“Apa maksud bapak berkata seperti itu? Saya benar-benar hanya menginginkan pekerjaan menjadi sekretaris bapak dan bukannya yang lain. Saya tidak akan merendahkan diri saya, hanya agar supaya diterima bekerja," ucap Karin dengan tegas. Ia tidak mau, kalau dirinya sampai dianggap sebagai seorang wanita yang mudah dirayu demi uang dan jabatan.
Ryan menyunggingkan senyum sinis ke arah Karin. “Mengapa saya tidak percaya dengan apa yang kamu katakan! Saya merasa ada yang kamu sembunyikan dari saya.” Ia lalu merendahkan badan nya, hingga wajahnya sejajar dengan wajah Karin. Bahkan, hembusan napas keduanya terasa.
Karin menjadi semakin gugup, ditambah tatapan mata Ryan yang begitu tajam dan membius dirinya. Tatapan mata, yang seakan ingin menga mjaknya pergi ke tempat tidur.
“Bapak mungkin tidak percaya dengan apa yang saya katakan, karena pengalaman bapak sebelumnya. Namun, saya tidak berbohong dengan apa yang saya katakan tadi.” Karin mencoba untuk mendorong Ryan menjauh, meskipun kesannya tidak sopan, kepada pria yang akan menjadi atasannnya, seandainya ia diterima bekerja.
Ryan bukannya bergerak menjauh, karena dorongan Karin. Namun, ia terlalu kokoh di tempatnya berdiri. Ditangkapnya tangan Karin, yang menempel di dadanya.
Karin menyentak dengan kasar, tangan Ryan yang menggenggam tangannya, ia merasa bagaikan ada sengatan listrik yang mengalir di antara mereka berdua dan hal itu membuat sesuatu berdesir di dalam dada Karin.
Ryan menegakkan badannya, sebenarnya ia juga merasa terganggu dengan kedekatannya dengan Karin tadi. “Sialan! Apa yang sebenarnya membuat wanita ini terasa berbeda, dibandingkan wanita yang pernah menjadi teman kencanku. Apakah karena pembawaannya yang terlihat tenang? Sialan memang wanita ini!” umpat Ryan dalam hatinya.
Karin merasa lega, melihat Ryan kembali duduk di tempatnya semula. Pria itu kembali memasang wajah dinginnya, jauh di dalam hatinya, Karin lebih menyukai kalau calon bos nya ini menatapnya dingin.
Digigitnya kembali bibirnya, untuk mengusir rasa gugup. Lidahnya yang berwarna merah, menyembul ke luar untuk menjilat bibir nya yang terasa kering. Dan, sialnya semua itu tidak luput dari pengamatan Ryan.
“Kamu benar-benar mau menggoda saya untuk mencium bibir kamu, apa?” Ryan menatap bibir Karin dengan tajam.
Sebenarnya Karin merasa haus, hanya saja ia tidak berani untuk mengambil air mineral yang ada di atas meja yang ada di depannya, sebelum diperbolehkan oleh Ryan. Hanya mata nya saja yang melihat ke arah gelas itu dengan penuh harap.
Ryan mengikuti arah tatapan mata Karin. “Silahkan diminum airnya!”
Karin pun merasa lega mendengarnya. Langsung saja diambilnya gelas mineral air mineral dan diminumnya air tersebut. Namun, karena gugup terus ditatap tajam oleh Ryan. Membuat Karin tersedak air yang diminumnya.
Ryan dengan cepat berdiri dari duduknya, ia lalu menepuk punggung Karin dengan keras, hingga mata Karin ber-air.
Karin menjauhkan badannya dari Ryan, ia merasa sedikit kesal, karena pria itu memukul punggungnya dengan keras. “Terima kasih, bapak sudah menolongnya saya,” ucap Karin, meski dalam hatinya mendongkol.
Ryan pu kembali duduk di kursinya. “Apakah kamu yakin, dengan posisi lamaran yang kamu inginkan?” tanya Ryan, sambil membaca CV yang ada di tangannya.
Karin menegakkan duduknya. “Saya yakin pak, dengan posisi yang saya inginkan. Saya juga sudah mempelajari apa saja yang harus dikerjakan seorang sekretaris. Dan itu semua sesuai dengan Pendidikan yang saya tempuh.”
Ryan mengernyitkan keningnya, sorot matanya menyelidik. “Dan apakah menggunakan daya tarik tubuhmu yang seksi itu, merupakan salah satu bagian dari rencanamu untuk mendapatkan posisi sebagai sekretaris saya?
Ana berhitung sampai sepuluh dalam hatinya, untuk menahan kemarahannya yang hendak meledak. “Seandainya saja, aku tidak memerlukan pekerjaan ini untuk biaya hidupku, sudah pasti aku akan ke luar dari tempat ini, sekarang juga,” gumam Karin dalam hatinya.
“Maafkan saya, kalau bapak merasa terganggu dengan tubuh saya. Apakah bapak lebih suka kalau saya mengenakan pakaian yang lebih tertutup? Saya tidak mencari masalah dengan mencoba untuk merayu bapak. Saya hanya ingin mendapatkan pekerjaan ini,” ucap Karin.
Senyum miring tersungging di bibir Ryan. “Seberapa inginnya kamu dengan pekerjaan ini? Apakah kamu bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan pekerjaan ini?”
Karin merasa kalau Ryan sedang mengujinya, melalui pertanyaan yang ia berikan. Dan ia harus memberikan jawaban yang cerdas. “Saya memang akan memberikan apa yang terbaik sesuai dengan kemampuan saya, agar supaya diterima bekerja di sini. Namun, bukan berarti saya akan menggunakan tubuh saya untuk mendapatkan posisi itu, pak.”
“Hmm, baiklah! Saya membaca dari CV kamu, kalau kamu ini lulusan terbaik di kampus mu. Menurut kamu, apakah saya harus menerima lamaranmu?” tanya Ryan.
“Saya percaya, kalau bapak harus menerima saya, karena saya akan membuktikan bahwa apa yang ada di CV saya, memang benar-benar nyata,” sahut Karin dengan penuh percaya diri.
Ryan lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Baiklah, kamu saya terima menjadi sekretaris saya. Dan. asalkan kamu tahu, bekerja bersama itu, artinya kamu harus siap untuk bekerja keras dan juga dengan jam lembur.”
Dengan cepat Karin menganggukkan kepalanya. Rona bahagia terpancar di mata dan wajah nya. “Siap, pak! Saya akan buktikan, kalau saya memang pantas menjadi sekretaris bapak.”
Tatapan mata Ryan mengikuti gerakan Karin yang berdiri dari duduknya dan matanya berlama-lama memandang bagain dada Karin, yang dua buah kancing teratas sudah dilepasnya.
Jakun Ryan naik turun, dalam hatinya ia mengumpati Karin yang membuat ia ingin membawa wanita itu ke tempat tidur yang terdekat.
Karin mengulurkan tangan kanan nya untuk menjabat tangan Ryan. Dan, sepertinyahal itu merupakan kesalahan. Begitu jemarinya berada dalam genggaman Ryan, pria itu menyentnak tangannya. Hingga ia jatuh ke dada pria itu.
“Kenapa kamu begitu lemah? Hanya dalam satu kali tarikan saja kamu sudah jatuh ke dalam pelukan saya. Saya tidak menginginkan seorang sekretaris yang lemah, apalagi dikarenakan alasan ia belum sarapan,” bisik Ryan di telinga Karin.
Karin menepis kasar tangan Ryan yang merayap ke bagian kemejanya yang terbuka. “Saya minta kepada bapak, untuk tidak melakukan tindakan seperti ini, saya tidak menyukainya sama sekali!”
Ryan memindahkan tangannya ke bibir Karin. “Betapa pintarnya bibir ini berkelit, apakah kau tidak mendengar jantungmu yang berdebar begitu kencang? Kau tidak usah berbohong, karena banyak wanita yang menginginkan saya untuk menyentuh mereka dan mengajak mereka ke tempat tidur.”
Karin merasa geram mendengar ucapan Ryan, ia tidak akan membiarkan apa yang selama ini merupakan rahasia kelam dalam hidup ibunya, akan mennimpa dirinya juga.
“Saya tidak menginginkan sentuhan dari Bapak! Dan saya juga tidak ingin tidur dengan Bapak, ataupun pria lainnya, demi uang!”
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Kalau begitu, katakan kepadaku, apakah semua yang barusan kau katakan benar?” Tanya Karin dengan dada yang terasa sakit. Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin dengan dingin ia berkata, “Terserah apa yang kau pikirkan saja, karena aku jujur pun tidak kau percaya!” Ia berjalan meninggalkan Karin, tetapi Karin dengan cepat menarik tangannya. Ia meminta kepada Ryan untuk tidak pergi dahulu, sebelum masalah mereka tuntas. Dijawab Ryan dengan perkataan, kalau dirinya memerlukan udara segar, biar bisa berfikir dengan jernih. Karin mengatakan, kalau ia akan ikut menemani Ryan. Dan, kalau Ryan menginginkannya untuk diam ia akan melakukannya. Jawaban yang diberikan Ryan hanya anggukan kepala saja. Ia terus berjalan, tetapi berhenti sebentar untuk mengambil jaketnya dan Karin dari gantungan baju. Ketika Karin berada dekat dengannya ia memasangkan jaket tersebut ke badan Karin, setelahnya ia meneruskan langkahnya
“Kau mengejutkanku! Aku hanya ingin menuntaskan apa yang menurutku menjadi ganjalan dalam hubungan kita!” sahut Karin lemah. Kepalanya menunduk ke bawah, karena merasa bersalah sudah mengkhianati kepercayaan dari Ryan, yang baru saja mereka bangun. Terdengar suara helaan napas Ryan berat, Karin pun memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan ia menyesal sudah datang ke sini tanpa memberitahu Ryan. Ia bisa melihat dengan jelas kekecewaan di mata Ryan. Setelah selama beberapa saat tidak ada yang membuka suara Ryan memecah keheningan itu. “Kau sadar bukan, kalau yang kau lakukan itu membuat apa yang coba kita perbaiki menjadi rusak!” Dengan ragu-ragu Karin menyentuh tangan Ryan. Ia meminta maaf, sudah membuat pria itu merasa sedih dengan datang kembali ke pemakaman orang-orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Dengan kasar Ryan melepas tangan Karin dari tangannya. Ia lalu berjalan memasuki areal pemakaman terse
“Untuk apa, kau mencari tahu tentang seseorang yang sudah lama terkubur?” Tanya Luke. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya. Karin mengatakan, kalau ia hanya ingin mengunjunginya saja. Ia ingin meletakkan bunga di nisan tersebut, karena Ryan pernah mengatakan di sana juga anaknya dikuburkan. Terdengar suara tarikan napas di ujung sambungan telepon, juga selimut yang disibak. Setelah diam selama beberapa saat Luke, kemudian mengatakan di mana letak makam tersebut. Ucapan terima kasih langsung saja terlontar dari bibir Karin. Sekarang ia hanya mencari waktu yang tepat saja, untuk pergi ke sana tanpa sepengetahuan Ryan. Ia tidak tahu, apakah Ryan akan marah atau mengijinkan dirinya ke sana. Hanya saja, ia tidak mau mengambil resiko. Ia akan melakukannya secara diam-diam.**** Tiga hari kemudian, Ryan sudah diperbolehkan kembali ke rumah. Dan Ryan bersikeras untuk kembali ke kota asal mereka saja. Ia merasa sudah cukup