Home / Romansa / Gairah Cinta CEO dan Peramalnya / Bab 3: Investigasi Cinta

Share

Bab 3: Investigasi Cinta

last update Last Updated: 2025-03-18 17:30:21

Rina mendadak muncul di sampingku dengan ekspresi khasnya—kombinasi antara kepo, gosip, dan sedikit niat mengerjai aku.

"Anyaaa~ ada klien spesial buat lo!" katanya sambil menyenggol lenganku.

Aku menatapnya curiga. "Spesial gimana?"

"Empat anak SMA. Kayaknya mereka mau investigasi cinta."

Aku mengerutkan dahi. "Investigasi cinta?"

Rina terkikik. "Mereka mau lo bacain tarot buat ngecek status hubungan cowok yang lagi populer di sekolah mereka. Punya pacar atau nggak."

Aku menghela napas. "Astaga, ini booth tarot, bukan agensi detektif."

Tapi sebelum aku bisa protes lebih lanjut, empat gadis berseragam putih abu-abu sudah berdiri di depanku. Wajah mereka penuh harapan dan sedikit… dramatis.

"Kaakkk… tolong bantuin kita!" salah satu dari mereka—yang sepertinya ketua geng—langsung merengek.

Aku mengangkat alis. "Tolong bantuin apa?"

Mereka langsung duduk berdesakan di depanku, mendekat seperti mau ngebongkar rahasia negara.

"Kami mau nanya soal Raka!" salah satu dari mereka berkata penuh semangat.

Aku menatap mereka. "Raka siapa?"

Mereka serempak mendesah.

"Kakak nggak tahu Raka?! Raka itu the hottest guy di sekolah kita! Ganteng, tinggi, atlet basket, anak OSIS, pinter, cool, humble, pokoknya… PERFECT!"

Aku berusaha menahan tawa. "Oke… terus masalahnya?"

Si ketua geng berbisik dramatis. "Ada rumor kalau dia punya pacar! Tapi nggak ada yang tahu pasti!"

Aku mengusap wajah. "Jadi kalian mau gue bacain tarot buat tahu… apakah Raka punya pacar atau nggak?"

Mereka mengangguk heboh.

Aku melirik Rina yang sudah menahan tawa di pojokan. "Lo sengaja, ya?"

Rina mengangkat bahu. "Gue cuma kasih hiburan buat lo."

Aku mendesah pasrah dan mengambil dek tarot. "Oke, siapa yang mau ngocok kartunya?"

Keempat gadis itu langsung berebut, sampai akhirnya satu orang berhasil mengambil alih. Dengan penuh kekhusyukan, dia mengocok kartu dan menyerahkannya padaku.

Aku menarik napas dan membuka kartu pertama: The Lovers.

Keempatnya langsung menjerit tertahan.

"Ada seseorang di hatinya!" salah satu dari mereka berseru.

Aku tersenyum kecil. "Tenang. Kita lihat kartu berikutnya."

Aku membuka kartu kedua: The Moon.

Aku mengangguk. "Ini berarti ada sesuatu yang disembunyikan. Mungkin memang ada seseorang, tapi dia nggak mau banyak orang tahu."

"OMG! Jadi dia beneran pacaran diam-diam?!"

Aku membuka kartu terakhir: Three of Cups.

Aku terkekeh. "Oke, ini menarik. Three of Cups itu tentang perayaan, kebersamaan, atau… kadang bisa juga tentang lebih dari satu hubungan."

Mereka menatapku, menahan napas.

"Ada kemungkinan dia punya banyak yang dekat dengannya," kataku akhirnya. "Bukan berarti dia pacaran sama lebih dari satu orang, tapi dia mungkin menikmati perhatian banyak cewek."

"Jadi… jadi… dia playboy?!"

Aku mengangkat bahu. "Atau dia belum serius sama siapa pun."

Mereka saling berpandangan, lalu mulai heboh membahas teori masing-masing.

"Aku bilang juga apa, pasti dia nggak cuma deket sama satu cewek!"

"Tapi kalau dia nggak serius, berarti masih ada harapan, kan?!"

"Fix, gue harus lebih agresif deketin dia!"

Aku hanya menggeleng pelan sambil merapikan kartu-kartu tarotku.

Ketika mereka pergi, Rina duduk di sampingku sambil ngakak. "Gila, ya. Cowok SMA aja udah diperlakukan kayak artis K-pop."

Aku mendesah. "Rin, kalau zaman dulu kita tahu tarot bisa buat ngepoin cowok, mungkin kita juga bakal begini."

Rina tertawa. "Benar juga."

Aku melirik ponselku. Masih ada pesan dari El, yang belum aku balas.

Di satu sisi ada anak-anak SMA yang masih penasaran soal cinta pertama mereka…

Di sisi lain, ada aku. Yang juga masih bingung dengan perasaanku sendiri.

Dunia memang penuh dengan misteri cinta yang tak terpecahkan.

Aku baru saja selesai merapikan kartu tarot di mejaku ketika seseorang menaruh segelas kopi di depan booth-ku.

"Pesanan spesial buat peramal favorit gue," kata suara familiar.

Aku menghela napas sebelum mendongak. "Reza… lagi?"

Dia tersenyum lebar, tangannya masih memegang celemek hitam khas kafe sebelah booth tarotku. "Hari ini gue bikinin yang beda. Mocha latte, less sugar. Lo bakal suka, sumpah."

Aku melirik kopi itu dengan curiga. "Lo nggak taruh ramuan aneh di sini, kan?"

Reza memasang ekspresi sok terluka. "Gila, Anya, lo pikir gue tukang sihir? Gue cuma barista jenius yang pengen lo coba karya gue."

Aku mengambil gelasnya, menyesap sedikit. Oke, aku akui, enak. Tapi aku tetap harus jaga wibawa.

Aku meletakkan gelasnya pelan. "Not bad."

Reza tertawa. "Not bad kepala lo! Itu masterpiece!"

Aku hanya mengangkat bahu santai. "Oke, terus kali ini lo mau apa?"

Dia bersandar di meja booth-ku, menatapku dengan mata penuh keyakinan. "Gue mau lo pulang bareng gue."

Aku mendesah. "Reza, udah berapa kali gue bilang? Gue biasa pulang sendiri."

"Ya tapi kan kalau ada gue lebih aman. Lo cewek, malem-malem, bawa kartu tarot pula. Siapa tau ada klien yang tiba-tiba berubah jadi pocong."

Aku menatapnya datar. "Gue lebih takut sama cowok yang terlalu gigih ngajak pulang bareng."

Dia terkekeh. "Yaelah, gue bukan mau nyulik lo, Nya. Gue cuma nggak mau lo pulang sendirian tiap malam. Kasian, gitu."

Aku menghela napas. Ini bukan pertama kalinya Reza menawarkan hal yang sama. Dia selalu punya alasan berbeda, mulai dari "malam ini rawan hujan" sampai "gue kebetulan satu arah".

"Reza, lo sadar nggak, tiap kali gue nolak, lo selalu nyari alasan lain?" tanyaku sambil melipat tangan di dada.

Dia nyengir. "Namanya usaha."

Aku menatapnya lama, lalu menggeleng. "Lo tuh kayak iklan pop-up di internet. Makin sering ditutup, makin muncul lagi."

Reza tertawa keras. "Berarti gue harus cari cara lebih licik biar lo akhirnya klik 'accept'!"

Aku menggeleng. "Nggak akan terjadi."

"Yaudah, kalau lo berubah pikiran, gue masih di kafe sampe tutup." Dia mengedipkan mata sebelum berjalan kembali ke kafenya.

Aku menatap punggungnya pergi, lalu menghela napas.

Reza itu… baik. Agak ngeselin, tapi baik.

Tapi kenapa aku tetap merasa ada jarak?

Kenapa aku tetap menunggu sesuatu… atau seseorang… yang entah siapa?

Aku melirik ponselku. Tidak ada pesan baru dari El.

Dan entah kenapa, aku merasa sedikit kecewa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Cinta CEO dan Peramalnya   Bab 240: Kebersamaan Bahagia

    Setelah sarapan sederhana di balkon yang menghadap danau, Aira dan Renald duduk berdua sambil membuka buku catatan yang dibawa Aira dari London. Tapi kali ini bukan tentang kuliah, melainkan daftar kecil yang ia tulis beberapa hari sebelum menikah: Hal-hal yang ingin dilakukan bersama suami.Renald tersenyum saat Aira membacakannya, satu per satu."Nomor satu: naik kereta keliling Eropa, tapi bukan karena kerja. Nomor dua: masak bareng di dapur mungil, bukan di dapur hotel mewah. Nomor tiga: punya rumah kecil dengan taman yang penuh bunga matahari.""Nomor empat?" tanya Renald sambil meraih buku itu dan membacanya sendiri.Aira tersenyum malu. "Nomor empat: hidup sederhana tapi penuh tawa."Renald menggenggam tangannya. "Kita akan lakukan semuanya. Tapi boleh aku tambahkan satu?"Aira mengangguk."Nomor lima: punya anak yang menatapmu dengan mata yang sama seperti kamu menatapku sekarang."Aira tersenyum, matanya berkaca. "Pelan-pelan saja ya, Renald... kita baru mulai."Renald mengan

  • Gairah Cinta CEO dan Peramalnya   Bab: 239: Menjelang Hari H

    Tinggal empat hari lagi menuju hari pernikahan. Gaun pengantin Aira sudah tergantung manis di sisi lemari kaca, dilapisi kain putih tipis agar tidak terkena debu. Di seberangnya, setelan jas Renald tergantung rapi dengan bunga boutonnière berwarna senada.Aira berdiri di depan cermin besar di kamar apartemen mereka. Tangannya menyentuh perutnya pelan, seolah menenangkan diri. "Benarkah ini hidupku sekarang?" bisiknya lirih.Renald muncul dari belakang, memeluknya dari belakang, dagunya bersandar di pundak Aira. “Kenapa wajahmu kelihatan tegang, hm?”“Karena ini terlalu nyata, Ren…” jawab Aira pelan. “Dulu aku hanya mahasiswa biasa yang sibuk tugas, sekarang jadi calon istri CEO…”Renald tersenyum, memutar tubuh Aira agar saling berhadapan. “Tapi kamu bukan mahasiswa biasa, kamu satu dari sedikit orang yang membuatku jatuh cinta tanpa rencana. Kalau aku bisa ulang waktu, aku tetap akan memilih kamu.”Aira memejamkan mata sejenak. Kata-kata itu menenangkan.Beberapa menit kemudian, hand

  • Gairah Cinta CEO dan Peramalnya   Bab 238: Antara Buku Kuliah dan Undangan Pernikahan

    Pagi itu, sinar matahari London menyusup lembut melalui tirai jendela kamar apartemen Renald. Aira duduk di meja kecil, di hadapannya ada dua hal: skripsi yang harus diselesaikan dan undangan pernikahan yang menunggu untuk dikonfirmasi desainnya.Dunia Aira berubah drastis hanya dalam hitungan minggu. Dari seorang mahasiswi jurusan fashion yang biasa sibuk dengan kain dan desain runway, kini ia juga harus mencocokkan tanggal pernikahan, fitting gaun, serta menjawab ratusan pesan dari teman, kolega, dan kerabat yang ingin tahu tentang kabar bahagianya.Renald masuk membawa dua cangkir kopi.“Untuk calon istri yang hebat,” katanya, menyerahkan kopi hangat dan mengecup kening Aira.Aira tersenyum lemah. “Aku takut, Ren. Takut gagal membagi waktu. Takut dilihat orang hanya sebagai gadis muda yang menikahi CEO, bukan sebagai seseorang yang punya mimpi dan karya sendiri.”Renald duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Aira. “Kamu adalah Aira… sebelum kamu menjadi tunanganku. Kamu tetap Aira

  • Gairah Cinta CEO dan Peramalnya   Bab 237: Kepergok Bercinta dengan CEO

    Aileen menatap putrinya dengan mata berkaca. “Aira… kamu benar-benar mencintai Renald?”Aira mengangguk perlahan. “Iya, Ma… Tapi aku juga tahu caraku salah. Aku terlalu terbawa perasaan… terlalu nyaman… dan takut kehilangan. Tapi aku juga nggak ingin menyakiti Mama dan Papa.”Suasana kembali hening. Detik-detik terasa panjang.Mateo berdiri, memandang putrinya dengan dalam. “Baik. Kalau kamu merasa ini jalanmu, kami tidak bisa menghentikanmu. Tapi kami kecewa. Sekali ini saja, kami kecewa. Buktikan bahwa kamu tidak salah memilih.”Air mata Aira menetes, tapi ada kelegaan di balik tangisnya. Ia bangkit, memeluk papanya erat. Aileen ikut berdiri, merangkul keduanya.Renald menunduk, merasa bersalah sekaligus bersyukur.Dan untuk pertama kalinya, bukan hanya pelukan yang bicara—tapi juga penerimaan perlahan dari orang tua yang sempat patah hati karena putrinya yang tumbuh terlalu cepat.***Setelah pelukan yang panjang, Mateo dan Aileen pamit pulang ke hotel tempat mereka menginap. Aira

  • Gairah Cinta CEO dan Peramalnya   Bab 236: Tinggal Bersama CEO

    Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari sela tirai apartemen. Aira bangun lebih dulu, lalu duduk di tepi tempat tidur sambil meraih lingerie-nya. Jemarinya mengusap kain lembut itu, lalu tersenyum kecil. Hatinya terasa ringan—seperti baru saja melepaskan beban yang lama menggantung di sudut jiwa.Renald masih setengah terlelap, tapi begitu mendengar suara halus dari gerakan Aira, ia membuka mata perlahan. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik tubuh Aira kembali ke dalam pelukannya, memeluk dari belakang.“Jangan pulang,” bisiknya lembut di dekat telinga Aira. “Mulai malam ini… tinggal di sini aja, ya?”Aira terdiam sejenak. Hatinya berdebar. Ia tak menyangka ucapan itu akan keluar secepat ini. Tapi anehnya, ia tidak merasa ragu. Tidak takut. Justru merasa… ini benar. Ini waktunya.Aira menoleh, menatap Renald dalam-dalam, lalu mengangguk kecil dengan senyuman hangat yang memancar dari matanya.“Aku akan bawa semua barangku hari ini,” jawabnya pelan, “dan tinggal di sini… bareng

  • Gairah Cinta CEO dan Peramalnya   Bab 235: Rahasia yang Terungkap

    Pelan-pelan ia membalas pesan itu:SaffronSky:“Tidak apa-apa. Sekarang... kamu anggap saja kamu dan dia pacaran. Anggap saja semuanya berakhir di sini.”Tanpa menunggu balasan, Aira logout dari situs itu.Ia tahu dirinya pengecut. Tapi mungkin... ini lebih baik daripada menyeret perasaan yang tak jelas ujungnya.Angin malam dari jendela mengibaskan tirai. Dan Aira menatap kosong langit gelap, tak tahu hati siapa yang baru saja ia sakiti—dan siapa yang sebenarnya ia tinggalkan.***Malam itu, London menyimpan gerimis kecil yang menempel di jaket Aira. Ia berdiri di depan pintu apartemen Renald, mengetuk perlahan sambil menenangkan napas. Di balik jaket panjang yang masih basah, tersimpan sesuatu yang tak biasa—sehelai lingerie merah anggur yang baru dibelinya siang tadi.Renald membuka pintu. “Aira? Kamu kehujanan?”Aira tersenyum kecil, menyerahkan kopi hangat yang ia bawa. “Tiba-tiba hujan saat aku jalan ke sini.”Renald mempersilakan masuk, lalu menutup pintu. Aira meletakkan kopi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status