Share

365. Aku Cuma Sekretaris

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2025-10-22 21:44:07

Hari berikutnya di kantor terasa… aneh.

Tidak ada sapaan pagi dari Giovanni. Tidak ada komentar sarkastik, tidak ada ejekan, bahkan tidak ada panggilan “Cia” dengan nada menyebalkannya itu.

Yang ada hanya kesunyian.

Dan tatapan sekilas dari balik kaca bening ruangannya setiap kali aku lewat.

Entah kenapa, justru itu yang membuatku gelisah.

---

Siang hari, aku membawa beberapa dokumen ke ruang Giovanni. Dia sedang menelepon, jadi aku hanya menaruh map di mejanya dengan pelan.

Tapi baru saja aku hendak pergi, suaranya memanggil rendah.

“Cia.”

Langkahku terhenti.

Aku menoleh. Dia sudah menutup teleponnya, menatapku tanpa ekspresi.

“Kemarin malam.”

Suara itu dalam, pelan, tapi tegas. “Aku kelewatan.”

Aku menelan ludah. “Kamu sadar juga akhirnya.”

Dia berdiri, mendekat.

“Tapi kamu nggak sepenuhnya korban.”

“Maaf?” keningku berkerut.

Giovanni berhenti di depan meja, menatapku dengan tatapan yang membuat lututku lemah. “Kamu tahu gimana caranya bikin aku kehilangan kontrol.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   367. CEO Bucin

    Giovanni menatap pantulan dirinya di dinding kaca ruang kerja. Setelan jas hitamnya masih rapi, dasinya masih terikat sempurna, tapi ada sesuatu di balik mata itu — sesuatu yang tak bisa lagi ia samarkan dengan logika atau gengsi. Sejak pertemuan dengan Leonardo Valez siang tadi, pikirannya tidak tenang. Bayangan tawa Alicia, cara perempuan itu menatap pria asing dengan mata berbinar, terus berputar di kepalanya seperti penghinaan yang halus tapi menyakitkan. Ia sudah berusaha menahan diri. Tapi yang tersisa sekarang hanyalah sisa kesabaran yang menipis seperti api yang kekurangan udara. “Kenapa aku masih peduli?” gumamnya, menekan pelipis dengan satu tangan. Telepon di meja berdering pelan. Giovanni melirik sekilas — nama di layar: Cia. Jari-jarinya berhenti di udara beberapa detik sebelum akhirnya ia menekan tombol jawab. “Kenapa?” suaranya datar, tapi ada nada dalam yang tak bisa disembunyikan. “Gio…” suara di seberang terdengar hati-hati, lembut tapi ragu. “Aku cuma mau

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   366. Benci Atau Butuh?

    “Aku bilang diam, Cia.” Nada Giovanni terdengar rendah, tajam, dan entah kenapa… bergetar di udara. Tatapannya menahan banyak hal — marah, cemburu, tapi juga sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Aku terpaku. Tangannya masih di sisi kursi, menjebakku di antara tubuhnya dan meja kaca itu. “Giovanni, kamu—” “Jangan panggil aku seperti itu,” potongnya cepat, suaranya pelan tapi menekan. “Kau tahu aku benci saat suaraku keluar dari bibirmu seperti itu.” “Lalu apa? Bos?” Aku mengangkat dagu, mencoba menutupi debar di dada. “Kau mau aku terus memanggilmu seperti bawahan?” Giovanni menyipit. “Kau selalu tahu cara memancingku, ya?” “Aku hanya jujur,” balasku, menahan napas saat tubuhnya sedikit condong ke depan. “Kau pikir aku takut?” Sekilas, sudut bibirnya terangkat — tapi itu bukan senyum lembut. Itu adalah tatapan seorang pria yang tahu ia berkuasa. “Tidak, Cia,” katanya pelan, hampir berbisik di dekat telingaku. “Kau tidak takut. Dan itulah masalahnya.” Aku bergeming. Napas kami h

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   365. Aku Cuma Sekretaris

    Hari berikutnya di kantor terasa… aneh. Tidak ada sapaan pagi dari Giovanni. Tidak ada komentar sarkastik, tidak ada ejekan, bahkan tidak ada panggilan “Cia” dengan nada menyebalkannya itu. Yang ada hanya kesunyian. Dan tatapan sekilas dari balik kaca bening ruangannya setiap kali aku lewat. Entah kenapa, justru itu yang membuatku gelisah. --- Siang hari, aku membawa beberapa dokumen ke ruang Giovanni. Dia sedang menelepon, jadi aku hanya menaruh map di mejanya dengan pelan. Tapi baru saja aku hendak pergi, suaranya memanggil rendah. “Cia.” Langkahku terhenti. Aku menoleh. Dia sudah menutup teleponnya, menatapku tanpa ekspresi. “Kemarin malam.” Suara itu dalam, pelan, tapi tegas. “Aku kelewatan.” Aku menelan ludah. “Kamu sadar juga akhirnya.” Dia berdiri, mendekat. “Tapi kamu nggak sepenuhnya korban.” “Maaf?” keningku berkerut. Giovanni berhenti di depan meja, menatapku dengan tatapan yang membuat lututku lemah. “Kamu tahu gimana caranya bikin aku kehilangan kontrol.

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   364. Bukan Klien Biasa

    “Aku nggak nyangka kamu bisa segugup itu ketemu Leonardo lagi,” suara Nina, rekan satu timku, menggoda. Kami sedang bersiap untuk makan malam proyek—makan malam penting yang melibatkan klien baru dari Spanyol. Ya, dia: Leonardo Valez. Pria yang terlalu sopan, terlalu ganteng, dan terlalu tahu cara tersenyum yang bisa menyaingi bahaya. Aku memutar bola mata. “Gugup apanya? Aku cuma sekretaris, bukan yang mau negosiasi.” “Sekretaris pribadi Giovanni Axel,” Nina menekankan dengan nada bercanda. “Dan kalau gosip kantor benar, kalian... sedikit lebih dari sekadar bos dan sekretaris.” “Gosip kantor butuh terapi,” jawabku cepat. Tapi jauh di dalam dada, ada denyutan aneh yang bahkan aku sendiri tak mengerti. Giovanni sejak dua hari terakhir jadi aneh. Lebih sunyi, tapi lebih sering memperhatikan. Dan setiap kali Leonardo muncul di agenda rapat, ekspresinya berubah—dingin, tapi matanya... terlalu tajam. --- Restoran malam itu penuh cahaya keemasan. Musik jazz pelan mengalun, meja

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   363. Teguran

    “Sekretaris pribadi tidak seharusnya pulang lebih dulu dari bosnya.” Suara Giovanni terdengar pelan tapi jelas, membuat langkahku yang baru keluar dari lift langsung terhenti. Aku menatap jam tangan. Sudah pukul delapan malam. Seluruh kantor hampir gelap, hanya lampu di ruang CEO yang masih menyala samar. Ya Tuhan… kenapa aku masih di sini? Aku menoleh ke arahnya, berdiri di ambang pintu ruangannya dengan kemeja putihnya yang sedikit tergulung di lengan, dasi longgar, dan tatapan itu—tajam, malas, tapi entah kenapa selalu menelan semua ruang napas. “Jam segini?” aku mencoba terdengar santai. “Bukannya kita udah beres?” Dia tidak menjawab. Hanya menggerakkan jarinya pelan, memanggilku untuk mendekat. Isyarat sederhana, tapi sukses membuat perutku terasa dingin. “Giovanni, aku—” “Lima detik,” katanya tenang, “kalau kamu masih berdiri di sana, aku akan datang dan menyeretmu sendiri.” Sial. Aku melangkah masuk, mencoba menahan degup jantungku yang entah kenapa sema

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   362. Tatapan yang Membakar

    “Kenapa kamu diam?” Giovanni bersuara rendah, nyaris seperti desis. Suara itu terlalu dekat, terlalu dalam, dan terlalu berbahaya untuk jantungku. Aku menelan ludah. “Karena aku nggak mau menanggapi hal yang nggak penting,” sahutku cepat, pura-pura sibuk menatap layar laptop, padahal tanganku gemetar di atas keyboard. “Tidak penting?” Ia tertawa pelan, langkahnya mendekat. Aku bisa mencium aroma maskulinnya—parfum kayu manis yang terlalu khas Giovanni. “Jadi menurutmu saat aku menatapmu seperti ini… itu tidak penting?” Tubuhku otomatis menegang. Matanya menuruni wajahku perlahan, lalu berhenti di bibirku. Dan aku tahu dia tahu—aku sedang menahan napas. “Berhenti… menatap seperti itu,” bisikku hampir tak terdengar. Giovanni hanya mengangkat alis. “Sejak kapan aku harus nurut sama sekretarisku sendiri?” Aku ingin memutar bola mata saking kesalnya, tapi aku tahu kalau aku melawan, dia akan semakin menikmati permainan ini. Sial. Aku jatuh di dalam jebakan licik si CEO menyeba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status