'Astaga! Setelah dengan seenaknya ia mengatakan hal itu, langsung pergi begitu saja!' batin Karin emosi.
Karina menatap tidak percaya punggung Ryan, yang berjalan keluar dari restoran, setelah ia memberikan ultimatum kepada Karin.
Tersadar dari lamunannya Karin pun berdiri dan beranjak keluar dari restoran. Ia tidak membayar tsagihan makan siangnya, karena Ryan yang sudah membayar tagihan tersebut.
Hampir saja Karin menabrak punggung Ryan, ketika ia baru saja keluar dari pintu restoran. “Kenapa Bapak berdiri di situ? Siapa yang Bapak tunggu?”
Ryan membalikkan badan dan melihat ke arah Karin dengan dingin. “Jangan besar kepala, saya tidak mungkin menunggu kamu!”
Karin mengangguk. “Iya, benar apa yang Bapak katakan. Permisi, Pak saya duluan ke kantor.” Karin pun berjalan kembali menuju ke arah perusahaan tempatnya bekerja.
Akan tetapi baru beberapa langkah ia berjalan Ryan menegur dirinya. “Apa yang kamu lakukan! Berani sekali kamu pergi, sebelum saya perbolehkan.”
Karin pun menghentikan langkahnya dan menunggu Ryan berjalan hingga posisi mereka berdampingan. Dalam hati Karin menggumam. ‘Katanya tidak menungguku, tetapi ketika aku duluan jalan malah ngomel.’
Sesampainya mereka di lobi perusahaan Karin terus saja mengekori Ryan, hingga ketika akan masuk ke dalam lift. Ryan yang sudah berada di dalam lift mengernyitkan keningnya. Melihat Karin ikut masuk ke dalam lift yang sama dengannya.
“Siapa kamu? Berani sekali masuk lift yang sama denganku! Apa kamu mau menggodaku dan semakin menguatkan dugaan orang-orang, kalau kamu itu sudah tidur denganku! Asalkan kamu tahu, ya! Lift ini khusus untuk pimpinan di perusahaan ini! Apakah kamu termasuk pimpinan perusahaan ini?”
Wajah Karin sontak saja menjadi terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Ryan. “Maaf, Pak! Saya tidak mengetahuinya.” Karin berjalan mundur hendak keluar dari dalam lift.
Akan tetapi, karena tidak memperhatikan langkahnnya. Ia pun tersandung dan hampir saja terjatuh, ketika heels yang dikenakannya tersangkut pada karpet. Namun, dengan sigap Ryan menarik tubuh Karin, hingga menempel ke dadanya.
Ryan pun berbisik di telinga Karin. “Aku tahu kamu sengaja melakukannya. mengundang dirimu sendiri, untuk bisa masuk ke dalam lift ini bersamaku. Kamu melakukannya, untuk menggodaku, bukan?”
Karin melebarkan bola mata dan secara refleks ia mendorong Ryan menjauh. Karin kemudian menekan tombol lift untuk kembali ke lantai dasar. Namun, sebelum ia berhasil melakukannya. Ryan sudah memegang tangannya mencegah ia melakukan hal itu.
“Jangan bodoh! Biarkan saja, sudah terlanjur. Sebentar juga sampai,” peringat Ryan.
Dengan terpaksa Karin pun urung melakukannya. Ia berdiri tepat di depan pintu lift membelakangi Ryan. Punggungnya terasa terbakar, karena tatapan tajam Ryan.
Rasa lega menghinggapi hati Karin begitu pintu lift terbuka dan dengan cepat ia pun keluar dari sana, meski terkesan tidak sopan karena mendahului bos nya. Ia langsung duduk di tempatnya yang berada tepat di depan pintu ruang kerja Ryan.
Ketika Ryan melewati meja Karin ia berhenti sebentar. “Malam ini kamu harus lembur, untuk mengganti jam kerjamu yang terlambat tadi pagi.” Ia kemudian berlalu dari meja Karin masuk ke dalam ruang kerjanya.
Hembusan napas Karin terdengar keras ia merasa lega Ryan sudah masuk ke dalam ruangannya. ‘Aku harus bisa menghindar untuk berada dekat, dengan pak Ryan. Jangan sampai aku jatuh ke dalam pesona dari pria itu,’ batin Karin.
Menit demi menit pun berlalu, hingga akhirnya jam kerja sudah usai. Beberapa orang pekerja terlihat meninggalkan kantor. Suasana di ruangan pun terasa sepi dan sedikit membuat Karin menjadi takut.
Terlebih lagi dengan bos, seperti Ryan yang ia rasa memiliki magnet yang menariknya untuk berbuat liar dan mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh ibunya.
Mengusir rasa was-wasnya Karin memilih untuk berkonsenterasi dalam mengerjakan pekerjaannya. Ia begitu larut dalam pekerjaannya, sampai tidak menyadari kehadiran Ryan, yang berjongkok di depan meja kerjanya memperhatikan dirinya.
Merasa ada yang memperhatikan dirinya,, dengan begitu intens. Karin pun mendongak dari layar komputernya. Netranya langsung saja bertemu dengan netra Ryan, yang terlihat begitu lembut dan teduh menatap dirinya.
Tanpa sadar bibir Karin terbuka, karena melihat kehadiran Ryan tersebut. “Berapa lama, Bapak berada di depan saya? Mengapa saya tidak mendengar suara langkah kaki Bapak?” tanya Karin.
Tangan Ryan terulur menyentuh bibir Karin dan mengusapnya dengan lembut. “Cukup lama, untuk mengetahui kebiasaan dirimu yang suka menggigit bibir dan mengusapnya, dengan menggunakan lidah. Apakah kamu bermaksud untuk menggoda saya?”
Secara refleks Karin menepis tangan Ryan dari bibirnya. “Maaf, Pak! Saya tidak bermaksud untuk menggoda Bapak dan saya akan berusaha mengubah kebiasaan saya menggigit bibir, kalau itu mengganggu Bapak.”
Ryan tertawa pelan mendengarnya ia lalu menegakkan tubuh dan berkata, “Saya sama sekali tidak keberatan, kamu lakukannya. Hanya saja tindakanmu itu membuatku berfantasi membayangkan, kalau dirikulah yang menggigit bibirmu dan mencumbunya dengan lidahku.”
Karin menjadi gugup dengan kalimat bernada merayu, yang dilontarkan oleh Ryan. Ia pun menyadari, kalau di ruangan ini hanya ada mereka berdua saja. Ia tidak tahu apakah dirinya akan berhasil lolos dari rayuan Ryan, yang begitu menggoda iman dan tekadnya.
“Matamu bergerak liar, seperti kelinci yang ketakutan. Kau tidak perlu takut aku akan memangsamu! Belum, tetapi pasti kau akan jatuh ke dalam pelukanku dan aku tidak pernah ragu akan kemampuanku dalam menaklukan wanita,” kata Ryan, dengan suara baritonnya.
Tangan Karin dengan cepat mematikan komputernya, dengan tatapan mata yang terus terpaku ke arah Ryan. Seandainya bisa ia hendak berlari keluar dari ruangan ini menjauh dari bosnya, yang terus saja merayu dengan tatapan dan kata-katanya.
Beruntungnya bagi Karin, secara tiba-tiba pintu lift, yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berada berbunyi dan keluarlah seorang pria dengan mengenakan seragam petugas keamanan.
Karin langsung saja berdiri dan ia menyunggingkan senyuman ke arah petugas keamanan yang berjalan ke arah mereka.
Petugas keamanan itu memberi hormat kepada Ryan dan menyapanya. “Selamat malam. Tuan Ryan! Saya tidak tahu, kalau Tuan dan sekretaris Tuan sedang lembur.”
“Tidak mengapa! Kau menjalankan tugasmu dengan benar, untuk memeriksa setiap lantai. Pastikan tidak ada penyusup yang masuk ke dalam perusahaanku,” kata Ryan.
Ia lalu berjalan menuju lift khusus pimpinan. Berjalan tepat di belakangnya dan ketika Karin hendak berbelok menuju lift khusus pegawai, yang berada tepat di sebelah liftnya Rya menarik lengan Karin.
“Untuk apa masuk ke dalam lift itu seorang diri! Apakah kau tidak tahu, kalau Sebagian besar pegawai di sini takut, apabila harus lembur sampai malam. Tidakkah kau juga merasa takut, kalau di dalam lift nanti ada seorang pria asing bersama denganmu dan berniat jahat,” ucap Ryan.
Didorongnya Karin dengan lembut masuk ke dalam lift dan mereka berdiri begitu dekat. “Kenapa badanmu gemetaran? Kamu tidak takut kepadaku, bukan? Aku janji saat ini kamu aman dari sentuhanku, tetapi aku tidak tahu untuk berapa lama. Kamu terlalu menggiurkan, untuk kulewatkan begitu saja,” bisik Ryan di telinga Karin.
Jantung Karin rasanya mau copot mendengar kata-kata Ryan barusan. Beruntungnya ia tidak perlu berlama-lama berada di dalam lift yang sama, dengan Mark.
Dengan cepat ia berjalan keluar dari dalam gedung perusahaan Atmaja Corp. Begitu sudah berada di luar cahaya lampu-lampu jalanan telah menggantikan sinar matahari.
Karin pun berjalan menuju tepi jalan. Dan dilihatnya jam tangannya, suara desahan kecewa pun lolos di bibirnya. “Yah! Bis jurusan yang menuju ke apartemenku sudah lewat. Terpaksa aku harus naik taksi dan itu membuatku harus mengeluarkan uang yang lebih banyak.”
Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna hitam dengan kaca yang gelap berhenti tepat di depan Karin, sehingga membuatnya merasa takut.
Karin melirik ke sekitarnya berharap ada seseorang atau kendaraan yang lewat dan menjadi tempat ia meminta bantuan. Namun, harapannya tidak terkabul.
'Ya, Tuhan! Kenapa sepi sekali? Bagaimana, kalau orang dalam mobil itu berniat jahat kepadaku?' batin Karin.
UP DATE 2 HARI SEKALI
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Kalau begitu, katakan kepadaku, apakah semua yang barusan kau katakan benar?” Tanya Karin dengan dada yang terasa sakit. Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin dengan dingin ia berkata, “Terserah apa yang kau pikirkan saja, karena aku jujur pun tidak kau percaya!” Ia berjalan meninggalkan Karin, tetapi Karin dengan cepat menarik tangannya. Ia meminta kepada Ryan untuk tidak pergi dahulu, sebelum masalah mereka tuntas. Dijawab Ryan dengan perkataan, kalau dirinya memerlukan udara segar, biar bisa berfikir dengan jernih. Karin mengatakan, kalau ia akan ikut menemani Ryan. Dan, kalau Ryan menginginkannya untuk diam ia akan melakukannya. Jawaban yang diberikan Ryan hanya anggukan kepala saja. Ia terus berjalan, tetapi berhenti sebentar untuk mengambil jaketnya dan Karin dari gantungan baju. Ketika Karin berada dekat dengannya ia memasangkan jaket tersebut ke badan Karin, setelahnya ia meneruskan langkahnya
“Kau mengejutkanku! Aku hanya ingin menuntaskan apa yang menurutku menjadi ganjalan dalam hubungan kita!” sahut Karin lemah. Kepalanya menunduk ke bawah, karena merasa bersalah sudah mengkhianati kepercayaan dari Ryan, yang baru saja mereka bangun. Terdengar suara helaan napas Ryan berat, Karin pun memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan ia menyesal sudah datang ke sini tanpa memberitahu Ryan. Ia bisa melihat dengan jelas kekecewaan di mata Ryan. Setelah selama beberapa saat tidak ada yang membuka suara Ryan memecah keheningan itu. “Kau sadar bukan, kalau yang kau lakukan itu membuat apa yang coba kita perbaiki menjadi rusak!” Dengan ragu-ragu Karin menyentuh tangan Ryan. Ia meminta maaf, sudah membuat pria itu merasa sedih dengan datang kembali ke pemakaman orang-orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Dengan kasar Ryan melepas tangan Karin dari tangannya. Ia lalu berjalan memasuki areal pemakaman terse
“Untuk apa, kau mencari tahu tentang seseorang yang sudah lama terkubur?” Tanya Luke. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya. Karin mengatakan, kalau ia hanya ingin mengunjunginya saja. Ia ingin meletakkan bunga di nisan tersebut, karena Ryan pernah mengatakan di sana juga anaknya dikuburkan. Terdengar suara tarikan napas di ujung sambungan telepon, juga selimut yang disibak. Setelah diam selama beberapa saat Luke, kemudian mengatakan di mana letak makam tersebut. Ucapan terima kasih langsung saja terlontar dari bibir Karin. Sekarang ia hanya mencari waktu yang tepat saja, untuk pergi ke sana tanpa sepengetahuan Ryan. Ia tidak tahu, apakah Ryan akan marah atau mengijinkan dirinya ke sana. Hanya saja, ia tidak mau mengambil resiko. Ia akan melakukannya secara diam-diam.**** Tiga hari kemudian, Ryan sudah diperbolehkan kembali ke rumah. Dan Ryan bersikeras untuk kembali ke kota asal mereka saja. Ia merasa sudah cukup