Malam di Paris masih sama. Langit kelabu dengan bintang-bintang enggan menampakkan diri. Aileen duduk bersandar di jendela kamar hotel, memandangi pantulan cahaya kota yang menari-nari di permukaan sungai Seine. Ia memeluk lutut, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis. Dinginnya bukan karena suhu, tapi karena sesuatu yang sejak lama mengendap di dalam dada.Sudah dua tahun ia menikah. Tapi sunyi tak pernah benar-benar pergi. Arvino tetap baik, tetap sopan, tetap menjalankan perannya. Namun dari mata laki-laki itu, Aileen tahu: ia bukan tujuan.Aileen menatap bayangannya sendiri di kaca. “Kenapa aku merasa seperti tamu di hidupku sendiri?” gumamnya lirih. Ia menatap boneka kecil hadiah masa kecil dari ibunya yang selalu ia bawa ke mana pun. Aileen mengambil boneka itu, memeluknya erat, dan air mata jatuh diam-diam."Aku rindu jadi perempuan yang dicintai karena siapa diriku. Bukan karena status. Bukan karena rahasia yang harus ditutupi."Ia kemudian berdiri, menyalakan lampu kecil d
Malam merayap pelan ke sela waktu. Di kamarnya yang hening, Aileen duduk bersandar di sisi ranjang, menatap kosong ke dinding yang sepi. Ia memeluk lututnya, lalu merebah pelan, menyelimuti dirinya dengan selimut tipis yang hanya setengah menutup tubuh.Tubuhnya lelah. Tapi bukan kelelahan yang bisa diobati dengan tidur.Ada kerinduan yang mengendap terlalu lama, yang tak pernah sempat dipeluk siapa pun. Kerinduan yang tidak punya suara, hanya denyut. Ia mencoba memeluk dirinya sendiri, mengusap lengannya, dadanya, perutnya... seolah mencoba menenangkan badai dari dalam.Nafasnya bergetar. Pelan. Menyatu dengan desir kipas angin dan detak jantungnya sendiri. Di situ, pada malam yang sunyi, ia mencapai titik paling jujur dari dirinya—di mana tak ada yang bisa menyentuhnya, kecuali dirinya sendiri.Air matanya turun tanpa suara. Bukan karena malu. Tapi karena ia sadar: dalam keheningan seperti inilah ia belajar menerima dirinya sepenuhnya—dengan luka, dengan rindu, dengan seluruh rasa y
Sudah dua tahun Aileen menikah dengan Arvino. Dua tahun tanpa sentuhan, tanpa gairah, tanpa pelukan malam hangat seperti yang dulu pernah ia alami—bukan dengan suaminya, tapi dengan Elvano. Ironisnya, malam pertama dan satu-satunya yang selalu hadir dalam ingatannya… justru bukan dari pria yang kini tidur di kamar sebelah.Kerinduan itu bukan semata fisik. Tapi tentang merasa dicintai, dihargai, dirindukan.Malam itu, di kamarnya yang sunyi, Aileen duduk bersandar di dinding. Lampu hanya temaram. Jemarinya mengetik di mesin pencari, mencoba mencari jawaban yang bisa menyelamatkan pernikahan yang terasa seperti dua orang asing serumah.“Bagaimana cara menyembuhkan pasangan yang tidak punya gairah?”“Suami tidak tertarik secara fisik, apa yang harus istri lakukan?”“Hubungan pernikahan tanpa kedekatan intim, solusi?”Setiap artikel yang ia baca seperti menusuk lebih dalam. Sebagian menyarankan komunikasi, sebagian menyarankan terapi, sebagian… menyarankan melepaskan.Tapi Aileen tidak i
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya, meski AC kamar tidak disetel terlalu rendah. Aileen duduk di tepi ranjang, memakai piyama satin lembut berwarna abu muda. Lampu kamar temaram. Arvino berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap ke Aileen, menatap lampu-lampu kota yang berkelip dari balik tirai.“Boleh aku bicara jujur malam ini?” suara Arvino terdengar pelan tapi mantap.Aileen mengangguk, meski ia tahu hatinya tidak siap. “Tentu,” jawabnya.Arvino berbalik, menatap Aileen. Wajahnya tenang, tapi matanya memendam banyak. “Aku minta maaf… karena selama ini aku berpura-pura semuanya baik-baik saja. Tapi kenyataannya, aku tak bisa lagi berpura-pura mencintaimu.”Aileen terpaku.“Sejak sebelum kita menikah resmi… bahkan dari malam pertama itu di Paris… aku berusaha meyakinkan diriku, mungkin rasa itu bisa tumbuh. Tapi ternyata tidak,” lanjutnya lirih. “Aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh dengan diam. Tapi aku juga tidak mau menyentuhmu jika hatiku tidak di sana. Han
Langit Paris pagi itu mendung. Seolah ikut merasakan campur aduk perasaan Aileen yang berdiri di depan gedung kecil tempat berlangsungnya pernikahan sipil. Tak ada bunga, tak ada kerabat, hanya satu wali yang ditunjuk dari pihak hakim lokal, dan seorang saksi dari kantor Arvino yang bersedia membantu.Aileen mengenakan gaun sederhana berwarna krem pucat. Rambutnya digelung anggun, tanpa hiasan apa pun selain senyum tipis yang ia paksa hadirkan. Arvino menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata.“Tak apa, Aileen… aku di sini. Selalu,” bisik Arvino pelan.Namun jauh di lubuk hatinya, Aileen merasa ada ruang yang kosong. Ia memejamkan mata sejenak, terbayang wajah Mama dan Papa di rumah. Mereka pasti terkejut… mungkin kecewa. Ia bahkan belum sempat memberi kabar apa pun. Segalanya terasa terlalu cepat.Proses berlangsung singkat, hanya tiga puluh menit. Ketika hakim menyatakan mereka resmi menjadi suami istri, Aileen menunduk. Ada haru, ada ba
Malam itu Aileen dan Arvino menonton film bersama di kamar hotel. Sebuah film romantis klasik yang alurnya sederhana, tapi menyentuh. Aileen beberapa kali tersenyum dan terharu, lalu memiringkan badan, bersandar ke lengan Arvino."Kalau dipikir-pikir… cinta di film tuh kelihatan sederhana, ya. Tapi kenapa di dunia nyata terasa jauh lebih rumit?" gumam Aileen.Arvino tertawa pelan. “Karena di film, semuanya disusun sempurna. Di dunia nyata, cinta tumbuh pelan-pelan, penuh kompromi, tapi lebih nyata.”Aileen menoleh menatap Arvino. “Tapi aku kadang penasaran… rasanya seperti apa… saat cinta itu… diwujudkan sepenuhnya.”Arvino menatap Aileen lembut. Ia tahu ke mana arah pertanyaan itu. Tapi ia juga tahu, mereka punya komitmen. Ia mengusap rambut Aileen perlahan."Aku mau kamu merasakan semuanya dengan utuh, tapi di waktu yang tepat. Saat kamu sudah jadi istriku. Saat semuanya sah, tanpa ada rasa ragu atau bersalah."Aileen menunduk, malu, namun merasa hatinya hangat oleh kalimat itu.“Ma