Karin melihat Ryan, dengan perasaan heran. Ia tidak mengerti apa maksud dari perkataan bosnya itu. Menyadari tatapan Karin, yang bertanya-tanya. Ryan sama sekali tidak peduli. Ia malah menarik tangan Karin membawanya masuk ke dalam lift. Tak berapa lama keduanya sudah duduk nyaman di dalam mobil milik Ryan. Selama dalam perjalanan Ryan tetap menutup mulutnya. Tidak bersedia memberitahukan kepada Karin, ke mana tujuan mereka. “Kenapa Bapak tidak mau mengatakan kepada saya tujuan kita? Apakah Bapak akan menculik saya? Habis Bapak dari tadt hanya diam saja.” Kesal hanya didiamkan saja Karin menggeser duduknya menjauh dari Ryan. Dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Ryan, Karin melipat tangannya di depan dada. Ryan tetap bergeming, ia sama sekali tidak peduli dengan rasa kesal Karin. Ia memejamkan mata, sambil mendengarkan musik. Beberapa menit kemudian mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan dua
Karin memilih untuk mengabaikan Ryan dan membiarkan ia menerima telepon dari seseorang, yang tidak beruntung. Karena seseorang yang berada di ujung sana akan mendapatkan ledakan kemarahan dari Ryan. “Kenapa kau menghubungiku, Luke? Awas saja, kalau tidak ada hal penting, yang akan kau sampaikan kepadaku!” Bentak Ryan, melalui sambungan telepon. Terkejut melihat bagaimana Ryan marah Karin menutup kedua telinganya mendengar suara Ryan, yang nyaring sekali. Ryan melirik Karin sekilas dan tidak ada roman bercanda di wajahnya. Ia mengumpat dengan kasar mendengar jawaban dari lawan bicaranya, yang terdengar bercanda saja. Untungnya mobil sudah berhenti, mereka sudah sampai di tempat tujuan. Karin dengan cepat turun dari mobil, karena tidak mau berlama-lama mendengar kemarahan Ryan. Tidak mau menunggu Ryan turun dari mobil, kalau nantinya ia hanya akan mendapatkan sikap kasar dari pemilik butik. Tidak dihiraukannya teria
Karin terpaku, dengan tatapan mata Ryan, yang seakan membiusnya dan membuat ia diam tidak bergerak. Dibiarkannya saja tangan nakal Ryan menurunkan restleting gaun, yang ia kenakan sehingga memperlihatkan pundaknya yang putih mulus. Ryan tidak mengatakan apapun lagi, ia hanya bertindak saja dengan tangannya. Karena tidak mau Karin menjadi sadar dan membuyarkan apa yang tengah dilakukannya. Rasa merinding, karena apa yang dilakukan oleh Ryan. Membuat Karin terbuai dan pasrah saja aka napa yang dilakukan oleh Ryan kepadanya. Dia merasakan sedikit sakit, tetapi bercampur nikmat saat Ryan menggigit lehernya dan menimbulkan tanda berwarna merah. Perlahan Ryan membalik badannya dan Karin memegang gaun yang ia kenakan tepat di depan dada, agar tidak melorot. Tangan besar Ryan menangkup tangan Karin dan melepaskan jari-jarinya yang tengah memegang gaun tersebut. Karin menggelengkan kepalanya, meminta kepada Ryan, untuk tid
Ryan menatap sinis wanita yang berada di depannya. “Berani sekali kau mengatakan, kalau aku melakukan hal yang mesum di butik ‘sucimu’ ini! Aku hanya membantu teman wanitaku, untuk mencoba gaun yang kupilihkan untuknya.” Wanita yang bernama Jenny itu pun memukul keras pundak Ryan. “Apa yang kulihat tadi, yang kau lakukan adalah membantu melepas gaun yang dikenakan oleh teman wanitamu! Dan itu memalukan, untuk dilakukan!” Ryan menepis tangan Jenny dari pundaknya. “Kau seharusnya berterima kasih, karena efek dari gaun itu sesuai dengan maksud dari perancangnya, untuk menimbulkan fantasi liar. Dan fantasiku pada saat itu belumlah berhasil terpuaskan, keburu kau datang mengganggu kami!” Jenny memegang keningnya dan memberikan ekspresi lelah. “Kamu memang keterlaluan, Ryan! Bagaimana, kalau ada wartawan atau orang iseng yang memergoki apa yang kau lakukan dan menyebarkannya?” “Maka aku akan menuntut mereka, karena sudah mengganggu
Karin membereskan barang-barangnya dan berjalan di belakang Ryan. Ia lihat bosnya itu telah terlebih dahulu masuk ke dalam lift dan tidak mengatakan sepatahkatapun, sesaat sebelum pintu lift tertutup.Anehnya, Karin justru merasa kecewa, dengan sikap cuek dan dingin Ryan. Dalam hatinya bertanya-tanya, bukannya tadi pak Ryan begitu penuh perhatian? Kenapa sekarang menjadi berubah?Dirinya pun masuk lift, yang kebetulan hanya ada dirinya sendiri saja. Tak berapa lama pintu lift pun terbuka. Segera saja Karin keluar dari dalam lift itu menuju pintu keluar perusahaan.Tidak diperhatikannya lagi sekitarnya, ia terus berjalan ke arah halte bis Ia duduk di bangku halte menunggu bis jurusan ke apartemennya datang, sambil menunggu ia membuka ponselnya, untuk bermain game.Saat bis yang ditunggunya datang, ia berhenti bermain game dimasukannya ponselnya ke dalam tas. Karin naik bis itu dan ia tidak menyadari, kalau mobil Ryan berhenti di belakang bis yang ditumpanginya.Beberapa menit berlalu b
Wangi parfum yang dipakai Ryan membuat Karin merasa terbius ditambah dengan sentuhan tangan Ryan di tubuhnya, yang terasa panas membakar.Seandainya Karin memiliki pilihan dan tak ada masa lalu, yang membuatnya menjadi takut, untuk menjalin hubungan. Mungkin saja ia akan dengan sukarela menerima tawaran, yang diberikan oleh Ryan.Sayangnya, bayang masa lalu itu tidak pernah ada, tidak akan ia melewatkan kesempatan menjadi kekasih dari bosnya.Menyadari Karin yang diam saja di pelukannya. Dengan enggan Ryan berjalan mundur dari tubuh Karin, hingga ada jarak di antara mereka berdua.Napas keduanya pun memburu, dengan mata yang berkabut, karena gairah. Secara tidak sengaja Karin melihat gundukan pada celana Ryan yang membesar, seingatnya tadi sewaktu datang tidak, seperti itu.Menyadari arah tatapan mata Karin, Ryan pun menunduk dan ia tertawa. 'Ini semua karena dirimu, yang sudah membangkitkan gairahku!"Ryan mengulurkan tangannya ke arah Karin. "Ayo, kita sudah terlambat!"Karin pun m
Ryan menarik lengan Karin dan membawanya menjauh dari Luke. Dengan suara yang mendesis menahan kemarahannya Ryan berkata, “Kamu sengaja membuatku marah, dengan mendekati Luke, bukan?” Karin menyentak lengan Ryan yang memegang lengannya dengan kasar. Akan tetapi Ryan bergeming. Ia justru mendorong tubuh Karin ke dinding lorong, yang tidak terkena cahaya, “Bapak ini suka bicara asal saja, bukankah Bapak melihat sendiri, kalau pak luke lah yang mendatangi saya dan bukan sebaliknya.” Karin mencoba menendang lutut Ryan. Hal itu justru membuat kakinya terbuka lebar dan Ryan pun mendekatkan tubuhnya pada Karin. Hingga Karin dapat merasakan sesuatu yang besar dan terasa panas menyentuh perutnya. Tinggi Karin yang hanya sepundak Ryan membuat ia harus mendongak melihat pria itu. “Bapak bisa tidak mundur sedikit!” Ryan menempelkan bibirnya di telinga Karin. “Kenapa? Apakah kamu terganggu? Ataukah kamu justru merasa senang?”
Pada saat gairah Ryan sudah tak tertahan lagi, tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pada pintu apartemennya nyaring dan berulangkali. Dengan mengumpat nyaring, Ryan menjauhkan badannya dari atas tubuh Karin. “Sungguh sial untukku, lagi-lagi ada saja yang datang menggangu. Sekali lagi, kau bebas Karin!” Ryan melemparkan selimut ke badan Karin dan berkata, “Pakailah selimut itu! Jangan sampai tamu, yang sangat mengganggu itu melihat tubuhmu!” Keluar dari kamarnya, dengan raut wajah yang siap menerkam siapa saja yang berada di balik pintu. Dibukanya pintu apartemen dengan kasar dan mata Ryan menatap tidak percaya, kalau tamu yang datang adalah ibunya dan juga Jenny. Dengan bersandar pada daun pintu apartemen yang ia buka lebar, serta tangan di depan dada. Ryan menatap keduanya dengan dingin. “Ada perlu apa kalian datang malam-malam begini?” Ibu Ryan masuk ke dalam apartemen tersebut dengan anggunnya. “Beginikah sa