Share

Bab 5 Putus Kontak

Setelah mobil Leo meninggalkan hotel, aku kembali masuk ke dalam mobil. Aku tidak baik-baik saja sekarang. Pikiranku terus berkecamuk dengan segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri. Asumsiku terlalu liar. Pikiran negatif tentang Leo menguasai ruang pikirku hingga mengabaikan Bima yang terus bicara di balik earphone. Bima protes karena aku tiba-tiba mematikan kamera dan tak merespon ucapannya lagi. Karena dirasa mengganggu, aku pun memutus kontak secara sepihak. Ocehan Bima terlalu berisik untuk kudengarkan. Aku sedang tak ingin diganggu oleh siapapun.

Jujur saja, selama mengenal Leo, aku tidak pernah melihat wanita itu. Baik dalam foto maupun di dunia nyata. Begitu juga dengan lelaki yang ditemui Leo di cafe tadi. Aku sama sekali tak pernah melihatnya. Jika orang itu adalah teman baik Leo, maka seharusnya aku dan Bima sudah mengenalnya. Tapi faktanya, kami baru pertama kali melihatnya sekarang ini. Sedang dari obrolan yang mereka bicarakan, orang itu sepertinya tahu betul apa yang Leo rencanakan. Itu artinya, dia cukup dekat dengan Leo.

Sejujurnya lagi, hatiku terluka melihat kemesraan yang ditunjukkan Leo dan wanita itu. Aku patah hati dan kecewa berat pada tiap adegan yang kulihat dengan mataku sendiri. Aku tahu ini konyol. Tapi aku sungguh tak tahu, mengapa hatiku terluka lagi. Rasanya seperti ada bagian hati yang teriris, menimbulkan rasa perih, hingga membuatku ingin menangis. Tanpa sadar, perasaan sedih itu menjelma bulir bening yang keluar dari sudut mata. Dan aku terisak dalam diam.

Entah sudah berapa lama, kuhabiskan waktu untuk menangis sendirian di dalam mobil. Saat itu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Orang itu mengetuk kaca mobil, memintaku untuk membukanya. Namun, aku memilih tak bergeming. Aku tetap menunduk dan tak menunjukkan wajahku yang mungkin saja sembab. Aku pura-pura tidur.

Beberapa saat kemudian, terdengar orang itu menelepon seseorang.

“Halo, Bos? Mbak Sagi ...,” ucap orang itu melaporkan situasi. Ucapannya menggantung seolah ragu dengan apa yang akan disampaikan. Mendengar namaku disebut, aku jadi penasaran. Aku mengangkat wajah untuk sedikit mengintip. Beruntung, orang itu dalam posisi membelakangiku.

Jika dilihat, perawakan orang itu tampak seperti Kevin. Aku lalu mengenali jaket kulit hitam yang dipakainya. Benar, itu adalah Kevin. Dia pasti datang karena Bima yang mengutusnya.

“Mbak Sagi ada di dalam mobil,” Kevin melanjutkan laporannya. “Lagi nunduk di setir. Kayaknya ketiduran deh. Ini pintunya gak dibuka juga dari tadi,” terusnya. Lalu ia mendengarkan lawan bicaranya.

Namun, sebelum Kevin bertindak lebih jauh, aku memutuskan untuk keluar dari mobil saat itu juga.

Kubuka pintu mobil tanpa aba-aba, pemberitahuan, kode atau semacamnya. Dengan sengaja, kubuka pintu itu hingga menyentuh punggung Kevin. Kevin pun mengaduh. Ia kaget sekaligus sakit, lalu berbalik ke arahku dan mengabaikan teleponnya dengan Bima.

“Mbak Sagi. Jangan ditabrak dong! Sakit tau!” omel Kevin seketika.

“Maaf!” ucapku dengan raut wajah datar.

“Yang tulus napa minta maafnya ...,” omel Kevin lagi.

“Aaah, gak penting!” komentarku. “Kamu ke sini disuruh, kan? Nih, bawa pulang mobilnya ke kantor!” kataku lagi, sembari melemparkan kunci padanya.

Dengan sigap, Kevin menangkap kunci tersebut. Ia lalu mengemukakan keheranannya. “Loh? Mbak Sagi mau ke mana?” tanya Kevin lagi.

“Aku mau pulang, naik kereta bawah tanah! Bye!” jawabku tegas, sambil lantas pergi meninggalkan Kevin dan mobil Bima.

“Kereta bawah tanah? Di Indonesia belum ada kereta macam itu,” komentar Kevin setengah berteriak. “Mbak Sagi! Mbak! Pulang bareng, Mbak!” serunya terus-menerus. Tapi aku tak menoleh dan memilih untuk mengabaikan. Aku terus berjalan hingga suara Kevin tak terdengar lagi.

Di perjalanan pulang, aku mampir ke suatu tempat. Aku mampir ke kedai ramen langgananku yang tak jauh dari apartemen. Aku perlu mengisi energi setelah seharian mengikuti Leo dan makan seadanya. Itu tujuan awalku. Tapi sesampainya di sana, nafsu makanku mendadak hilang.

Bima. Ya, dia tiba-tiba muncul dan berdiri di depan sana. Matanya mencari tempat kosong yang bisa ia duduki. Spontan, aku menutupi wajahku dengan buku menu. Aku tak mau Bima melihatku, apalagi duduk satu meja. Aku belum siap untuk bertemu bahkan berbincang dengannya.

Namun, pelayan datang menyajikan pesananku. Membuatku terpaksa berhenti menyembunyikan wajahku. Keberadaanku pun ketahuan oleh Bima. Bima lantas menghampiri, duduk di depanku, dan memesan sesuatu kepada pelayan itu. “Saya pesan menu yang sama satu,” ucapnya kemudian. Membuatku otomatis berkata dalam hati. “Kenapa harus duduk di sini, sih?”

“Akhirnya aku menemukanmu,” ucap Bima begitu pelayan itu pergi. Dia berkata sambil memasang raut wajah senang. Perkataannya seolah menunjukkan kalau ia sedang mencariku.

Berbanding terbalik dengan Bima, aku justru tak senang melihatnya datang. “Kenapa kamu ke sini?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Karena aku lapar,” jawab Bima spontan.

Jawaban Bima terdengar jujur, tapi aku tak suka itu. Aku sedang ingin sendirian. Tapi dia muncul dan mengganggu waktu makanku. Aku pun mengabaikannya dan fokus pada makananku saja. Aku tak bicara barang sepatah katapun lagi.

Namun, Bima tentu tak tinggal diam. Ia melontarkan pertanyaan untuk mencairkan suasana yang sedingin udara luar. “Gimana perasaan kamu?” tanyanya kemudian.

Sontak aku melihatnya dengan tatapan tak mengerti. “Kamu ngomongin apa?” tanyaku sembari menyumpit ramen, lalu meniupnya supaya tidak panas. Aku pura-pura tak paham dengan arah pertanyaan Bima.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Bima malah mendekatkan wajahnya padaku. Ia mengamati wajahku dari jarak yang lebih dekat. “Mata kamu merah. Abis nangis ya?” tanyanya.

Mendapat perlakuan seperti itu, aku tentu jadi tidak nyaman. “Siapa yang nangis? Aku ngantuk,” jawabku asal. Menyangkal tebakan Bima yang terbukti benar. Lalu, aku menyuap makananku.

“Kamu bohong,” kata Bima lagi.

“Terserah!” responku singkat. Aku tak begitu peduli dengan apa yang Bima bahas. Sampai akhirnya, Bima hanya memandangiku dalam diam. Ia menontonku makan sembari menunggu makanannya datang.

Lagi-lagi, aku merasa tak nyaman. Aku merasa risih karena sikap Bima yang seperti itu. Aku pun terpaksa mengatakan sesuatu. “Apa? Kenapa lihat aku kayak gitu?” tanyaku.

“Apa kamu mau berhenti?” Bima malah bertanya balik.

“Berhenti apa?”

“Memata-matai Leo.”

Aku terdiam. Aku berpikir sejenak sebelum merespon perkataan Bima. Lalu, pelayan datang mengantar ramen pesanan Bima. Setelah pelayan itu pergi, barulah aku berkata. “Sudah terlanjur masuk kolam, aku harus berenang sekalian,” kataku.

“Kalo gitu, yang tadi jangan diulangi. Itu gak profesional,” kata Bima sambil mengaduk ramen yang masih panas. Bima menyinggung soal putus kontak yang kulakukan di hotel tadi.

“Aku gak bermaksud gitu,” responku membela diri.

“Terus?” tanyanya meminta penjelasan.

“Udah kubilang aku ngantuk!” jelasku. Aku bersikukuh pada pernyataanku yang mungkin terasa meragukan bagi Bima. “Aku juga perlu istirahat. Soal Leo bisa dilanjutkan besok,” terusku agak ketus.

“Tapi haruskah berhenti di momen yang paling penting?” ucap Bima kala itu. Membuat kesabaranku makin menipis dan ingin marah saat itu juga. Namun, alih-alih meluapkan emosi di tempat orang, aku lebih memilih diam dan mengabaikan pertanyaan itu. Aku menyuap makananku lebih cepat, tidak menghabiskannya, lalu pergi meninggalkan Bima. Aku menyimpan kekesalanku untuk kulampiaskan di tempat lain.

(*)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status