Elang menuju gedung rektorat tempat semua pusat administrasi kampus berada. Menaiki lift dan berhenti di lantai empat tempat ketua jurusan teknik kimia dan jajaran dosen berada.
Pemuda tampan itu berhenti di depan meja admin yang mengurusi jadwal dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan jurusan."Kajur ada, Mbak?" tanya Elang sopan."Ada, tapi masih terima tamu!""Kalau Bu Nindya ada?""Kamu mau ketemu Kajur apa mau bimbingan sama Bu Nindya? Biar saya atur jadwalnya sekarang.""Saya mau ketemu Kajur, Mbak! Tapi kalau bisa pas Bu Nindya nggak ada di tempat!" jawab Elang ringan. Dia sedang tidak ingin dilihat ataupun melihat wanita yang sudah membuatnya sakit kepala.Admin perempuan itu melihat jadwal sebentar sebelum menjawab, "Bu Nindya hampir selesai di kelas analis jurusan geologi, sebentar lagi beliau pasti kembali kesini. Kalau Kajur, nah itu … beliau sudah free, kalau mau ketemu sekarang dipersilahkan,"Ya, itu penelitian bersama antara dosen geologi, pertambangan dan kimia mengenai struktur batuan dan air di kawasan karst Gunung Kidul." Pak Ronald memberikan gambaran singkat mengenai pekerjaan yang sedang dilakukannya bersama dosen-dosen jurusan lain di kampus. "Lalu apa yang akan saya teliti di sana, Pak?""Kalau kamu bersedia kamu bisa ambil bagian untuk penelitian mengenai studi kelayakan air minum dari dalam goa, air bawah tanah."Elang sedikit mengerti, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dikenal sebagai wilayah karst (kapur). Luas kawasan karst sekitar 807 km persegi. Kekayaan karst tersebut menjadi daya tarik dari para investor untuk melakukan penambangan batuan jenis gamping. "Beberapa perusahaan pertambangan yang melakukan aktivitas eksploitasi karst di Gunungkidul sudah pada habis masa perizinannya ya, Pak? Tapi pasti masih ada saja yang melakukan penambangan ilegal.” Elang memberikan tanggapan singkat mengenai lokasi penelitian.
Butuh perjuangan bagi Elang untuk membuat lagi rencana penelitiannya, terlebih ini dilakukan bersama dengan petinggi kampus yang sudah punya gelar minimal master di bidang masing-masing. Dia tidak bisa main-main dengan keputusannya bergabung dalam tim penelitian dosen di kampusnya.Selain Elang dari teknik kimia, ada Sandra dari teknik geologi dan Mario dari teknik pertambangan. Tiga mahasiswa yang ditunjuk untuk mewakili jurusan masing-masing dalam kerja sama di lapangan. Elang belum bertemu lagi dengan Nindya sejak insiden ciuman panas di kamarnya, selama tiga hari ini dia sibuk bimbingan awal dengan Pak Ronald. Elang sangat serius dan fokus pada lembaran materi yang diberikan Pak Ronald padanya, dia kembali optimis bisa mengejar jadwal wisuda sesuai target.Dalam hati, Elang merasa kalau Nindya sungguh-sungguh menghindarinya setelah membuangnya, jadi Elang pun bersikap adil dengan melakukan hal yang sama persis dengan yang sedang dilakukan Nindya. Elan
Elang tidak peduli suara ketus dan galak Nindya, dengan nakal dia sudah menghimpit Nindya dan menaikkan dagu dosen muda cantik di depannya agar menatap matanya.“Aku tidak akan membiarkan kamu lari, Nindya! Pertemuan seperti ini bukan sebuah kebetulan, pasti ada sesuatu dibaliknya." Elang berkata sambil menunduk hingga nafasnya menyapu wajah Nindya yang bersemburat merah."Baiklah, terserah kamu menganggap pertemuan ini sebagai apa! Sekarang tolong menjauh! Kamu membuatku sesak nafas." Nindya menjawab tegas sembari membuat gerakan mendorong tubuh Elang. Nindya tidak ingin terjadi sesuatu yang melibatkan perasaannya, meski tak dipungkiri bau parfum Elang mulai meracuni sarafnya. Namun, Nindya tidak mau melakukan kesalahan berulang."Menjauh? Seperti ini?" tanya Elang dalam bisikan menggoda.Nindya menahan nafas saat merasakan satu tangan Elang menahan dinding lift dan tangan yang lain justru melingkar di pinggangnya, menariknya perlahan untuk merap
Elang mampir ke warung yang tidak jauh dari kampus, kios kecil yang menjadi langganannya saat kepala pusing karena kebanyakan beban pikiran. Dua botol minuman beralkohol dibelinya dari sana sebelum pulang ke kontrakan. Apa yang baru saja dialaminya bersama Nindya di dalam lift tak urung membuat kepalanya menjadi berat. Elang sedang tidak ingin melampiaskan kekacauan dirinya bersama Vivian atau perempuan lain. Elang lebih memilih mabuk demi melupakan siksaan Nindya dalam nadi lelakinya.Mampir ke mesin pengambil uang di jalan, Elang menggerutu sambil memukul pelan pada layar penunjuk rupiah yang sangat tidak menyenangkan hatinya."Mak lampir ini … selalu saja telat transfer uang bulanan," geram Elang lirih. Dia jelas tak mau uang simpanannya yang lain berkurang.Kekesalan hati membuat Elang batal pulang ke kontrakan, dia melajukan kendaraannya ke arah Malioboro dan akhirnya masuk ke dalam salah satu penginapan di daerah Pajeksan.
Bukan hanya rindu pada kenangan, tapi Elang yang sekarang merasa sangat kesepian dari kasih sayang. Hubungannya dengan sang ayah benar-benar memburuk sejak laki-laki paruh baya itu menikah dengan Bu Anita. Janda anak satu yang menggantikan posisi mamanya.Elang masih sulit menerima keadaan tersebut, sulit menerima kehadiran wanita lain yang minta dipanggil ibu olehnya. Alih-alih memanggil istri ayahnya dengan sebutan ibu atau tante, Elang justru dengan tidak sopan memanggil dengan sebutan Mak Lampir.Sebenarnya Elang tidak pernah diperlakukan buruk oleh ibu tirinya, tapi tetap saja Elang tidak sudi membangun hubungan baik dengan wanita yang sudah mengambil cinta ayahnya. Elang memiliki pandangan tersendiri mengenai cinta.Satu-satunya yang bisa mengajak bicara saat Elang di rumah adalah Dewa, anak laki-laki dari Mak Lampir yang terpaut empat tahun lebih muda darinya. Dewa bisa diterima Elang karena tidak pernah sedikitpun ikut campur urusannya. Tidak mende
Sore di Jalan kaliurang terasa dingin meskipun langit cerah. Nindya membersihkan tempat tinggalnya ala kadar karena sudah merasa lelah. Mbok Sumi yang biasa menemaninya di rumah meminta izin untuk pulang kampung menjenguk cucu.Hidup sendiri di kota Yogyakarta tidak menyurutkan nyali, Nindya senang mengajar, dia senang mendedikasikan hidupnya untuk berbagi ilmu, Nindya mencintai profesinya sebagai dosen. Seharusnya, hari ini Nindya pulang ke Semarang tempat ibunya. Karena begitulah rutinitas setiap Sabtu setelah selesai mengajar. Namun, karena besok siang ada janji dengan salah satu dosen yang tergabung dalam grup penelitian ekologi mengenai kunjungan lapangan berikutnya, Nindya menunda untuk bertemu ibunya sampai Sabtu berikutnya.Hari mulai gelap, Nindya menyeduh teh dan berniat menghabiskan malam minggunya dengan membaca. Tunangannya memiliki kesibukan sendiri di akhir pekan, dan Nindya tidak pernah menuntut untuk kencan malam mingguan. Dia bukan abg l
Elang meraih dua botol yang baru saja diletakkannya di atas meja. Dia berjalan santai ke ruang televisi, menyalakannya dan duduk di karpet tanpa mempedulikan Nindya. Elang sedang tidak ingin diganggu, dinasehati apalagi dimarahi.Satu tegukan kecil dan terus berulang membuat wajah Elang semakin memerah, matanya juga terlihat lebih sayu dari sebelumnya. Elang tidak berhenti menenggak minumannya, sesekali mendongak menatap langit-langit ruangan dengan pikiran rumit. Nindya hanya duduk mengawasi sambil membaca di perpustakan. Dia tidak pernah melihat ekspresi kesedihan sedalam itu dari seorang Elang. Bukankah menatap ke atas hanya dilakukan jika mungkin ada air mata yang akan tumpah? Nindya sangsi dengan penilaiannya meskipun isi kepalanya berkata demikian."Bu Nindya … apakah salah jika seorang anak merindukan ibunya yang telah tiada?" Mata Elang berwarna merah, menyorot tajam pada Nindya untuk mencari jawaban.Nindya menggeleng ringan dengan ekspr
Nindya tidak tidur nyenyak semalaman demi menjaga Elang, dia khawatir kalau pemuda yang tidur gelisah di dalam rumahnya membutuhkan sesuatu. Setidaknya dengan tidak lelap, Nindya juga secara otomatis sudah menjaga dirinya sendiri dari keusilan Elang yang mungkin terjadi seperti kejadian rafting beberapa waktu lalu.Dosen muda itu sedang memasak di dapur untuk membuat sarapan saat Elang terbangun. Dia melirik dan memperhatikan sekilas Elang yang sedang duduk sambil termenung.Tak lama, Elang pergi ke arahnya, tersenyum hambar lalu masuk ke kamar mandi setelah Nindya mengulurkan handuk bersih dan sikat gigi yang masih bersegel tanpa berbicara. Harus Nindya akui, pemandangan dada lebar Elang dan wajah yang baru bangun tidurnya benar-benar menunjukkan pesona Elang. Born to be awesome, istilahnya.Menit berikutnya suara air shower mengalir deras, menandakan yang ada di dalam kamar mandi mulai membersihkan diri. Nindya terpekur sejenak membayangkan tubuh telanja