeda."Dia berubah," batin Rio dalam hati, justru berubahnya Gendhis membuat lelaki itu sedikit ketakutan.Rio meneguk ludahnya dengan kasar dan merutuki kebodohannya sendiri. Ya, karena emosinya tadi dan tak bisa menahannya, sampai dia mengucapkan sesuatu yang mungkin menyakiti hati Gendis. Rio pun melirik Gendhis lagi, wanita itu masih diam. Alih-alih marah justru Gendhis terlihat menyeka air matanya yang mulai
SEHINA ITUKAH AKU DI HADAPANMU, MAS?"Lalu kenapa kau menikah dengan Mulki?" cerca Rio."Aku tidak menikah dengan Mulki!" tegas Gendhis."Gendhis," panggil Mulki lirih, semua menoleh ke arah Mulki. Dengan cepat Gendhis memberikan kode pada lelaki itu, Mulki paham dan diam. Memang kalau di pikir lagi ucapan Gendhis benar, mereka belum menikah tak ada yang salah. "Halah omong kosong!" bentak Mulki."Demi Allah aku tidak menikah dengannya sekarang," sahut Gendhis dengan cepat"Tapi Mulki kan melamarmu," sanggah Rio. Gendhis menghela nafas panjang, sepersekian detik otaknya harus di paksa berpikir secepat mungkin agar dia bisa berkilah namun tak berbohong hanya dengan penyusunan kosakata."Tadinya memang begitu, tetapi aku telah membatalkannya," jawab Gendhis."Membatalkannya? Benarkah? Kau tak berbohong kan? Mengapa kau membatalkannya?" tanya Rio menatap ke arah Mulki dan Gendhis bergantian."Benar Mulki?" selidik Rio. Mulki diam tak menjawab namun dia menganggukkan kepalanya perl
AKU TIDAK MENIKAH DENGAN MULKI!"Allah itu maha pengampun, mungkin doa istrimu, doa mertuamu, atau doa orang tuamu yang dikabulkan Gusti Allah. Bersyukurlah atas itu, jangan sampai kau memiliki pemikiran POLIGAMI lagi!" bentaknya."Lantas kenapa kau berulah lagi? Kenapa kau datang ke sini marah-marah tak jelas seperti ini?" tanya Gendhis."Tak jelas katamu? Hah? Tak jelas? Hahaha!" teriak Rio dengan menatap nyala ke arah Gendis.Entah setan mana yang sedang menyambetnya, dia tiba-tiba maju dan mencengkram dagu Gendis dengan keras, sampai kuku itu sedikit menusuk ke pipi Gendhis. Wanita itu pun meringis kesakitan."Lepaskan!" perintah Mulki. "Tak usah ikut campur!" bentak Rio tanpa menoleh Gendis.Gendhis memberikan kode kedipan mata, membuat Mulki diam. Meski sangat ketakutan, Gendhis berusaha kuat. Jujur saja sekarang dadanya berdetak sangat kencang sekali, dia tak mengira Rio berani sekasar ini. Rio yang pendiam tiba-tiba berubah menjadi arogant bahkan kasar dan cenderung frontal
KETIKA KAU GAGAL JADI MADU KAU MEMBALAS INGIN MENJADI IPARKU!"Bagaimanapun juga dia anakku, Gendis! Tapi konyolnya aku tidak tahu! Aku berhak tahu!" sanggah Rio."Kata siapa? HAH?" bentak Gendhis."Apa maksudmu berkata seperti itu, Gendhis. Bagaimana pun juga aku adalah ayah Kai! Kau tahu itu kan? Sekarang kenapa kau berbicara seolah-olah aku orang asing bagimu dan Kai?" sahut Rio.Tangan Gendhis langsung mengepal, sungguh sakit hatinya sekarang. Marah dan tak terima bergolak menjadi satu dalam hatinya. Dia tak terima kepada sikap Rio, datang tak di undang melukai Mulki, dan sekarang mengatakan bahwa dia memiliki hak atas anaknya. Sedangkan dulu lelaki di hadapannya ini tak bisa memutuskan memberikan kejelasan akta pada putranya. Bahkan dia kembali pada Sifa, istrinya."Sepertinya kau lupa, Mas. Baiklah, aku akan jelaskan," kata Gendhis sambil tersenyum kecut, nada suaranya sudah bergetar menahan tangis dan amarah yang berkumpul menjadi satu."A...apa maksudmu?" tanya Rio dengan nad
DIA ANAKKU! DAN MENINGGAL AKU TAK TAHU!"Semi ustadz?" tanya Rio mengerutkan keningnya."BADJINGAN KAU!" Pekik Rio dalam hatinya.Semakin ke sini dia makin curiga bahwa lelaki itu adalah Mulki. Namun sekali lagi Rio tak ingin tergesa-gesa dulu menyimpulkan. Dia harus mengatur strategi dan taktik agar tak salah jalan. Meskipun dia tak bisa bersama Gendis tetapi jika gadis itu bersama Mulki pun hatinya juga tak rela, menurutnya lebih baik Gendis bersama orang yang tak dia kenal. Dia harus mengumpulkan bukti kuat sebelum mengatakan semua kebenaran ini pada sifa."Mohon maaf Bu Apakah lelaki itu sedikit tinggi mungkin lebih tinggi dari aku dia hobi sekali memakai baju semi Koko begitu kaos tapi bentuknya Koko sedikit putih tetapi tidak terlalu putih juga dan memiliki suara yang sangat kalem sekali benarkah seperti itu tanya Rio mulai menggambarkan ciri-ciri Mulki"Iyo, Mas.""Sik sebentar, Bu. Saya boleh memastikan tidak? Sepertinya yang lelaki itu temanku juga," kata Rio."Ah saya lamat