“Selamat atas pernikahanmu, Amora! Calon suamimu adalah pria idaman para wanita lho. Kamu benar-benar beruntung!”
Seulas senyuman lebar melengkung di bibir Amora Lysander ketika sahabat baiknya— Chelsea Harrison memberikan ucapan selamat kepadanya. Tidak dapat dipungkiri jika hatinya terasa berbunga-bunga saat ini karena detik-detik kebahagiaannya hanya menunggu waktu.
Satu minggu lagi Amora akan menjadi istri dari Chris Walden. Setahun yang lalu ia bertemu dengan calon suaminya itu di sebuah acara tahunan perusahaan Lysander. Ia jatuh hati dengan pria itu dan beruntungnya, perasaannya terbalas. Hubungan mereka juga direstui oleh kedua keluarga.
Saat ini Amora sedang menghadiri pesta pelepasan lajangnya yang diadakan oleh para teman kampus seangkatannya. Pesta tersebut diadakan di lounge eksklusif yang tertutup di sebuah hotel mewah bintang lima.
Suara dentuman musik dan nyanyian memeriahkan pesta kecil-kecilan di dalam ruangan tersebut. Terlihat dua orang gadis muda yang telah mabuk sedang menari-nari di atas meja ruangan dan dua orang yang lain sibuk bersorak ria dan bertepuk tangan.
Amora Lysander menggeleng kecil dan tertawa melihat kehebohan para teman sebayanya itu. Ia menoleh kepada Chelsea dan mendentingkan gelas kristal berisi anggur merah di tangannya dengan gelas milik Chelsea.
“Terima kasih, Chelsea. Semoga kamu segera menyusul. Aku doakan Andrew cepat meminangmu juga,” ujar Amora dengan tulus. Ia juga berharap sahabatnya itu juga mendapatkan kebahagiaan yang sama sepertinya.
Chelsea tersenyum kecut. Ia tidak menanggapi ucapan Amora, lalu mengajak keempat wanita yang lain untuk bersulang kepada Amora.
“Cheers!”
Suara dentingan gelas yang saling bersinggungan memenuhi indera pendengaran Amora. Minuman keras berwarna merah pekat itu terus dituang ke dalam gelas gadis itu, lalu perlahan cairan itu masuk ke dalam mulutnya dan membakar tenggorokannya.
“Kalau sudah jadi Nyonya Muda Walden. Jangan lupakan kami ya!” seru Estelle Mauverick, salah satu teman satu falkutas dengan Amora dan merupakan putri pengusaha yang cukup terkemuka.
“Benar. Apalagi calon suamimu itu adalah calon penerus keluarganya, Amora. Kamu akan bisa menikmati banyak keuntungan setelah menjadi istrinya nanti,” timpal Gloria Barclay, sahabat Amora yang lain dengan nada penuh kekaguman.
Sebagai penerus keluarga, Chris Walden tentu saja merupakan sosok calon suami dan menantu idaman. Keluarga Walden merupakan salah satu keluarga terkaya di kota New York. Keluarga Lysander tentu akan sangat senang bisa menjalin hubungan kekeluargaan dengannya.
Seulas senyuman terus terukir di bibir Amora. Tidak dapat dipungkiri jika ia juga sudah tidak sabar menjadi istri Chris. Keinginannya untuk meninggalkan kediaman Lysander akan terwujud sebentar lagi.
“Berhentilah minum, Estelle. Kamu sudah mabuk,” tegur Amora ketika melihat wajah Estelle yang telah memerah.
Namun, Estelle menggeleng. Ia memperlihatkan jemarinya kepada Amora dan berkata, “Aku tidak mabuk. Lihatlah, bukankah ini dua?”
Amora tersenyum simpul. “Itu tiga,” timpalnya.
Estelle mengerucutkan bibirnya, lalu kembali mengajak Amora untuk bersulang. Begitu juga dengan ketiga wanita yang lain. Karena tidak ingin mengecewakan para sahabatnya, Amora terpaksa meladeni mereka.
Seteguk demi seteguk anggur merah lolos melalui tenggorokannya hingga membuat kepala Amora terasa semakin berat. Amora merasa dirinya sudah semakin mabuk karena minuman keras tersebut.
Namun, ia benar-benar merasa sangat bahagia bisa berkumpul bersama para sahabatnya hingga ia menjadi lupa diri. Saat ini ia sudah meneguk hampir satu botol anggur merah yang dipesan oleh Chelsea. Gadis itu terus menuangkan minuman alkohol itu ke dalam gelasnya yang kosong.
“Sudah cukup, Chelsea. Aku sudah tidak kuat lagi,” cicit Amora dengan wajah yang telah memerah. Ia meletakkan gelasnya ke atas meja, lalu pamit sejenak ke kamar kecil. Produksi asam lambung di dalam perutnya mulai meronta.
“Apa mau aku temani?” tawar Chelsea dengan khawatir saat melihat langkah Amora yang sudah tidak beraturan lagi.
Namun, Amora menggeleng dan terus melangkah keluar dari lounge VIP tersebut. Chelsea menatap kepergian Amora dengan seulas senyuman sinis di wajahnya, lalu ia kembali bersulang dengan temannya yang lain di dalam ruangan itu.
Sementara itu, Amora berjalan menyusuri koridor dengan penerangan yang remang-remang. Entah kenapa ia merasa tubuhnya terasa sangat panas. Muncul suatu perasaan aneh yang merayap di dalam dirinya, tetapi ia tidak tahu bagaimana menghentikan hal tersebut.
‘Kenapa rasanya panas sekali?’
Amora mengibas-ngibaskan wajahnya dengan tangannya. Pandangannya menjadi hilang timbul. Ia merasa seluruh ruangan seperti sedang bergerak secara tidak beraturan, lalu ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Amora berpikir jika dirinya sudah terlalu mabuk saat ini. Ia pun mencari lokasi kamar kecil dengan pandangannya yang mulai mengabur hingga akhirnya ia memasuki sebuah ruangan yang dikiranya toilet wanita.
Namun, langkahnya terhenti tatkala melihat seorang pria terbujur kaku di atas lantai ruangan dengan penerangan yang minim dengan tubuh bersimbah darah.
Amora tertegun sejenak. Mengerjapkan netranya dan menggelengkan kepalanya berulang kali untuk mencerna akan hal yang terjadi di depan matanya, lalu pandangannya beralih pada punggung seorang pria yang sedang membelakanginya.
Amora pun terhenyak ketika melihat senjata api di dalam genggaman pria itu.
‘A-Apa ini pembunuhan?’ terkanya di dalam hati.
Dalam kekalutannya, hal yang terlintas dari dalam benak Amora adalah keluar dari tempat itu sebelum pembunuh itu menyadari keberadaannya!
Akan tetapi, naasnya kaki Amora sulit diajak bekerja sama. Gara-gara alkohol yang diminumnya membuat Amora menjadi sulit berjalan.
Tak sengaja ia menekan saklar lampu di sampingnya dan membuat seluruh ruangan menjadi terang benderang. Perhatian pria yang dicap sebagai pembunuh oleh Amora itu pun langsung tertuju padanya.
‘Sial!’ gerutu Amora di dalam hati.
Meskipun pandangannya sangat buram dan sulit melihat wajah pembunuh itu, tetapi ia mendengar derap langkah pria itu semakin mendekat ke arahnya.
Kaki Amora seolah terpaku di tempat. Ia sungguh tak berdaya dan hanya bisa pasrah dengan situasi tersebut. Perlahan ia berpaling dengan rasa takut yang bergemuruh hebat.
“Tu-Tuan, saya … saya tidak melihat apa pun,” ucap Amora dengan suara yang bergetar pelan.
Ia berharap pria itu tidak membunuhnya saat ini. Buliran bening telah menggenang di sepasang pelupuk mata indahnya.
"Kamu pikir aku percaya?" desis pria itu.
Suara pria itu terdengar berat dan dalam, tetapi anehnya Amora menyukainya.
Tiba-tiba jemari kasar yang berlumuran darah menyeka sudut mata Amora hingga membuat tubuh gadis itu bergetar hebat. Samar-samar Amora bisa melihat lekuk wajah pembunuh itu dan seringai kecil yang terbit di sudut bibir pria itu.
Rahang tegas dengan bibir maskulin yang terkatup rapat, lalu hidung bangir yang terukir dengan indah sempat membuat Amora terpana sesaat. Akan tetapi, ia tersadar saat pandangannya beralih pada manik mata tajam yang tengah menatapnya dengan intens.
Amora dapat merasakan aura dingin yang terpancar dari sorot mata pria itu. Degup jantungnya berdebar dengan sangat cepat tatkala bertatapan langsung dengannya. Netra gelap pria itu seperti seekor elang yang sedang mengintai di langit malam. Anehnya, Amora malah merasa semakin tertarik dengannya.
Ada sensasi yang membakar tubuhnya hingga membuatnya sulit mengendalikan dirinya sendiri. Deru napasnya mulai memburu dengan irama jantung yang berdegup cepat. Satu hal yang ia rasakan adalah sesuatu yang membuncah di dalam dirinya telah bergejolak hebat.
Tangan Amora pun bergerak dengan lancang memegang wajah pria itu. Jemari lentiknya mengusap lembut wajah tegas dan dingin tersebut. Tatapannya kepada pria itu mulai diliputi dengan gairah. Amora tersadar dengan tindakannya ketika pria itu meraih tangannya, lalu menepisnya dengan kasar.
Gairah di dalam mata Amora berubah menjadi sebuah ketakutan yang mendalam. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam dan tidak berani menatap langsung wajah pria itu lagi.
‘Apa yang sudah kulakukan tadi? Kenapa aku bisa ….’
Amora menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berusaha menepis pikiran aneh yang terus menguasai dirinya untuk menuntaskan gairah yang terus membakar jiwanya. Masih di dalam kebingungannya, tiba-tiba saja pria asing itu mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat.
“Tu-Tuan, saya—”
“Diamlah dan ikuti aku.”
Suara berat dan dalam dari pria itu menyela ucapan Amora. Entah kenapa ia malah merasa suara pria itu terdengar seksi di telinganya. Amora tersentak dengan pikirannya itu.
Ketika ia hendak membuka suaranya, pria itu menyelanya kembali dan lanjut berkata dengan dingin, “Kalau kamu masih mau hidup, ikuti ucapanku!”
Halo Kakak ^^ Salam kenal. Aku AliceLin. Ini adalah karya pertamaku di Good Novel. Mohon dukungannya dengan menyimpan cerita ini di rak pustaka kalian. Tinggalkan komentar dan ulasan positif dari kalian ya serta jangan lupa follow akun penulisku ^^ Kalian juga bisa follow instagramku @alicelin08 Terima kasih ^^
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d