Aku merebahkan diri di sofa setelah seharian membaca tarot di booth. Ponselku tergeletak di atas meja, masih terbuka di chat terakhir dari El.
"Tetap semangat bekerja." Pesan singkat yang membuatku kepikiran berjam-jam. Kenapa dia bisa menemukan nomorku? Kenapa aku merasa ada sesuatu di antara kami, padahal baru sekali bertemu? Dan yang paling mengganggu… kenapa aku sampai menangis waktu dia mencium tanganku? Aku menghela napas. Tiba-tiba, otakku yang usil mendapat ide. "Kenapa nggak cari tahu lebih jauh tentang dia?" Jari-jariku langsung mengetik namanya di G****e. El*…* Singapore.* Aku menunggu hasil pencarian muncul di layar. Awalnya hanya LinkedIn dan beberapa berita bisnis. Tapi saat aku menggulir lebih jauh… mataku membelalak. "Pengusaha Muda Singapura Tersandung Kasus Hukum: Diduga Menyiksa ART karena Tuduhan Racun di Minuman" Dadaku mencelos. Aku membaca lebih dalam. Tahun lalu, El dilaporkan ke polisi karena menuduh Asisten Rumah Tangga (ART)-nya meracuni minuman dingin yang diberikan kepadanya. Dalam kemarahan, dia disebut telah menyiksa ART tersebut hingga luka-luka. Kasus itu sempat menjadi skandal besar, dan… Aku menahan napas. Dia masuk penjara selama 6 bulan. Tanganku gemetar. Jadi… orang yang aku pikir punya “ikatan” denganku ini—pria yang mencium tanganku dengan penuh perasaan—pernah dipenjara karena kasus penganiayaan? Aku terdiam. Pikiran-pikiran liar mulai bermunculan. "Gimana kalau dia memang berbahaya? Tapi kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh?" Aku menatap layar ponsel, lalu ke arah kartu tarotku di meja. Aku harus mencari tahu lebih banyak. Tapi pertanyaannya… aku benar-benar ingin tahu, atau aku hanya takut kalau hatiku sudah mulai tertarik padanya? Malam itu, booth tarotku sudah agak sepi ketika seorang pria duduk di depan meja kasir kafe, memperhatikanku dari jauh. Aku pura-pura sibuk merapikan kartu tarot, tapi mataku menangkap sosoknya. Reza. Biasanya dia cuma ngasih kopi gratis dan ngajak pulang bareng. Tapi kali ini, dia melakukan sesuatu yang nggak pernah kulihat sebelumnya. Dia keluar dari balik meja barista, berjalan santai ke kasir, dan mengeluarkan dompet. "Apa yang dia lakukan?" Aku melihatnya berbicara sebentar dengan kasir, lalu menyerahkan beberapa lembar uang. Setelah transaksi selesai, dia berbalik, berjalan ke arahku, dan duduk di kursi klien. Dia menyilangkan tangan di dada, tersenyum miring. "Gue udah bayar di kasir. Lo nggak bisa nolak." Aku menaikkan alis. "Lo serius mau diramal?" Reza mengangguk. "Bayar pake uang sendiri. Gue kan pelanggan resmi sekarang." Aku menyandarkan diri ke kursi, menatapnya curiga. "Dan lo bayar full price? Bukan minta diskon 'karena gue barista ganteng' atau semacamnya?" Dia terkekeh. "Lo kepikiran juga gue bakal gitu, ya?" Aku mendesah. "Oke, Reza. Lo mau nanya apa?" Dia bersandar santai, menatapku dengan mata yang… berbeda dari biasanya. Lebih tajam. Lebih serius. "Gue mau tahu soal cinta gue," katanya pelan. Aku mengangkat bahu. "Oke, spesifiknya?" Dia menatapku dalam, lalu berkata dengan nada yang lebih rendah, hampir menggoda. "Gue mau tahu… apakah cewek yang gue suka bakal ngebuka pintunya buat gue, atau dia bakal terus nutupin hatinya?" Oke, suasana mendadak berubah. Aku mengocok kartu dengan gerakan lebih pelan dari biasanya. "Baiklah. Kita lihat apa kata tarot." Reza tetap menatapku, membuatku sedikit salah fokus. Aku membalik kartu pertama. The Lovers. Kartu kedua. The Hanged Man. Kartu ketiga. Knight of Cups. Aku terdiam. Reza tersenyum. "Jadi? Apa artinya?" Aku mengangkat tatapanku ke arahnya. "Lo lagi ada di posisi nunggu. Lo udah siap maju, tapi ada sesuatu yang bikin lo nggak bisa langsung dapetin orang yang lo suka." Reza mengangguk pelan. "Dan dia? Orang yang gue suka?" Aku mengetuk kartu The Lovers dengan jariku. "Dia tahu lo ada. Dia sadar lo deket. Tapi dia masih ragu buat buka pintu." Reza tertawa kecil. "Hmm… masuk akal." Aku menelan ludah, lalu menambahkan, "Tapi, kalau lo terus usaha dengan cara yang nggak terlalu maksa, mungkin akhirnya dia bakal buka pintunya." Reza menatapku lama. "Mungkin gue harus sering-sering bayar buat diramal." Aku mendengus. "Atau lo bisa cari cewek lain yang lebih gampang dideketin." Dia menyandarkan diri ke kursinya, tersenyum lebar. "Masalahnya, gue nggak tertarik sama yang gampang." Aku kehilangan kata-kata. Reza berdiri, memasukkan tangan ke saku celana. "Thanks buat bacaannya, Anya. Worth every penny." Lalu dia berbalik dan berjalan pergi. Aku melihat punggungnya menghilang di kafe, sementara pikiranku masih berusaha mencerna semuanya. Reza… serius? Atau ini cuma caranya buat bikin aku goyah? Aku menatap kartu The Lovers di meja. Aku tahu tarot nggak pernah bohong. Tapi kali ini, aku berharap aku salah baca.Setelah sarapan sederhana di balkon yang menghadap danau, Aira dan Renald duduk berdua sambil membuka buku catatan yang dibawa Aira dari London. Tapi kali ini bukan tentang kuliah, melainkan daftar kecil yang ia tulis beberapa hari sebelum menikah: Hal-hal yang ingin dilakukan bersama suami.Renald tersenyum saat Aira membacakannya, satu per satu."Nomor satu: naik kereta keliling Eropa, tapi bukan karena kerja. Nomor dua: masak bareng di dapur mungil, bukan di dapur hotel mewah. Nomor tiga: punya rumah kecil dengan taman yang penuh bunga matahari.""Nomor empat?" tanya Renald sambil meraih buku itu dan membacanya sendiri.Aira tersenyum malu. "Nomor empat: hidup sederhana tapi penuh tawa."Renald menggenggam tangannya. "Kita akan lakukan semuanya. Tapi boleh aku tambahkan satu?"Aira mengangguk."Nomor lima: punya anak yang menatapmu dengan mata yang sama seperti kamu menatapku sekarang."Aira tersenyum, matanya berkaca. "Pelan-pelan saja ya, Renald... kita baru mulai."Renald mengan
Tinggal empat hari lagi menuju hari pernikahan. Gaun pengantin Aira sudah tergantung manis di sisi lemari kaca, dilapisi kain putih tipis agar tidak terkena debu. Di seberangnya, setelan jas Renald tergantung rapi dengan bunga boutonnière berwarna senada.Aira berdiri di depan cermin besar di kamar apartemen mereka. Tangannya menyentuh perutnya pelan, seolah menenangkan diri. "Benarkah ini hidupku sekarang?" bisiknya lirih.Renald muncul dari belakang, memeluknya dari belakang, dagunya bersandar di pundak Aira. “Kenapa wajahmu kelihatan tegang, hm?”“Karena ini terlalu nyata, Ren…” jawab Aira pelan. “Dulu aku hanya mahasiswa biasa yang sibuk tugas, sekarang jadi calon istri CEO…”Renald tersenyum, memutar tubuh Aira agar saling berhadapan. “Tapi kamu bukan mahasiswa biasa, kamu satu dari sedikit orang yang membuatku jatuh cinta tanpa rencana. Kalau aku bisa ulang waktu, aku tetap akan memilih kamu.”Aira memejamkan mata sejenak. Kata-kata itu menenangkan.Beberapa menit kemudian, hand
Pagi itu, sinar matahari London menyusup lembut melalui tirai jendela kamar apartemen Renald. Aira duduk di meja kecil, di hadapannya ada dua hal: skripsi yang harus diselesaikan dan undangan pernikahan yang menunggu untuk dikonfirmasi desainnya.Dunia Aira berubah drastis hanya dalam hitungan minggu. Dari seorang mahasiswi jurusan fashion yang biasa sibuk dengan kain dan desain runway, kini ia juga harus mencocokkan tanggal pernikahan, fitting gaun, serta menjawab ratusan pesan dari teman, kolega, dan kerabat yang ingin tahu tentang kabar bahagianya.Renald masuk membawa dua cangkir kopi.“Untuk calon istri yang hebat,” katanya, menyerahkan kopi hangat dan mengecup kening Aira.Aira tersenyum lemah. “Aku takut, Ren. Takut gagal membagi waktu. Takut dilihat orang hanya sebagai gadis muda yang menikahi CEO, bukan sebagai seseorang yang punya mimpi dan karya sendiri.”Renald duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Aira. “Kamu adalah Aira… sebelum kamu menjadi tunanganku. Kamu tetap Aira
Aileen menatap putrinya dengan mata berkaca. “Aira… kamu benar-benar mencintai Renald?”Aira mengangguk perlahan. “Iya, Ma… Tapi aku juga tahu caraku salah. Aku terlalu terbawa perasaan… terlalu nyaman… dan takut kehilangan. Tapi aku juga nggak ingin menyakiti Mama dan Papa.”Suasana kembali hening. Detik-detik terasa panjang.Mateo berdiri, memandang putrinya dengan dalam. “Baik. Kalau kamu merasa ini jalanmu, kami tidak bisa menghentikanmu. Tapi kami kecewa. Sekali ini saja, kami kecewa. Buktikan bahwa kamu tidak salah memilih.”Air mata Aira menetes, tapi ada kelegaan di balik tangisnya. Ia bangkit, memeluk papanya erat. Aileen ikut berdiri, merangkul keduanya.Renald menunduk, merasa bersalah sekaligus bersyukur.Dan untuk pertama kalinya, bukan hanya pelukan yang bicara—tapi juga penerimaan perlahan dari orang tua yang sempat patah hati karena putrinya yang tumbuh terlalu cepat.***Setelah pelukan yang panjang, Mateo dan Aileen pamit pulang ke hotel tempat mereka menginap. Aira
Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari sela tirai apartemen. Aira bangun lebih dulu, lalu duduk di tepi tempat tidur sambil meraih lingerie-nya. Jemarinya mengusap kain lembut itu, lalu tersenyum kecil. Hatinya terasa ringan—seperti baru saja melepaskan beban yang lama menggantung di sudut jiwa.Renald masih setengah terlelap, tapi begitu mendengar suara halus dari gerakan Aira, ia membuka mata perlahan. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik tubuh Aira kembali ke dalam pelukannya, memeluk dari belakang.“Jangan pulang,” bisiknya lembut di dekat telinga Aira. “Mulai malam ini… tinggal di sini aja, ya?”Aira terdiam sejenak. Hatinya berdebar. Ia tak menyangka ucapan itu akan keluar secepat ini. Tapi anehnya, ia tidak merasa ragu. Tidak takut. Justru merasa… ini benar. Ini waktunya.Aira menoleh, menatap Renald dalam-dalam, lalu mengangguk kecil dengan senyuman hangat yang memancar dari matanya.“Aku akan bawa semua barangku hari ini,” jawabnya pelan, “dan tinggal di sini… bareng
Pelan-pelan ia membalas pesan itu:SaffronSky:“Tidak apa-apa. Sekarang... kamu anggap saja kamu dan dia pacaran. Anggap saja semuanya berakhir di sini.”Tanpa menunggu balasan, Aira logout dari situs itu.Ia tahu dirinya pengecut. Tapi mungkin... ini lebih baik daripada menyeret perasaan yang tak jelas ujungnya.Angin malam dari jendela mengibaskan tirai. Dan Aira menatap kosong langit gelap, tak tahu hati siapa yang baru saja ia sakiti—dan siapa yang sebenarnya ia tinggalkan.***Malam itu, London menyimpan gerimis kecil yang menempel di jaket Aira. Ia berdiri di depan pintu apartemen Renald, mengetuk perlahan sambil menenangkan napas. Di balik jaket panjang yang masih basah, tersimpan sesuatu yang tak biasa—sehelai lingerie merah anggur yang baru dibelinya siang tadi.Renald membuka pintu. “Aira? Kamu kehujanan?”Aira tersenyum kecil, menyerahkan kopi hangat yang ia bawa. “Tiba-tiba hujan saat aku jalan ke sini.”Renald mempersilakan masuk, lalu menutup pintu. Aira meletakkan kopi