“Nanti, kalau kamu ke luar dari sini. Pergilah ke ruangan yang ada di seberang lift. Katakan kepada wanita yang berada di ruangan itu, kalau kamu diterima untuk bekerja di sini.” Dengan dingin Ryan mempersilakan kepada Karin untuk keluar dari ruangannya, tanpa melihat ke arahnya, seakan sudah tidak sabar Karin keluar dari ruangannya.
Karin yang sudah hendak ke luar dari ruangan Ryan, membalikkan badannya. “Baik, pak! akan saya katakan.”
Ke luar dari ruangan Ryan, Karin langsung menuju ruangan yang tadi dikatakan oleh bosnya. Berdiri di depan pintu yang terlihat kokoh, Karin pun mengetuk pintu tersebut.
Setelah dipersilakan untuk masuk, barulah ia membuka pintu tersebut. Karin duduk di hadapan seorang wanita dengan penampilan rapi dan kaku. Ia menatap menyelidik ke arah Karin.
“Siang, bu! Nama saya Karin dan saya disuruh oleh pak Ryan untuk melapor kepada ibu, kalau saya sekarang sudah menjadi sekretarisnya,” terang Karin.
Tatapan mata wanita itu semakin tidak suka melihat ke arah Karin. “Apakah kamu sudah mengetahui, apa saja yang harus kamu lakukan sebagai sekretarisnya?” tanya wanita itu dingin.
Karin menatap mata wanita itu dengan tenang. “Secara garis besar, saya sudah mengetahui tugas dari seorang sekretaris bu.”
Wanita itu terlihat menggerakkan mouse komputer yang ada di depan mejanya dan tak lama berselang terdengar suara mesin cetak berbunyi. Karin hanya diam saja memperhatikan apa yang dilakuka oleh wanita itu.
“Ini kartu identitas milikmu, pak Ryan sudah mengirimkan data dirimu secara langsung ke email perusahaan. Kamu tidak perlu merasa heran, bagaiamana bisa saya dengan cepat membuatkan kartu identitas untukmu.” Wanita itu lalu menyerahkan id card kepada Karin.
Karin pun menerimanya dan memasukkan ke dalam tasnya. Ia diberitahukan, bahwa setiap masuk ke dalam perusahaan dirinya harus selalu mengenakan id card tersebut dan ia tidak boleh lupa membawanya. Setiap hari juga ada absen kehadiran.
“Kamu akan sering berada dekat dengan pak Ryan, saya peringatkan kepadamu untuk jangan mudah baper. Pak Ryan memang menyukai wanita, jadi jangan pernah kamu berpikir nanti, kalau pak Ryan itu menyukaimu, apalagi sampai jatuh cinta. Kamu tidak ingin patah hati, bukan?” ucap wanita itu memperingatkan Karin.
Karin menarik napasnya dalam-dalam. Ia dapat merasakan aroma persaingan dan permusuhan dari wanita yang duduk di depannya ini. “Ibu jangan khawatir, saya tidak akan jatuh hati dengan pak Ryan, apalagi sampai patah hati karenanya.”
Wanita itu memandang sinis ke arah Karin, seakan ia tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. “Tentu saja, kamu akan berkata seperti itu, seperti sekretaris sebelum-sebelumnya. Mereka jatuh cinta dengan pak Ryan dan ketika cinta mereka ditolak, mereka pun berulah.”
Karin bangkit dari duduknya, karena urusannya di ruangan wanita ini sudah selesai. “Ibu tidak perlu takut, saya berbeda dengan sekretaris pak Ryan sebelumnya, permisi bu!”
Ia pun meninggalkan ruangan wanita itu dan menyimpan rasa kesalnya dalam hati. Namun, karena berjalan sambil menunduk dan tidak memperhatikan apa yang ada di depannya, Karin menabrak seseorang yang berjalan terburu-buru.
Dan, untungnya orang itu memegang pinggangnya dengan cepat, mencegahnya untuk jatuh. Ia pun mendongak untuk melihat siapa yang menolongnya, sekalian mengucapkan terima kasih.
Ucapan itu urung diucapkannya, begitu ia melihat siapakah pria yang telah menolongnya. Dengan cepat, ia mencoba untuk melepaskan pegangan tangan Ryan di pinggangnya. Namun, bukannya melepaskan Karin. Ryan justru menggunakan kesempatan itu untuk menarik Karin menempel ke dadanya.
“Tolong lepaskan pelukan bapak! saya tidak senang bapak seperti itu,” ucap Karin dengan suara mendesis, menahan kemarahannya.
“Kamu pembohong yang buruk! kalau kamu tidak suka dengan apa yang saya lakukan, kenapa jantung kamu justru berdebar dengan kencang?” ejek Ryan.
Karin menginjak kaki Ryan menggunakan kakinya yang memakai heels, sehingga Ryan dengan cepat melepaskan pelukannya di pinggang Karin.
Mata Ryan melotot dan menatap tajam, wanita yang baru beberapa menit yang lalu ia terima menjadi sekretarisnya. “Kamu, berani sekali menginjak kaki saya!”
“Maaf pak! bukan maksud saya untuk bersikap berani kepada bapak. Hanya saja, saya tidak mau bapak main peluk begitu. Saya akan bekerja sebagai sekretaris bapak secara profesional, tetapi tidak untuk hal di luar konteks pekerjaan,” sahut Karin.
Ryan melambaikan tangannya ke arah Karin. “Pergilah kamu! jangan lupa besok pagi, kamu tidak boleh datang terlambat.”
Karin menganggukkan kepalanya, ia lalu berjalan dengan cepat masuk ke dalam lift yang berbeda dengan lift khusus pimpinan yang dimasuki Ryan.
Sesampainya di depan pintu lobi, Karin pun berjalan dengan cepat ke luar dari dalam gedung dengan lantai tujuh tersebut. Ia pun berjalan ke luar dari halaman gedung yang luas.
Langkah kaki Karin terburu-buru, ia harus segera sampai di halte bis, yang letaknya tidak jauh dari pintu gerbang perusahaan milik Ryan.
“Kenapa wanita itu berjalan kaki? hmm, sepertinya ia naik bis untuk datang ke sini tadi,” gumam Ryan dalam hatinya. Diperhatikannya Karin yang berjalan dengan cepat. Tatapan matanya terarah kepada goyangan pinggul Karin, yang menggoda matanya.
“Percepat, pak! dan nanti ketika sudah berada di dekat wanita yang berjalan di depan, bapak bunyikan klakson dengan kencang, perintah Ryan kepada sopir pribadinya.
Karin yang sedang berjalan terlonjak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara klakson yang nyaring. Ia sudah akan mengacungkan kepalan tangannya, ke arah mobil tersebut.
Ia urung melakukannya, ketika dilihatnya kaca jendela diturunkan sedikit dan terlihatlah wajah dingin bosnya, yang sepertinya memang sengaja memerintahkan kepada sopirnya untuk membunyikan klakson dengan nyaring.
Dengan raut wajah kesal, Karin pun duduk di halte bis. Ditunggunya bis jurusan menuju apartemennya yang terletak di pinggiran kota New Jersey tiba. Tak lama berselang, bis yang ditunggunya pun terlihat, lalu berhenti di dekat Karin duduk.
Dirinya pun beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam bis tersebut. Dicarinya kursi yang kosong dan dirinya beruntung, masih ada tersisa kursi kosong, sehingga ia tidak perlu berdiri.
Beberapa menit kemudian, Karin pun sudah berada di dalam apartemennya yang kecil dan sepi. Ia berjalan menuju dapur, dibukanya pintu kulkas dan diambilnya botol berisi air mineral, lalu ditutupnya kembali.
Ia berjalan menuju ruang tengah dan duduk di atas sofa lusuh yang ada di dalam apartemennya. ‘Betapa beruntungnya aku, mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Hanya saja, aku harus waspada dengan perilaku bosku, yang sepertinya suka sekali memperhatikan diriku,’ ucap Karin pelan.
Dalam hatinya Karin bertekad, kalau dirinya tidak akan seperti ibunya. Yang rela memberikan tubuhnya, kepada pria yang kemudian mencampakkan dirinya.
‘Tidak akan kuikuti jejakmu bu! Yang menyerah kepada rayuan pria tidak bertanggung jawab! Takkan kubiarkan apa yang telah membuat hidupmu menjadi hancur karena seorang pria juga menimpa diriku! Aku juga tidak ingin bertemu dengan pria yang menjadi ayah kandungku. Namun, apakah ia pernah mencari tahu tentangku’ batin Karin.
'Syukurlah aku tidak bangun kesiangan, walaupun aku semalaman menangis karena teringat dengan almarhumah Ibuku, tetapi mengapa tadi malam aku bermimpi tentang pria yang seharusnya kupanggil Ayah? Apakah ini merupakan pertanda, kalau pria itu sebenarnya mencariku? Kenangan masa lalu yang coba kusimpan rapat kini kembali hadir semenjak aku menjadi sekretaris Ryan,' batin Karin. Dirinya langsung saja menyalakan oven dan memanggang roti di dalamnya. Ia lalu mengoles roti tersebut dengan selai kacang dan sesudahnya menyantapnya dengan nikmat. Dilihatnya jam tangan sudah menunjukkan pukul 07.15 pagi. Masih ada waktu setengah jam baginya untuk sampai ke kantor. Selesai sarapan, dengan terburu-buru Karin ke luar dari apartemennya. Ia pun berjalan menuju halte bis dan ia tidak menunggu lama. Bis yang menuju ke tempat kerjanya datang, lalu berhenti di depan halte tempatnya duduk. Dirinya pun memilih duduk di bagian tengah yang masih kosong. Sesekali ia meli
“Terima kasih, atas tawaran bapak. Namun, saya lebih suka untuk berganti pakaian di toilet karyawan saja, pak!” sahut Karin, sambil berlalu pergi dari ruangan Ryan. Mana mungkin ia berani berganti pakaian di kamar mandi bosnya. Terlebih lagi, dengan bosnya yang secara terang-terangan coba merayunya. Ryan berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke tempat Karin berdiri. Ia lalu berkata dengan suara pelan. “Apakah kau berani mengambil kunci ini, agar bisa ke luar dari ruanganku?” Karin memejamkan kedua matanya, ditariknya napas dalam-dalam. Rasanya ia hendak memaki bos nya ini, yang sudah membuat dirinya menjadi seakan terkurung di kndang Singa. Dittadahkannya tangannya ke arah Ryan. “Tolong berikan kunci pintunya, pak!” Ryan justru meraih jemari Karin dan meletakkan tepat di saku kemeja yang dikenakannya. “Aku tidak melarangmu, untuk mengambilnya secara langsung. Hanya saja ada syaratnya, kalau kamu mau aku yang menyerah
“Aku sudah memperingatkan kepadamu, kalau aku tidak suka mempunyai kekasih yang cerewet dan pencemburu tanpa alasan yang jelas. Kurasa, ini saatnya hubungan kita berakhir sampai di sini. Silakan, cari pria lainnya, yang bisa kau atur dan curigai sesukamu!” Tegas Ryan, sambil menatap dingin kekasihnya, yang ia anggap terlalu ingin tahu, dengan apa yang dilakukannya. Kekasih Ryan menatap tidak percaya kepada Ryan, yang bersikap egois. “Apa maksudmu berkata, seperti itu? Apa kau memutuskan diriku? Dasar brengsek, kau Ryan! Seenaknya saja kamu memutuskan diriku dan ini semua pasti karena wanita tadi, bukan?” Bentak kekasih Ryan, sambil mengguncang tubuhnya, dengan kencang. “Pak, tolong berhenti!” Perintah Ryan kepada sopirnya. Dan langsung saja dituruti oleh sopirnya itu. Begitu mobil sudah berhenti. Ryan melirik kepada wanita, yang baru saja ia putuskan. “Sopirku akan mengantarkanmu sampai ke tempat tujuan. Dan satu hal lagi, kau tidak peru takut aku
'Astaga! Setelah dengan seenaknya ia mengatakan hal itu, langsung pergi begitu saja!' batin Karin emosi. Karina menatap tidak percaya punggung Ryan, yang berjalan keluar dari restoran, setelah ia memberikan ultimatum kepada Karin. Tersadar dari lamunannya Karin pun berdiri dan beranjak keluar dari restoran. Ia tidak membayar tsagihan makan siangnya, karena Ryan yang sudah membayar tagihan tersebut. Hampir saja Karin menabrak punggung Ryan, ketika ia baru saja keluar dari pintu restoran. “Kenapa Bapak berdiri di situ? Siapa yang Bapak tunggu?” Ryan membalikkan badan dan melihat ke arah Karin dengan dingin. “Jangan besar kepala, saya tidak mungkin menunggu kamu!” Karin mengangguk. “Iya, benar apa yang Bapak katakan. Permisi, Pak saya duluan ke kantor.” Karin pun berjalan kembali menuju ke arah perusahaan tempatnya bekerja. Akan tetapi baru beberapa langkah ia berjalan Ryan menegur dirinya. “Apa yang kamu lakuka
'Astaga! Pintu mobil itu terbuka dan pria yang ada dalam mobil itu berjalan kemari!' batin Karin, ia melihat ke sekelilingnya berharap ada yang lewat. Rasa gugup Karin semakin menjadi terlebih lagi ketika dari dalam mobil dengan kaca gelap itu. Turun seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam menghampiri Karin. “Malam, Mis! Silakan masuk ke dalam mobil!” perintah orang itu singkat. Tangan Karin meraba tas yang ia sandang di bahunya. Ia pun berhasil menemukan apa yang ia cari semprotan merica. Akan tetapi, sebelum ia sempat menggunakannya pria dengan pakaian hitam itu berkata lagi, “Tuan Ryan menunggu Anda di dalam mobil!” Seakan mengerti namanya disebut kaca mobil diturunkan, sehingga terlihatlah Ryan di baliknya. “Cepat masuk! Jangan sok menolak. Kamu tidak pernah tahu apa yang akan kamu temui, kalau nekat tetap berada di halte ini. Bisa saja ada pemabuk yang akan memperkosamu. Daripada diperkosa oleh pema
"Siapa kau yang sudah berani berkata, seperti itu? Kau hanyalah wanita murahan yang membuatku merasa muak dengan sentuhanmu!" Ryan mencekau dagu wanita yang sudah berani mengatainya. Ryan memandang dua orang petugas keamanan itu dengan santai dan tidak ada rasa takut sama sekali. “Mau apa kalian? Apa kalian akan mengusirku dari sini? Kalau kalian sampai berani menyentuh tubuhku akan kubuat kalian menderita di jalanan dan tidak akan ada seorang pun yang menerima kalian bekerja!” Dirinya diam sebentar menunggu reaksi dari kedua orang petugas keamanan tersebut. “Bagus! Kalian memahami apa yang kukatakan. Pemilik kelab malam ini saudara sepupuku, katakan kepadanya kalau Ryan merasa kecewa dengan pelayanan yang ada!” Usai mengatakan hal itu Ryan berjalan keluar dari ruang VIP tersebut. Petugas keamanan yang tadi terlihat garang, membiarkan saja Ryan melewati mereka. Keduanya memang teringat dengan wajah Ryan, yang memang benar saudara dari
Ryan tersenyum senang melihat Karin yang tidur dalam pelukannya. ‘Hmm, Apa yang akan dilakukan oleh wanita ini, kalau ia mengetahui dirinya tidur dalam pelukanku?’ gumam Ryan. Lama kelamaan Ryan kembali mengantuk dan ia pun tidur dengan lengannya setia memeluk erat perut Karin. Beberapa saat kemudian Karin membuka kedua matanya perlahan. Ia merasa heran, karena seingatnya dirinya tidur di sofa dan kenapa sekarang ia kembali berada di atas tempat tidurnya. Ketika ia hendak bangun dari tempat tidur. Dirasakannya berat pada perut dan juga didengarnya suara napas berat seorang laki-laki tepat di samping telinganya. Dengan cepat ia membalikkan badan dan ketika itulah netranya bertemu dengan netra hitam milik Ryan. “Pak, Ryan! Kenapa Bapak bisa tidur bersama dengan saya? Apa yang sudah Bapak lakukan?” berondong Karin dengan pertanyaan. Ryan yang memang sudah bangun dari tadi dan memperhatikan apa yang dilaku
Karin sontak saja menjadi terkejut, dengan pertanyaan Ryan, “Bapak memata-matai saya? Kenapa Bapak menerima saya sebagai sekretaris, kalau Bapak meragukan siapa saya?” tanya Karin balik. Ryan menarik Karin merapat dengannya. “Kau tentu pernah mendengar istilah yang mengatakan. Lebih baik mengawasi musuh kita dari dekat, hingga kita tahu langkah yang akan diambilnya.” Karin menyentak tangan Ryan di pundaknya. “Kalau begitu Bapak menganggap saya sebagai musuh?” “Kamu mengalihkan pertanyaanku, dengan mengajukan pertanyaan! Kamu memang cerdas Karin, sayangnya aku tidak akan terkecoh. Jawab saja pertanyaanku!” Dengan menahan umpatan kasar, yang belum pernah terlontar dari bibirnya Karin pun berkata, “Keluarga saya bukan urusan Bapak! Mengapa potret mereka tidak ada dinding apartemen saya? Karena saya mengingat mereka di dalam hati dan di kepala saya. Bukan melalui secarik gambar dalam pigura!” Mendengar jawaban Karin,