Kurasakan cengkeramannya mengerat di pinggangku, dan seketika seluruh tubuhku dipenuhi oleh sensasi panas yang menggetarkan. Aku ingin menantangnya, ingin tetap bermain dengan api ini… tapi dalam posisi seperti ini, aku tidak yakin bisa memenangkan permainan. “Aku hanya bercanda,” bisikku, suaraku mulai bergetar. Dia terkekeh, tapi tidak ada tawa di matanya. “Bercanda, ya?” tangannya naik, ibu jarinya mengusap bibirku yang masih berlapis lipstik merah. Gerakannya lambat, nyaris menyiksa, sebelum akhirnya dia menarik daguku, memaksaku menatapnya. “Kalau begitu, aku juga ingin bermain-main sebentar.” Dan sebelum aku bisa bernapas, bibirnya sudah melumat milikku dengan penuh intensitas. "R-Rigen!" Aku berteriak terkejut, tapi tubuhku seakan sudah mengenali sentuhannya—responku datang secara alami, tanganku tanpa sadar meraih kerah bajunya, menariknya lebih dekat. Ciuman ini berbeda. Bukan hanya penuh gairah, tapi juga… menuntut. Seolah dia ingin membukti
Malam pertama yang seharusnya sunyi di kamar pengantin berubah menjadi momen yang menegangkan. Duduk di tepi ranjang, aku menatap wajah suamiku yang terbaring tak bergerak. Rigen Ataraka, pria koma yang harusnya menjadi suami Megan, saudara tiriku. Aku menggigit bibir, jari-jariku tanpa sadar mengusap pipinya yang tegas. "Kenapa pria ini harus setampan ini?" gumamku pelan. Megan menolak menikah dengan Rigen Ataraka, dia bahkan sampai menangis semalaman sehingga membuat orangtuaku tak tega, sampai akhirnya akulah, anak haram keluarga Smith, yang diseret keluar menggantikannya. Kupikir Rigen pria tua yang kurus kering dan sakit-sakitan sampai reaksi Megan se ekstrim itu saat dipilih sebagai istrinya, tapi ternyata... "Dia tidak hanya tampan, tapi sangat sempurna dalam segala aspek," gumamku, memandang wajah tidur Rigen dengan terpesona. Jantungku berdebar keras saat aku membungkuk, mendekatkan wajahku ke wajahnya. Entah kenapa sebuah ide gila tiba-tiba menggelitikk
Aku menunduk, jantungku berdegup kencang saat Rigen menatapku dari singgasananya, sofa kulit hitam di sudut ruangan. Di sebelahnya, berdiri Jovian, sekretaris terpercaya Rigen yang langsung datang begitu tuannya memanggil. Tatapan tajam Rigen menusuk hingga ke sumsum tulangku, seakan menelanjangiku hanya dengan pandangan itu saja. "Ariella." Rigen memanggil namaku, suaranya sangat menakutkan sehingga aku gemetar tanpa sadar. "Apa yang kamu lakukan saat aku koma?" Rigen bertanya dengan suara rendah, nyaris berbisik, tapi justru semakin membuat ketakutanku memuncak. Menelan ludah, aku mencoba menemukan jawaban yang tepat, tapi tubuhku seakan terkunci dalam aura dingin miliknya. Rigen mengulurkan tangannya, telunjuknya mengarah padaku, lalu dengan gerakan perlahan dia menepuk pahanya sendiri. "Ke sini," perintahnya. Mataku mengerjap, ragu. "Aku tidak suka mengulang," tambahnya, lebih dingin kali ini. Kakiku melangkah dengan gemetar. Begitu sampai di hadapa
Pada akhirnya, Rigen benar-benar mengunciku di kamarnya seharian penuh. Ketika akhirnya pintu terbuka, sosoknya yang tinggi dan dingin melangkah masuk. Dengan santai, dia melemparkan beberapa dokumen ke arahku. Kertas-kertas itu beterbangan, mendarat di atas ranjang tempat aku berbaring karena bosan. "Tandatangani ini." Suara beratnya tanpa emosi, membuat dadaku mencengkeram firasat buruk. Aku bangkit, meraih salah satu dokumen dengan tangan gemetar. Mataku membelalak saat membaca judulnya. "Kontrak tutup mulut? Pernikahan kontrak?" Suaraku bergetar. Aku menatap Rigen, mencari penjelasan. "Kenapa... kenapa aku harus melakukan ini? Apa sebenarnya salahku, Rigen?!" Rigen tak langsung menjawab. Mata dinginnya menatapku dari atas, penuh superioritas. Bibirnya sedikit melengkung ke atas dalam seringai yang membuat bulu kudukku meremang. "Apa otak kecilmu sudah lupa apa yang semalam telah kamu lakukan padaku?" Suaranya tajam seperti belati. Darahku mengalir cepat. Aku men
"Ugh, sial! Tali anjing ini benar-benar menyebalkan!" keluhku sambil menatap bayanganku di cermin. Wajah cantikku tetap memesona, meski ada penghinaan yang mengikat leherku. Pagi hari, aku terbangun di atas ranjang Rigen tanpa tahu siapa yang memindahkanku ke sini. Bibirku mengulas senyum sinis, menyentuh tali itu dengan jari gemetar. Aku mungkin anak haram yang tak diinginkan, tapi sekarang, aku adalah istri Rigen Ataraka—raja takhta tertinggi di negeri ini. "Bahkan dengan tali anjing seperti ini, wajahku masih sangat cantik," gumamku dengan ekspresi bangga. Namun, kegembiraan itu hanya berlangsung sekejab karena suara yang tiba-tiba menyela. "Wah, percaya diri sekali, Riel." Suara tawa rendah itu menghantamku. Aku menoleh, dan di sana, Rigen berdiri di ambang pintu. Mata keemasannya menelanjangiku, menusuk hingga ke dasar keberadaanku. "R-Rigen?" Suaraku nyaris berbisik, malu karena dia mendengar gumamanku. Dia melangkah maju, auranya mendominasi, membuat uda
"H-hah? Tidak. Rigen, tunggu, aku bisa menjelaskan! Tadi…!" Suara panikku terdengar lemah dibandingkan aura mengerikan yang terpancar dari pria itu. Langkahnya panjang, anggun, dan mengancam. Tatapannya menusuk hingga meremukkan keberanianku. Refleks, aku mundur. Namun, tiap langkahku ke belakang, Rigen semakin mendekat. "Penjelasan seperti apa?" Nada suaranya tenang, tapi justru itulah yang membuat bulu kudukku meremang. Ketakutan mencengkeramku lebih kuat daripada rantai anjing yang pernah dipasangkan di leherku. "I-Itu.…" Tenggorokanku tercekat. Aku ingin menjelaskan, tapi suaraku lenyap begitu saja. Sebelum aku sempat mengucapkan satu patah kata— Jemari Rigen yang kuat mencengkeram daguku, mengangkat wajahku paksa. Napasnya yang panas menyentuh kulitku saat jarak di antara kami menguap menjadi hampir nol. "Wajahmu tampak begitu polos, tapi ternyata kamu licik juga, ya?" Matanya bersinar keemasan, tajam, dan berbahaya. Aku seperti tikus kecil yang terperangkap di depa
“Ini. Sudah kutandatangani semuanya.” Esoknya, tanpa ekspresi, aku menyerahkan beberapa dokumenpada Rigen. Jemariku sedikit gemetar, tapi aku menahannya agar tak terlihat lemah di hadapan pria itu. Rigen menerima dokumen itu dengan tenang, tanpa sepatah kata. Tatapan dinginnya menelusuri tulisan di atas kertas, seolah memeriksa setiap detailnya. “Cukup bagus.” Itu saja yang keluar dari mulutnya. Tak ada pujian. Tak ada sindiran. Tak ada reaksi yang bisa memberiku sedikit kepastian bahwa sikapku yang berubah lebih dingin ini berpengaruh padanya. Dan seperti biasanya, Rigen berbalik dan berjalan pergi. Sama sekali tak peduli pada apa pun yang ada di ruangan ini. Tak peduli padaku. Aku memandang punggung tegapnya yang menjauh, rasa frustrasi dan sakit hati memenuhi dadaku. Bagaimana mungkin pria ini bisa begitu acuh? Padahal, kemarin… bibirnya ada di bibirku. Tangannya menelusuri wajahku. Napasnya menyentuh kulitku. Namun, sekarang? Seakan semua itu tak ada arti
Meski takut, aku mencoba tenang dan menjawab dengan suara menantang. "Itu bukan urusanmu, Rigen. Kita hanya menikah kontrak," ucapku lirih, mengingatkan bahwa hubungan ini tidak seharusnya penuh dengan keterikatan seperti ini. Namun, kata-kataku justru menjadi pemicu yang membuatnya bergerak cepat. Dalam sekejap, rahangnya mengeras, dan sebelum aku sempat menarik napas, bibirnya sudah menabrak bibirku dengan kasar. Ciumannya tidak lembut, tidak penuh kasih—ini adalah tanda kepemilikan. “R-Rigen!” Aku terkejut, tanganku mendorong dadanya, berusaha menjauh, tapi tubuh Rigen seperti batu, tak bergeming sedikit pun. Bibirnya terus memburu bibirku, menekan, menuntut, menandai. Ia tidak memberiku kesempatan untuk bernapas, untuk berpikir, seolah ingin menghancurkan semua pertahananku. Aku merintih pelan di antara lumatan panasnya. Aku ingin melawan, mengingatkan bahwa pernikahan ini hanyalah kontrak, tapi bagaimana aku bisa bertahan saat ia terus menenggelamkanku dala
Kurasakan cengkeramannya mengerat di pinggangku, dan seketika seluruh tubuhku dipenuhi oleh sensasi panas yang menggetarkan. Aku ingin menantangnya, ingin tetap bermain dengan api ini… tapi dalam posisi seperti ini, aku tidak yakin bisa memenangkan permainan. “Aku hanya bercanda,” bisikku, suaraku mulai bergetar. Dia terkekeh, tapi tidak ada tawa di matanya. “Bercanda, ya?” tangannya naik, ibu jarinya mengusap bibirku yang masih berlapis lipstik merah. Gerakannya lambat, nyaris menyiksa, sebelum akhirnya dia menarik daguku, memaksaku menatapnya. “Kalau begitu, aku juga ingin bermain-main sebentar.” Dan sebelum aku bisa bernapas, bibirnya sudah melumat milikku dengan penuh intensitas. "R-Rigen!" Aku berteriak terkejut, tapi tubuhku seakan sudah mengenali sentuhannya—responku datang secara alami, tanganku tanpa sadar meraih kerah bajunya, menariknya lebih dekat. Ciuman ini berbeda. Bukan hanya penuh gairah, tapi juga… menuntut. Seolah dia ingin membukti
"Ahhh. Aku ingin keluar. Aku ingin menghirup udara segar, berjalan-jalan, melakukan apa saja yang bisa mengalihkan pikiranku dari percakapan pagi tadi. Tapi.... " Kuhela napas, berat. Langit cerah, matahari bersinar hangat, tapi suasana hatiku gelap dan berantakan. Menggigit bibir, sejak tadi aku terus berusaha mengendalikan emosi yang bergejolak di dalam dadaku tiap ingat percakapan antara Jovian dan Rigen tadi pagi. Rigen. Jovian. Perkataan mereka masih terngiang di kepalaku, berputar tanpa henti. "Apakah Rigen benar-benar bosan denganku?" Pertanyaan ini terus menggangguku seharian. Apakah aku hanya permainan baginya, sesuatu yang bisa dia buang begitu saja ketika sudah tidak menarik lagi? Kugelengkan kepala, mengepalkan tangan. "Tidak. Aku tidak boleh berpikir seperti itu!" Kututup mata, mencoba menenangkan diri. Jika aku tidak bisa keluar dari rumah ini, maka aku harus menemukan cara lain untuk mengalihkan pikiranku. Tapi bagaimana? Aku membuka mat
"Saya lihat, anjing yang sekarang cukup membuat Anda tidak nyaman, mungkin juga sedikit merepotkan. Jadi, haruskah saya mencarikan yang baru untuk Anda, Tuan?" Jovian bertanya lagi kepada Rigen dengan nada sopan, layaknya seorang bawahan terpercaya. Namun seperti biasa, wajahnya tetap tanpa ekspresi, seolah kata-kata Jovian tak berarti apa-apa baginya. Namun, aku tahu lebih baik dari siapa pun bahwa pria itu tidak pernah membiarkan sesuatu berlalu begitu saja. Rigen menggeser pandangannya padaku. Mata hitamnya tajam, menusuk langsung ke dalam jiwaku. Sorotannya membuatku ingin bersembunyi, tapi aku tetap berdiri di tempatku, mencoba menjaga sisa harga diriku. "Anjingku?" Rigen mengulang dengan nada rendah, nyaris berbisik, tapi setiap kata yang keluar terasa bagaikan ancaman halus. "Aku tidak ingat pernah bosan." Jovian terkekeh kecil, seolah menikmati situasi ini. "Benarkah? Tapi Anda tahu, Tuan? Setiap pria butuh variasi. Anda pasti lelah dengan hal yang sama s
“Tapi… kamu tadi bilang kamu takut kehilangan aku,” suaraku bergetar, mencoba mencari celah dalam dinding yang kembali ia bangun di antara kami. Kutatap wajahnya, berusaha membaca ekspresinya. Namun, yang kudapat hanyalah wajah datar tanpa emosi. Rigen menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku memang takut kehilangan kamu,” katanya, suaranya tetap dingin. “Tapi itu tidak berarti aku bisa memberikan lebih dari ini.” Aku terpaku mendengar jawaban dinginnya. Jadi… selama ini, semua ciuman, semua genggaman eratnya, semua tatapan penuh api itu… tidak berarti apa-apa baginya? Tidak seperti yang kupikirkan? Aku merasa seperti orang bodoh, rasanya mataku mulai panas, tapi aku menolaknya. Aku tidak ingin menangis di depannya. Tidak ketika dia sedang seperti ini. Kutarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil—meskipun terasa begitu getir. “Jadi, kamu hanya ingin aku tetap di sisimu… tanpa benar-benar menjadi milikku?” Dia menatapku lama sebelum akhi
Lelah berpikir, aku pun nekat ke kamarnya. Di sana, aku berdiri di dekat ranjang, menunggu. Menantikan amarahnya. Menantikan genggamannya yang menuntut, ciumannya yang penuh emosi, tatapan tajam yang selalu membuat dadaku sesak. Namun, tidak ada. Rigen hanya duduk di kursi, melepaskan jam tangannya dengan tenang. Tidak ada kemarahan di wajahnya, tidak ada aura posesif yang selama ini selalu melekat padanya. Dia hanya… biasa saja. “Aku tidak tidur di kamar malam ini,” katanya, suaranya datar. “Ada pekerjaan yang harus diselesaikan.” Aku mengerjap, menatapnya dengan sedikit bingung. “Oh…” Itu saja? Semuanya terasa… normal. Aku menunduk, mencoba mencari perasaan lega dalam diriku. Bukankah ini yang selama ini kuinginkan? Kebebasan dari tekanan Rigen? Tapi… kenapa dadaku terasa sesak? Kenapa aku justru merasa kehilangan? Kuangkat kepala, menatap punggungnya saat dia merapikan dokumen di mejanya. Biasanya, dia akan menarikku ke dalam dekapannya, se
"Aku tidak bisa, Drake. Aku sudah memiliki seseorang yang kucintai." Suaraku gemetar, hampir tidak terdengar. Drake terdiam. Sorot matanya yang awalnya penuh harapan perlahan meredup. Namun, bukannya menerima penolakanku, dia justru tertawa kecil, seolah menganggap ucapanku hanyalah alasan kosong. "Riel, jangan bercanda," ucapnya, suaranya terdengar getir. "Aku tahu kamu. Tidak mungkin ada seseorang yang benar-benar kamu cintai, Ariella," lanjutnya, percaya diri seakan paling mengenalku sedunia. Kugelengkan kepala, mencoba meyakinkannya. "Aku serius, Drake. Saat ini aku benar-benar memiliki seseorang di hatiku," tegasku, dengan mata memohon. Namun, semakin aku mencoba menjelaskan, semakin besar ketidakpercayaannya. Drake, sahabatku selama ini, kini menatapku dengan tatapan yang penuh luka dan penolakan. "Kalau memang benar, kenapa aku tidak pernah tahu? Kenapa kamu tidak pernah membicarakannya, Riel? Ini jelas sebuah kebohongan, kan?" tanyanya lirih. Aku tidak mamp
Rigen akhirnya mengizinkanku pergi ke ulang tahun Drake. Meski terasa seperti kebebasan, aku tahu itu hanyalah ilusi. Sebelum aku pergi, Rigen dengan nada dinginnya mengingatkanku tentang kalung yang melingkar di leherku — sebuah alat pengawas yang bisa memberitahu segalanya padanya. "Jangan lupa, Riel," ucapnya pelan, jemarinya menyentuh liontin kecil di kalungku. "Aku selalu tahu apa yang kamu lakukan." Ku anggukkan kepala, menyembunyikan gejolak di dada. "Tentu, Rigen. Aku tidak akan mengecewakan kepercayaan yang kamu berikan padaku ini. " Mendengar nada patuhku, Rigen akhirnya tersenyum puas. "Kamu tahu aku paling benci pembohong, Riel." Ada nada ancaman dan rasa jijik di sana, sehingga aku cepat-cepat mengangguk. "Aku mungkin seperti ini, tapi aku bukankah seorang pembohong, Rigen," ujarku dengan percaya diri. Rigen tertawa sekilas, menepuk lembut puncak kepalaku dan akhirnya melepaskan aku pergi. "Oke, aku melepaskanmu kali ini. Tapi, jangan mengecewa
"Rigen, kumohon.... " Sambil menelan ludah, aku mencoba mengatur napasku yang masih tersengal. Tangan Rigen masih mencengkeram pinggangku, matanya yang gelap menatapku tanpa ampun. Aku tahu dia tidak akan membiarkanku pergi begitu saja. Jadi, dengan suara serendah mungkin, aku mencoba membujuknya. “Rigen… tolong lepaskan aku.” Dia tidak bergerak, bahkan cengkeramannya di pinggangku semakin erat. “Aku hanya ingin pergi ke pesta ulang tahun Drake, itu saja,” lanjutku, mencoba menenangkan situasi. “Dia sahabatku. Aku tidak akan melakukan hal yang aneh. Aku hanya ingin merayakan hari spesialnya," pungkasku dengan ekspresi memohon. Rigen masih diam. Aku bisa melihat otot di rahangnya mengencang, ekspresinya dingin tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tidak ingin dia katakan. Kuangkat tangan, menyentuh pipinya dengan lembut. “Kumohon, Rigen," bujukku dengan nada lembut. "Ya? Kamu sudah memberiku izin tadi," lanjutku, memelas. "Kamu
Menjelang pesta dimulai. Berdiri di depan cermin, aku sekali lagi memastikan gaun yang kupilih sudah sempurna. Warna navy yang kupakai membalut tubuhku dengan elegan, membuatku terlihat lebih anggun dari biasanya. Dengan rambut yang tergerai indah, serta riasan yang tidak berlebihan, tapi cukup untuk menonjolkan fitur wajahku, membuat penampilanku malam ini sempurna. "Ayo pergi," ucapku, mengangguk pada diri sendiri. Aku hampir berhasil. Aku hampir keluar dari rumah ini tanpa insiden apa pun. Namun, saat aku baru saja mengambil tas kecilku, suara langkah kaki berat terdengar mendekat dari arah belakang. Aku berbalik, dan di sana, di ambang pintu, berdiri pria yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Rigen. Dia mengenakan kemeja hitam yang lengannya sedikit tergulung, tampak berantakan seolah habis menghabiskan waktu berjam-jam di balik meja. Mata tajamnya langsung mengunci ke arahku, menyapu setiap detail dari atas ke bawah. Kulihat jelas bagaimana raha