"Hufttt... "Aku masuk ke ruanganku dan menutup pintu. Baru kali ini, ruang yang sempit ini terasa seperti tempat perlindungan. Tapi belum sempat aku menarik napas panjang, layar ponselku menyala.1 Pesan Masuk dari: Rigen. [Sudah sampai kantor? Semua baik-baik saja?]Aku menatap pesan itu lama. Tak ingin membuatnya khawatir, tapi tak sanggup juga berkata semuanya baik-baik saja. Lalu aku menjawab singkat:[Ya. Nanti kita bicara.]Tapi ternyata “nanti” datang lebih cepat dari yang kuduga.Sekitar dua jam kemudian, HRD memanggilku. Katanya ada laporan bahwa aku terlibat dalam situasi yang mengganggu lingkungan kerja. Aku hanya tersenyum pahit.Sesampainya di ruang HR, di sana sudah duduk salah satu dari perempuan yang melabrakku pagi tadi. Ia berbicara seolah korban. Mengatakan aku bersikap tidak profesional, dan membuat suasana kantor tidak nyaman.“Dia membawa masalah pribadinya ke kantor. Kami tidak merasa aman,” katanya, memutarbalikkan kenyataan dengan wajah datar.Aku hanya men
Pagi itu aku datang ke kantor dengan langkah ringan. Tubuhku masih menyimpan jejak kehangatan semalam, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama… aku merasa tenang. Aku merasa dicintai, dipilih, dan diterima. Rigen, dengan segala caranya yang keras dan mendominasi, telah menegaskan satu hal: dia milikku."Halo, selamat pagi!"Aku menyapa beberapa orang seperti biasa. Namun yang kudapat bukan balasan, melainkan tatapan dingin. Dingin dan menyelidik, seperti sedang menilai pakaian yang kugunakan, atau lebih tepatnya... menilai harga diriku.Langkahku melambat. Ada sesuatu yang aneh.Di lorong menuju ruanganku, tiga perempuan dari divisi lain—yang biasanya tidak pernah bicara banyak denganku—tiba-tiba berdiri menyilang di depanku.“Aduh, pagi-pagi sudah semerbak aroma... pelakor,” sindir salah satu dari mereka. Rambutnya diikat ketat, matanya menatapku dari atas ke bawah.Aku menegang. “Maaf?”“Kamu tidak usah sok polos,” ucap perempuan satunya yang berkacamata. “Kamu pikir kami tida
"Aku tidak membencinya. Tidak, kali ini malah terasa menyenangkan," ucapku. Perut bagian bawahku yang ramping itu menggeliat sekali lagi.Namun kali ini sedikit berbeda.Menekan napas yang tersengal-sengal bisa saja membuat seluruh tubuh hancur dalam sekejap, sama seperti sebelumnya, tapi apa yang berbeda?'Ah, itu tidak menakutkan.'Rigen dengan lembut memegang leherku, menjebaknya di bawahnya, sementara gerakan pinggangnya berlanjut.Aku memandang Rigen dengan perasaan takjub. Wajah yang terfokus pada tindakan ini, anehnya… menyenangkan."Aaaah!"Rigen terus-menerus menyentuh titik paling sensitif dan halus, terutama titik klimaks.Ia menarik kaki-kaki putihku yang lemas dari udara, melilitkannya di pinggangnya. Ia memukul ke bawah dan gemetar seolah-olah menarik bagian terdalam.'Sekarang rasanya aku benar-benar menjadi gila.'Aku memejamkan mata rapat-rapat. Rasa sakit berubah menjadi kenikmatan, dan sensasi yang hampir mempermalukanku berubah menjadi kegembiraan yang luar biasa
Tubuhku masih gemetar dalam pelukannya. Nafas kami belum sepenuhnya tenang, tapi dadanya menjadi bantal paling sunyi yang pernah kupeluk.Di tengah lelah dan basah, Rigen masih menggenggam tanganku seperti janji yang baru saja diikrarkan ulang. Ia tak bicara beberapa saat. Hanya mengelus lenganku perlahan, menenangkanku seperti bayi yang baru lahir di dunia penuh luka. Namun kemudian ia mencium pelipisku. Lama. Dalam. Lalu berbisik di antara hela napasnya yang berat, “Aku tidak akan biarkan kamu tidur malam ini kalau kamu masih merasa ragu sedikit pun soal siapa dirimu bagiku.” Aku memutar tubuh, menghadapnya, tubuhku setengah tenggelam di bawah selimut. Matanya—hitam dan teduh itu—masih penuh nyala. Tapi nyala itu bukan marah, bukan benci. Itu obsesi. Itu cinta. Itu kegilaan yang hanya datang dari laki-laki yang terlalu takut kehilangan. “Aku capek, Rigen,” bisikku. “Tapi bukan karena kamu. Aku lelah dengan dunia yang terus mempertanyakan kita.” Ia mencengkeram rahangku lem
Tanpa ada kata apapun lagi, napas kami saling bertaut. Rigen tak segera melepaskan keningnya dari milikku. Tangannya membelai rambutku perlahan, seperti sedang menyusun ulang setiap emosi yang berantakan di wajahku. “Aku tidak akan biarkan kamu pergi lagi, Riel,” gumamnya, suaranya rendah dan dalam. “Aku tidak akan biarkan siapa pun—termasuk Ezra—mengisi ruang yang seharusnya cuma untukku.” Aku menggigit bibir. Wajahnya begitu dekat. Aroma tubuhnya yang hangat menguar, memelukku dalam sesuatu yang asing tapi familiar. Ada luka. Ada kuasa. Ada gairah yang ditahan terlalu lama. Tangannya turun, menyentuh tulang selangka, menelusuri lekuk tubuhku seperti menghafal kembali yang sempat terlupa. Sentuhannya lembut, tapi ada sesuatu yang tertanam di balik itu—semacam pengakuan. Atau mungkin peringatan. “Rigen…” bisikku, hampir seperti rintihan. “Aku takut…” Ia menatapku dalam. Matanya tak sekadar gelap—ada bara di sana. Tapi bara yang tak membakar, justru menghangatkan. “Takut apa, sa
"Riel, lihat aku." Rigen memanggil, dengan tangannya yang menggenggam pipiku, lembut tapi tegas, seolah menyuruhku diam. Tak ada tempat untuk lari, bahkan untuk menoleh. Mataku menatap lurus ke matanya—mata yang menuntut seluruh jawabanku, seluruh penyerahan yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. "A-apa?" "Riel," ucapnya pelan, tapi penuh tekanan. "Kamu perempuan yang keras kepala. Kamu lari saat aku butuh kamu. Tapi kamu juga satu-satunya orang yang bisa membuat aku pulang lebih cepat, hanya untuk melihat apakah kamu masih di sisiku. Ini sangat lucu kan, Riel?" Gelisah, aku menggigit bibir. Jantungku berdetak tak beraturan mendengar pengakuan itu. "Aku—aku bingung, Rigen… aku lelah…" bisikku, nyaris putus asa. "Dan kamu pikir aku tidak?" balas Rigen, suaranya rendah, mendekat. Tangannya turun, mengusap garis rahangku, lalu berhenti di tengkukku, menggenggam pelan namun kuat. "Tapi aku tidak akan pergi. Aku tidak akan lari seperti kamu. Aku akan tetap di sini