"Nyonya, Jason Ataraka, keponakan jauh Rigen, sepertinya akan datang berkunjung untuk mengucapkan selamat atas pernikahan kalian. Anda tahu apa yang harus dilakukan, kan?" Jovian, sekretaris sekaligus tangan kanan Rigen, memberi tahu hal itu seraya mengulurkan padaku amplop tebal berisi informasi tentang Jason Ataraka yang harus kuketahui. "Aku tahu," jawabku, sambil mengatakan akan membaca informasi Jason Ataraka dengan hati-hati. "Tolong jangan membuat kesalahan apa pun, Nyonya." Jovian berkata dengan nada sopan, tapi aku tahu ada ancaman samar di dalamnya, tentang aku yang tak boleh membocorkan rahasia pura-pura komanya Rigen. "Jangan khawatir, aku tidak sebodoh itu," ujarku, memaksakan senyum. Jovian mengangguk dan pergi, tanpa mengatakan apa pun. Namun, entah kenapa, rasanya dia tak mempercayaiku sama sekali. Setelah membaca semua info tentang Jason, aku menunggu keponakan jauh Rigen, yang diambil anak oleh ibu Rigen dan usianya tak jauh dari Rigen, dengan gelisah d
"T-tentu. Aku harus menjaga suamiku. Tentu saja aku sering ke sini untuk merawatnya," jawabku, dengan nada yang sengaja sedikit ketus agar Jason sadar diri dan pergi. Namun, bukannya pergi, langkah Jason justru perlahan mendekat. "Setia sekali. Tapi... tidak bosan, menunggui seseorang yang bahkan tak bisa merasakan kehadiranmu, Sayang?" bisiknya, memainkan ujung rambut panjangku. Dia kini bahkan berani berbisik di telingaku dan memanggilku sayang! Aku meremas jemariku, mataku melirik sekilas ke arah Rigen. Meski aku tahu dia sedang pura-pura koma, keberadaannya yang terdiam membuatku semakin gelisah. "Jason, kumohon jangan bicara seperti itu," ucapku dengan suara bergetar, mendorong tubuhnya menjauh. Namun Jason justru semakin mendekat. "Hey, kenapa? Apa yang kamu takutkan, Ariella?" Tangannya terulur, menyentuh ujung rambutku dengan lembut, membuat tubuhku menegang. "Aku hanya berpikir... seorang wanita secantik kamu pasti butuh lebih dari sekadar pria yang
Rigen bersandar santai di ranjang, matanya menatapku dengan kilatan tajam penuh ejekan. Senyuman miring menghiasi wajahnya, membuatku semakin gelisah. "Jadi, Riel." Suaranya rendah, teramat dalam, seolah setiap katanya sengaja diucapkan untuk menusukku. "Kamu benar-benar tidak tergoda dengan tawaran manis Jason?" Menyembunyikan gemetar karena aura Rigen yang mendominasi, aku mengepalkan tangan di pangkuanku, mencoba mempertahankan ketenangan. "Aku sudah menjawabnya, Rigen. Aku tidak tertarik. Berapa kali harus kukatakan hal ini agar kamu percaya padaku?" jawabku, menatap matanya dengan berani. Dia tertawa pelan melihat wajah lelahku, dengan tatapan penuh sindiran. "Tapi kenapa aku merasa jawabanmu terlalu... muluk? Apa kamu berusaha meyakinkanku, atau dirimu sendiri, Ariella?" Mendengar itu, aku mengalihkan pandangan, tak ingin membiarkan matanya menelanjangi isi hatiku. "Percaya atau tidak, itu terserah kamu." Akhirnya, aku memilih jawaban yang aman. Rig
"Tidak mungkin. Aku dengar jelas. Kamu bilang ‘terima kasih’. Kenapa? Untuk apa?" kejarku, tak sabar sambil mengerucutkan bibir, menolak menyerah. Rigen mendekat, setiap langkahnya membuat napasku semakin memburu. Namun aku tetap bertahan, menatap matanya penuh tantangan. "Kamu ingin aku mengatakannya lagi, Riel?" Rigen menunduk, wajahnya begitu dekat hingga napasnya menyapu kulitku. "Kenapa? Apakah kata-kata itu begitu berarti bagimu?" "Tentu saja," jawabku cepat. "Karena aku tahu kamu bukan tipe orang yang mudah mengucapkannya. Jadi, katakan lagi." Dia menyeringai dan melontarkan ejekan. "Memaksa Rigen Ataraka untuk mengulang kata-kata manis? Berani sekali kamu, Riel." "Aku memang berani," balasku, meski jantungku berdebar keras. "Jadi ulangi. Atau... apakah kamu takut?" tantangku, menatap tengah matanya. Tantanganku rupanya berhasil. Mata Rigen menyala, campuran antara godaan dan rasa tergelitik. Namun alih-alih menjawab, dia tiba-tiba menarikku mendeka
"Kamu sudah mengizinkanku tadi pagi, Rigen," jawabku sambil meremas jemari, berusaha tetap tenang. Rigen tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih terasa seperti ancaman daripada ketulusan. "Aku berubah pikiran, Riel." Jantungku berdebar keras. Aku tahu ini akan terjadi. "Tapi aku harus pergi, Rigen. Sungguh," kataku dengan suara lebih tegas. Rigen menatapku lekat-lekat, lalu tangannya tiba-tiba melingkar di pinggangku, menarikku lebih dekat ke tubuhnya. "Jadi kamu lebih memilih menghadiri pesta pria lain… daripada tinggal bersamaku?" Merasakan betapa dinginnya nada suaranya, aku menutup mata, mencoba menenangkan diriku sendiri. "Bukan begitu, Rigen. Aku... aku hanya menepati janji yang sudah kubuat," elakku, menggeleng tegas. "Ohya? Tapi kenapa ya rasanya kamu seperti sangat bersemangat pergi ke pesta itu? Rasanya... tidak seperti hubungan biasa," balasnya, tersenyum dingin. "Rigen..... " Aku tahu, aku harus membujuknya lagi. Tapi bagaimana? Menelan lud
Menjelang pesta dimulai. Berdiri di depan cermin, aku sekali lagi memastikan gaun yang kupilih sudah sempurna. Warna navy yang kupakai membalut tubuhku dengan elegan, membuatku terlihat lebih anggun dari biasanya. Dengan rambut yang tergerai indah, serta riasan yang tidak berlebihan, tapi cukup untuk menonjolkan fitur wajahku, membuat penampilanku malam ini sempurna. "Ayo pergi," ucapku, mengangguk pada diri sendiri. Aku hampir berhasil. Aku hampir keluar dari rumah ini tanpa insiden apa pun. Namun, saat aku baru saja mengambil tas kecilku, suara langkah kaki berat terdengar mendekat dari arah belakang. Aku berbalik, dan di sana, di ambang pintu, berdiri pria yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Rigen. Dia mengenakan kemeja hitam yang lengannya sedikit tergulung, tampak berantakan seolah habis menghabiskan waktu berjam-jam di balik meja. Mata tajamnya langsung mengunci ke arahku, menyapu setiap detail dari atas ke bawah. Kulihat jelas bagaimana raha
"Rigen, kumohon.... " Sambil menelan ludah, aku mencoba mengatur napasku yang masih tersengal. Tangan Rigen masih mencengkeram pinggangku, matanya yang gelap menatapku tanpa ampun. Aku tahu dia tidak akan membiarkanku pergi begitu saja. Jadi, dengan suara serendah mungkin, aku mencoba membujuknya. “Rigen… tolong lepaskan aku.” Dia tidak bergerak, bahkan cengkeramannya di pinggangku semakin erat. “Aku hanya ingin pergi ke pesta ulang tahun Drake, itu saja,” lanjutku, mencoba menenangkan situasi. “Dia sahabatku. Aku tidak akan melakukan hal yang aneh. Aku hanya ingin merayakan hari spesialnya," pungkasku dengan ekspresi memohon. Rigen masih diam. Aku bisa melihat otot di rahangnya mengencang, ekspresinya dingin tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tidak ingin dia katakan. Kuangkat tangan, menyentuh pipinya dengan lembut. “Kumohon, Rigen," bujukku dengan nada lembut. "Ya? Kamu sudah memberiku izin tadi," lanjutku, memelas. "Kamu
Rigen akhirnya mengizinkanku pergi ke ulang tahun Drake. Meski terasa seperti kebebasan, aku tahu itu hanyalah ilusi. Sebelum aku pergi, Rigen dengan nada dinginnya mengingatkanku tentang kalung yang melingkar di leherku — sebuah alat pengawas yang bisa memberitahu segalanya padanya. "Jangan lupa, Riel," ucapnya pelan, jemarinya menyentuh liontin kecil di kalungku. "Aku selalu tahu apa yang kamu lakukan." Ku anggukkan kepala, menyembunyikan gejolak di dada. "Tentu, Rigen. Aku tidak akan mengecewakan kepercayaan yang kamu berikan padaku ini. " Mendengar nada patuhku, Rigen akhirnya tersenyum puas. "Kamu tahu aku paling benci pembohong, Riel." Ada nada ancaman dan rasa jijik di sana, sehingga aku cepat-cepat mengangguk. "Aku mungkin seperti ini, tapi aku bukankah seorang pembohong, Rigen," ujarku dengan percaya diri. Rigen tertawa sekilas, menepuk lembut puncak kepalaku dan akhirnya melepaskan aku pergi. "Oke, aku melepaskanmu kali ini. Tapi, jangan mengecewa
Aku menatap Rigen yang kini mengenakan kemeja putih yang sedikit terbuka di bagian dada, memperlihatkan bekas cakaran yang kutinggalkan semalam. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin pagi, dan tatapan matanya menyapu tubuhku dengan cara yang membuat kulitku meremang. "Kenapa... kamu menyiapkan ini semua?" tanyaku pelan, suaraku sedikit bergetar. Rigen menatapku lama, lalu melangkah masuk mendekat. Setiap langkahnya menimbulkan tekanan yang aneh di dadaku, seolah udara menghilang bersamaan dengan jaraknya yang menyempit. "Apa kamu berharap aku akan bersikap dingin dan membuangmu setelah tadi malam, Ariella?" tanyanya dengan senyum samar yang tak bisa kutebak. "Sayangnya, aku bukan pria murahan yang memperlakukan wanitanya seperti barang bekas." Kalimatnya menusuk sesuatu dalam diriku. Tapi bukankah aku hanya istri kontrak? Menunduk, aku menatap jemariku sendiri, berusaha menenangkan gemuruh dalam hati. "Rigen…" bisikku. "Kamu sudah pernah melakukan ini sebelumny
Aku bangun sangat kesiangan. Saat membuka mata, yang pertama kali kulihat adalah langit-langit yang sedikit kukenal, kamar tidur Rigen. Seluruh tubuhku sakit seperti dipukuli dan rasa sakit dapat kurasakan di perut. 'Dan apa yang terjadi kemarin di sofa ruang kerja Rigen….' Wajahku memerah ketika dia teringat tertidur di sofa setelah berhubungan seks dengan Rigen. Aku memutar mata dan mengamati sekeliling, mendapati diriku kini berada di tempat tidur yang nyaman, terbungkus selimut tebal. Cuacanya terlalu hangat untuk musim panas, pikirku, namun anehnya, aku merasa nyaman. Sisi lain tempat tidur itu kosong. Aku tidak menganggap Rigen sebagai tipe pria romantis yang akan bangun bersamaku setelah bercinta, tetapi aku masih merasakan sedikit penyesalan. "Kami hanya tidur bersama. Tidak lebih." Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kejadian menginap tadi malam. Kami adalah dua pria dan wanita dewasa, yang terikat sebagai suami istri, meskipun secara kontrak. K
Aku masih berbaring di atas sofa ruang kerja Rigen yang lembut, dengan rambut acak-acakan, napas berat dan tidak teratur. Air liur berkilauan di payudaraku saat payudaraku naik turun mengikuti irama napas yang terengah-engah. Itu pemandangan yang tidak senonoh. Rigen yang sudah membasahi sekujur tubuhku dengan ludah dan air mani, menatapku dengan malu, tetapi sensasi penisnya yang mencengkeram erat terlepas dari tubuhku, terlalu kuat untuk membuat aku menyadari hal lain. "Ugh, Rigen!" "Sedikit lagi, Ariella. Ayo sedikit lagi." Kami masih terus melanjutkan aktivitas itu sampai tengah malam. Rigen benar-benar tak bisa berhenti, dia terus mengisiku lagi dan lagi. Aku memohon untuk berhenti tapi Rigen terus berkata sedikit lagi dan lagi. Bagaimanapun juga, hubungan intim itu akhirnya berakhir, setelah aku hampir pingsan karena kelelahan. Aku terengah-engah dan menangis, pikirannya kacau karena kebingungan. Itu adalah campuran antara rasa sakit, kesenangan, dan pengkhia
Rigen membelai payudaraku dengan penuh kasih sayang dan perlahan mendorong penisnya di sepanjang jalan masukku yang santai. Begitu yakin berada di tempat yang tepat, ia menurunkan berat badannya dan menekan pinggangku dengan kuat. Alat kelaminnya bergerak maju, membelah celah sempit itu. Dengan satu gerakan cepat, Rigen meluncur di bawahku, yang masih basah kuyup karena belaian lembutnya. Tubuh bagian bawah kami pun bersentuhan penuh. "Haah!" Aku spontan mendesah karena rasa sakit yang menyerang. Terlalu sakit untuk berteriak, hanya suara napas yang terdengar seperti angin yang bertiup kencang. Tubuhku bergetar, dan air mata menggenang di mataku. Aku pernah diajarkan bahwa pengalaman pertama biasanya menyakitkan, tetapi ini jauh dari imajinasiku. Aku bertanya-tanya apakah wanita menahan rasa sakit seperti ini setiap kali berhubungan seks, atau apakah penis pria ini luar biasa besar. Pikiran-pikiran berkecamuk dalam benakku, tetapi tidak ada yang masuk akal. Aku tidak m
Rasanya otakku meleleh. Lalu, Rigen mendekatkan bibirnya ke dadaku. Jari-jarinya yang tadinya meremas-remas pintu masukku, ditarik kembali, digantikan oleh bibirnya yang dengan lembut membungkus kuncup yang sensitif itu. Sensasi diselimuti oleh panasnya yang lembut dan basah membuat air mataku mengalir deras. Perlahan, lidahnya menjilati kemaluanku yang menegang. Panas yang lembut dan lembap mengusap lembut, lalu menekan lebih kuat pada daging yang sensitif, menyebarkan ketegangan ke seluruh tubuhku dengan setiap gerakan. “Hah… ah… ahh…!” Kehangatan lembut mulutnya yang menyelimuti kemaluanku yang mengeras membuat bulu kudukku merinding. Seolah ingin menghiburku, Rigen mulai memijat dadaku dengan lembut. Mungkin itu dimaksudkan untuk membantuku rileks, tetapi efeknya justru sebaliknya. Aku menegang sampai ke ujung kaki. Meskipun tekanan yang menyesakkan itu tampaknya mereda, itu tidak membantu. Malah, debaran jantungku bertambah kuat, dan sensasi melayang menj
"Rigen.... " Dengan lengannya yang mengurungku, dan napasnya mengalir di pipiku—panas dan lembap, seperti api neraka, Rigen mendorongku lembut, tubuhku terjatuh ke sofa empuk dekat meja kerja Rigen. "Diam, Riel." Perlahan, Rigen menurunkan bibirnya ke tengkukku. Panas yang menyentuh kulit tipisku membuat bahuku tanpa sadar bergidik lagi dan lagi. Rigen lantas membuka kancing celananya. Begitu ia menurunkan celana dalamnya sedikit, penisnya menyembul keluar seolah-olah sudah menunggu. Mulutku perlahan menganga saat melihat penis yang tegak kaku itu, sedangkan Rigen malah tampak menyeringai senang. “Lihat, Riel. Gara-gara provokasimu, penisku sudah ereksi. Bagaimana kamu harus bertanggung jawab sekarang?" Rigen bertanya dengan ekspresi santai. "A-apa itu?" Aku benar-benar tercengang karena melihat penis Rigen yang luar biasa besar. Alis Rigen tampak sedikit berkerut saat menyadari bahwa itu sebenarnya bukan respons yang baik. Aku masih menatap kemaluannya denga
"R-Rigen.... "dan sebelum aku sempat memahami maksudnya, tubuhku kembali tertarik ke dalam dekapannya. "Diam dan nikmati, Riel," bisik Rigen, menyisir rambutku dengan jarinya. Bibirnya kembali menemukan milikku, kali ini lebih dalam, lebih menuntut, seakan dia ingin memastikan bahwa aku tidak bisa berpikir tentang hal lain selain dirinya. Aku tidak bisa melawan. Tanganku tanpa sadar meraih kerah bajunya, menariknya lebih dekat, membiarkan panas tubuhnya menyelimutiku sepenuhnya. Ciumannya semakin dalam, semakin membara, seolah ingin mencuri seluruh kesadaranku. Aku kehilangan kendali atas tubuhku, atas pikiranku—semuanya hanya tersisa satu hal: Rigen. Saat Rigen akhirnya menarik diri, aku terengah-engah, menatapnya dengan mata yang masih dipenuhi euforia dari ciumannya. Dia menatap bibirku yang sedikit bengkak sebelum matanya kembali mengunci milikku. "Bagaimana? Masih bosan?" tanyanya, suaranya serak. Tidak bisa menjawab, aku hanya menatapnya, dengan tubu
Kurasakan cengkeramannya mengerat di pinggangku, dan seketika seluruh tubuhku dipenuhi oleh sensasi panas yang menggetarkan. Aku ingin menantangnya, ingin tetap bermain dengan api ini… tapi dalam posisi seperti ini, aku tidak yakin bisa memenangkan permainan. “Aku hanya bercanda,” bisikku, suaraku mulai bergetar. Dia terkekeh, tapi tidak ada tawa di matanya. “Bercanda, ya?” tangannya naik, ibu jarinya mengusap bibirku yang masih berlapis lipstik merah. Gerakannya lambat, nyaris menyiksa, sebelum akhirnya dia menarik daguku, memaksaku menatapnya. “Kalau begitu, aku juga ingin bermain-main sebentar.” Dan sebelum aku bisa bernapas, bibirnya sudah melumat milikku dengan penuh intensitas. "R-Rigen!" Aku berteriak terkejut, tapi tubuhku seakan sudah mengenali sentuhannya—responku datang secara alami, tanganku tanpa sadar meraih kerah bajunya, menariknya lebih dekat. Ciuman ini berbeda. Bukan hanya penuh gairah, tapi juga… menuntut. Seolah dia ingin membukti
"Ahhh. Aku ingin keluar. Aku ingin menghirup udara segar, berjalan-jalan, melakukan apa saja yang bisa mengalihkan pikiranku dari percakapan pagi tadi. Tapi.... " Kuhela napas, berat. Langit cerah, matahari bersinar hangat, tapi suasana hatiku gelap dan berantakan. Menggigit bibir, sejak tadi aku terus berusaha mengendalikan emosi yang bergejolak di dalam dadaku tiap ingat percakapan antara Jovian dan Rigen tadi pagi. Rigen. Jovian. Perkataan mereka masih terngiang di kepalaku, berputar tanpa henti. "Apakah Rigen benar-benar bosan denganku?" Pertanyaan ini terus menggangguku seharian. Apakah aku hanya permainan baginya, sesuatu yang bisa dia buang begitu saja ketika sudah tidak menarik lagi? Kugelengkan kepala, mengepalkan tangan. "Tidak. Aku tidak boleh berpikir seperti itu!" Kututup mata, mencoba menenangkan diri. Jika aku tidak bisa keluar dari rumah ini, maka aku harus menemukan cara lain untuk mengalihkan pikiranku. Tapi bagaimana? Aku membuka mat