Share

Bab 4 Siapa Wanita Itu?

Sudah lebih dari tiga puluh menit aku standby di dekat rumah Venus dan Leo. Aku menunggu Leo keluar dari rumahnya. Setelah hampir satu jam, barulah orang yang ditunggu-tunggu keluar dengan menggunakan mobilnya. Dengan sigap, aku membuntuti mobil Leo ke mana pun ia melaju. Aku tak boleh kehilangan jejak. Aku harus tahu ke mana saja dia pergi hari ini.

Setelah empat puluh lima menit di jalanan, mobil Leo memasuki sebuah kampus. Lalu mobilnya berhenti di area parkir khusus dosen. Sementara itu, aku memantaunya dari jarak tertentu. Begitu Leo turun dan meninggalkan parkiran, aku langsung memburu mobilnya untuk memasang alat pelacak.

Kulihat, situasi di tempat parkir terbilang sepi. Kupastikan dengan hati-hati bahwa tak ada seorangpun yang lewat di dekat mobil yang kuincar. Setelah yakin, barulah aku beraksi. Aku menempelkan alat pelacak itu di bagian bawah mobil.

“Jangan lupa foto plat nomor, mobil, dan tempat parkirnya juga!” perintah Bima di balik earphone yang tersemat di kupingku.

Tanpa mengatakan apa-apa, aku langsung memotret tiga hal itu dengan kacamata pengintaiku. Setelah beres, aku kembali menunggu di dalam mobil.

Beberapa jam kemudian, Leo kembali ke tempat parkir. Kulihat, ia berjalan sambil bicara di telepon. Pembicaraannya terkesan sangat serius. Tapi sayangnya, aku hanya bisa menangkap percakapan terakhir yang dilontarkan oleh Leo. “Iya, aku segera ke sana. Aku langsung jalan sekarang,” ucapnya. Setelah menutup telepon, Leo masuk ke mobil dan segera meninggalkan kampus itu. Dengan cepat, aku pun mengikutinya.

Tak terlalu jauh dari kampus itu, mobil Leo memasuki sebuah cafe. Di sana, kulihat Leo disapa oleh seorang lelaki yang juga baru turun dari mobilnya yang kebetulan parkir sebelahan. Tak mau kehilangan momen, aku pun langsung memotretnya dari dalam mobil.

“Siapa orang itu?” ucapku setelahnya.

“Foto wajahnya! Jangan hanya tampak samping,” omel Bima setelah menerima foto-foto dariku.

“Aku harus nunggu dia noleh sama aku dulu, baru bisa kufoto,” kataku. “Mereka masuk ke cafe itu,” terusku memberitahu.

“Aku tahu. Aku juga melihatnya,” kata Bima.

Tentu saja, apa yang kulihat lewat kacamata ini, pastinya bisa dilihat oleh Bima juga.

“Apa aku harus ke dalam juga?”

“Tentu. Pastiin denger percakapan mereka.”

“Oke. Aku siap-siap dulu.” Aku pun lekas berganti penampilan.

Kuganti pakaian yang kukenakan saat itu dengan motif yang bukan aku banget, yaitu motif bunga-bunga. Kupakai rambut palsu berwarna coklat terang, kuganti kacamata pengintai dengan model yang lebih culun, lalu kubawa ransel berisi buku bak anak kuliahan. Tak lupa, aku mengenakan topi untuk mengurangi pandangan orang terhadap wajahku. Setelah penyamaran siap, aku turun dari mobil dan melenggang masuk ke cafe itu.

Setibanya di dalam, mataku yang jeli berhasil menemukan keberadaan Leo. Dia duduk di dekat jendela yang menghadap jalan. Untuk melancarkan aksi berikutnya, aku lantas memesan sesuatu di meja pemesanan, lalu mengambil tempat duduk persis di belakang kursi Leo. Tanpa buang waktu, aku mengeluarkan buku dari ransel untuk berakting sebagai kutu buku. Padahal aktivitasku yang sebenarnya adalah merekam percakapan mereka diam-diam.

“Ini dokumen yang kamu minta. Dan ini surat gugatan cerainya,” kata seorang lelaki yang duduk bersama Leo.

Gugatan cerai? Leo mau menceraikan Venus? Apa dia sungguh selingkuh? Pikiran-pikiran seperti itu terus bermunculan ketika aku mendengarnya.

“Bagus. Terimakasih sudah bekerja keras!” balas Leo.

Lalu aku mendengar sebuah amplop dibuka. Sepertinya, Leo sedang memeriksa dokumen yang diterimanya.

“Kontrak kerjasama, bukti kepemilikan saham, surat pemindahan kekuasaan. Ini cukup untuk saat ini. Aku akan transfer sisanya ke rekeningmu,” kata Leo lagi.

“Oke. Hubungi aku jika ada sesuatu yang dibutuhkan lagi,” balas orang itu. “Tapi, gimana sama rumah tangga kamu? Kamu betulan akan menceraikan Venus?” terusnya dengan pertanyaan.

“Aku tidak menikahinya untuk membangun masa depan bersama. Aku menerima perjodohan itu untuk tujuan yang lebih besar,” jawab Leo.

“Kurang ajar! Keterlaluan banget si Leo ini!” tiba-tiba Bima berkomentar di balik earphone. Emosinya tersulut ketika Leo mengucapkan kalimat itu. Aku sampai tersentak karena suaranya begitu keras. Begitu emosional.

Sebenarnya, tak hanya Bima yang terkejut dengan pernyataan Leo barusan. Aku juga tak kalah terkejutnya. Aku sungguh tidak menyangka bahwa seorang Leo bisa berbuat demikian. Pernyataannya berhasil membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya Leo rencanakan. Apa yang dia maksud dengan tujuan besar?

Tak lama kemudian, pesananku datang. Lalu aku pura-pura menikmati makanan dan minuman yang kupesan. Tapi kupingku, masih aktif menyimak pembicaraan mereka.

“Aku ngerti. Sebagai teman, aku cuma bisa mendukung. Aku harap, kamu gak akan menyesalinya suatu saat nanti.”

“Gak akan. Aku gak akan pernah menyesali setiap keputusan yang kubuat,” kata Leo. Nada bicaranya terdengar begitu yakin, tapi juga terkesan mengandung dendam.

“Ya udah, kalo gitu aku pergi sekarang. Penerbanganku satu jam lagi,” pamit temannya.

“Aku juga. Aku harus pergi ke tempat lain,” kata Leo. Mereka pun akhirnya meninggalkan cafe itu.

Sementara itu, aku termenung melihat punggung Leo yang kian menjauh dan menghilang di balik pintu cafe. Aku masih tak percaya dengan kata-kata yang Leo ucapkan. Bagaimana bisa seorang Leo tega melakukan hal itu kepada Venus?

Aku masih ingat betul apa yang dikatakan Leo padaku malam itu. Malam di mana aku menerima undangan pernikahan yang ditunjukkan Bima. Malam di mana aku menemuinya untuk memohon supaya tidak melangsungkan pernikahan.

Saat itu, untuk pertama kalinya aku berlutut di hadapan Leo. Aku memohon sambil menangis. Aku meminta Leo untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Venus. Tapi kali itu Leo tak bergeming. Dia tak merangkulku atau sekadar membuatku berhenti berlutut. Bahkan, dia mengatakan sesuatu dengan begitu yakin.

“Mungkin sekarang aku memang belum mencintai Venus. Tapi suatu saat nanti, aku pasti akan mencintainya. Venus cantik, modis, dan juga pintar. Dia juga baik. Gak akan sulit bagi laki-laki mana pun buat jatuh cinta sama dia,” kata Leo saat itu. Ia sungguh bersikeras untuk menikahi Venus. Sampai akhirnya Bima datang untuk menjemputku pulang. Bima menghajar Leo karena ucapannya yang keterlaluan padaku.

Jadi, dari apa yang dikatakannya malam itu, dengan pernyataan yang diungkapkannya barusan, itu sangatlah tidak sinkron. Aku baru tahu, kalau malam itu, ternyata Leo hanya berakting saja. Aku juga baru tahu, kalau Leo seambisius itu. Dia sampai berani mempermainkan hati dan perasaan orang lain demi ambisinya itu.

“Hey, Sagi! Ngapain masih di situ? Ayo jalan lagi!” omelan Bima terdengar lagi di earphone. Membuatku tersadar dari pikiran tentang Leo.

“Iya, bawel! Aku pergi sekarang,” kataku yang langsung membereskan barang bawaanku.

***

Mobil Leo sudah tak ada di parkiran. Tapi aku tak kehilangan jejaknya karena sudah memasang alat pelacak di mobil Leo. Aku tinggal tanya saja kepada Bima untuk tahu posisi mobil Leo saat ini.

“Ke mana Leo pergi?” tanyaku.

“Arah jam tiga dari cafe,” jawab Leo.

Aku lantas bergegas untuk mengejarnya.

“Seberapa jauh posisinya dariku?” tanyaku sambil mengemudi.

“Hanya 10 km.”

“Oke. Aku akan tambah kecepatan.”

Aku pun menginjak gas supaya cepat menemukan mobil Leo.

Mobil Leo sudah nampak di ujung mataku. Setelah melewati persimpangan, mobil itu berbelok ke sebuah hotel. Aku pun mengikutinya. Beruntung, aku sempat memfotonya saat memasuki area itu.

“Kali ini kamu gak usah masuk,” perintah Bima begitu aku beres parkir.

Mendengar itu, aku tentu protes. “Kenapa gak boleh?”

“Kamu tunggu di mobil saja!”

“Apa? Ya gak bisa, dong! Aku harus tau dia ketemu siapa.”

“Tunggu aja! Aku yakin Leo hanya sebentar,” paksa Bima.

Namun, nampaknya Bima keliru. Leo tak juga keluar dari hotel itu. Bahkan, sampai langit gelap pun, Leo tak kunjung keluar. Aku jadi penasaran, apa yang Leo lakukan di dalam hotel? Ada banyak ruangan di sana. Tapi aku tak bisa memastikan Leo ada di ruangan seperti apa. Aku juga tak bisa memastikan dia bertemu orang seperti apa.

Karena rasa penasaranku sudah mencapai puncaknya, aku pun memutuskan untuk mencari tahu ke dalam. Setidaknya aku harus bertanya kepada resepsionis, apakah ada reservasi atas nama Leo atau tidak. Namun, belum sampai di lobby hotel, aku melihat Leo keluar bersama seorang wanita yang menggandeng tangannya. Refleks, aku langsung sembunyi di balik mobil orang. Mataku mengikuti pergerakan Leo dan wanita itu hingga menuju mobilnya.

Apa yang kulihat, membuat kakiku mendadak lemas. Kini aku mulai berpikir macam-macam tentang Leo. Aku bahkan memikirkan kemungkinan apa yang dilakukan Leo bersama wanita itu selama di dalam hotel. Aku sampai lupa untuk memotret momen itu sebagai bukti aktivitas Leo.

Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa Leo tampak sangat akrab dengannya? Apakah wanita itu yang dicurigai oleh Venus? Mungkinkah Leo benar-benar selingkuh?

(*)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status