Hari sudah sore ketika dua pria duduk di depanku.
Yang satu berwajah tegas, dengan rahang kokoh dan mata tajam, seperti pria kantoran yang selalu rapi. Yang satunya lebih lembut, dengan kacamata bundar dan senyum yang sedikit gugup. Dari cara mereka duduk berdekatan, aku bisa menebak mereka bukan sekadar teman biasa. Aku tersenyum profesional. "Selamat sore. Mau baca tarot tentang apa?" Si pria berkacamata langsung menunduk, sementara yang berrahang tegas menatapku lurus. "Kami ingin tahu… apakah hubungan kami akan direstui keluarga?" Aku menatap mereka. Pertanyaan yang tidak mudah. "Tolong acak kartunya, dan ambil tiga," kataku sambil menyodorkan dek tarot. Si pria berkacamata yang mengambil kartu. Jemarinya sedikit gemetar. Aku membuka kartu pertama: The Hierophant. Aku mengangguk. "Ini kartu tentang tradisi, aturan keluarga, dan restu dari figur yang lebih tua. Ini berarti… keputusan keluarga kalian punya pengaruh besar dalam hubungan ini." Si pria berkacamata menelan ludah. "Jadi… kemungkinan besar orang tua kami menentang?" Aku tersenyum kecil. "Kita lihat kartu berikutnya." Aku membuka kartu kedua: The Chariot. "Ini tentang perjuangan dan tekad kuat. Artinya, kalau kalian mau bersama, kalian harus berjuang lebih keras. Akan ada tantangan, tapi kalau kalian tetap teguh… mungkin ada jalan." Mereka berpandangan. Kali ini, si pria berrahang tegas yang bicara, suaranya tenang. "Dan yang terakhir?" Aku membuka kartu ketiga: The World. Aku mengangkat alis. "Menarik. Ini kartu tentang perjalanan ke luar negeri, menyelesaikan sesuatu, atau mencapai kebebasan." Aku menatap mereka. "Kalian punya rencana menikah di luar negeri?" Si pria berkacamata mengangguk cepat. "Ya! Kami ingin menikah di Kanada. Tapi kami takut orang tua akan memutuskan hubungan dengan kami." Aku terdiam sejenak. "Tiga kartu ini memberi gambaran yang jelas," kataku akhirnya. "Kalian akan menghadapi penolakan awal, tapi kalau kalian punya tekad, ada jalan terbuka. The World menunjukkan bahwa kalian mungkin memang akan menikah di luar negeri." Si pria berkacamata tampak berkaca-kaca. "Jadi… ada harapan?" Aku tersenyum. "Tarot tidak memberi kepastian, hanya kemungkinan. Keputusan tetap di tangan kalian. Tapi kalau kalian yakin, dan kalian siap menghadapi risikonya… dunia ini luas. Ada banyak tempat yang bisa menjadi rumah kalian." Si pria berrahang tegas mengangguk, lalu menggenggam tangan pasangannya dengan erat. "Terima kasih. Apa pun yang terjadi, kami akan berjuang." Aku hanya tersenyum. Saat mereka pergi, aku menarik napas panjang. Cinta memang sering kali harus melawan banyak hal. Kadang keluarga, kadang tradisi, kadang dunia. Tapi yang terpenting… Apakah dua hati itu cukup kuat untuk tetap bersama? Aku baru saja selesai membaca tarot untuk dua pria tadi ketika ponselku bergetar. Satu pesan W******p. Dari nomor asing. +65 xxxx xxxx: Hello, Anya. Hope you are doing well. Aku menatap layar, jantungku mendadak berdetak lebih cepat. Singapura. +65. Bisa jadi siapa saja… tapi aku punya firasat kuat siapa ini. Kuraih ponsel dengan tangan sedikit gemetar dan membalas: Hello, may I know who’s this? Jawabannya datang lebih cepat dari dugaan. El. From the tarot booth earlier today. Aku refleks menutup mulut dengan tangan. El. Si pria Singapura yang mencium tanganku. Aku mengetik cepat. Oh! Hi. How did you get my number? El: You left your business card on the table. Hope you don’t mind me texting you. Aku melirik meja booth, dan ya, di sana ada tumpukan kartu nama kecil dengan logo tarotku. Berarti dia mengambil salah satunya… dan sengaja menghubungiku. It’s okay. What’s up? El: Nothing much. Just wanted to say… keep up the good work. You have a special gift, Anya. Aku terdiam. Pesan singkat itu, sederhana… tapi rasanya seperti hangatnya teh di malam dingin. Aku tersenyum sendiri, mengetik balasan. Thank you. That means a lot. El: If I go back to Jakarta, would you be willing to read my tarot again? Mataku membulat. Dia akan kembali? Jari-jariku melayang di atas keyboard. Aku ingin menjawab santai, tapi entah kenapa ada sesuatu di dalam hatiku yang bergetar. Akhirnya aku membalas: Of course. Anytime. Pesan terakhir darinya hanya satu emoji: 😊 Aku menatap layar ponsel lama. Entah kenapa, perasaan ini terasa berbeda. Bukan sekadar klien yang puas dengan jasaku. Tapi lebih dari itu. Apakah ini… awal dari sesuatu? Atau… hanya kejutan kecil yang akan berlalu? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, malam ini, aku akan tidur dengan senyum kecil di wajahku.Rina mendadak muncul di sampingku dengan ekspresi khasnya—kombinasi antara kepo, gosip, dan sedikit niat mengerjai aku."Anyaaa~ ada klien spesial buat lo!" katanya sambil menyenggol lenganku.Aku menatapnya curiga. "Spesial gimana?""Empat anak SMA. Kayaknya mereka mau investigasi cinta."Aku mengerutkan dahi. "Investigasi cinta?"Rina terkikik. "Mereka mau lo bacain tarot buat ngecek status hubungan cowok yang lagi populer di sekolah mereka. Punya pacar atau nggak."Aku menghela napas. "Astaga, ini booth tarot, bukan agensi detektif."Tapi sebelum aku bisa protes lebih lanjut, empat gadis berseragam putih abu-abu sudah berdiri di depanku. Wajah mereka penuh harapan dan sedikit… dramatis."Kaakkk… tolong bantuin kita!" salah satu dari mereka—yang sepertinya ketua geng—langsung merengek.Aku mengangkat alis. "Tolong bantuin apa?"Mereka langsung duduk berdesakan di depanku, mendekat seperti mau ngebongkar rahasia negara."Kami mau nanya soal Raka!" salah satu dari mereka berkata penuh
Aku merebahkan diri di sofa setelah seharian membaca tarot di booth. Ponselku tergeletak di atas meja, masih terbuka di chat terakhir dari El."Tetap semangat bekerja."Pesan singkat yang membuatku kepikiran berjam-jam.Kenapa dia bisa menemukan nomorku?Kenapa aku merasa ada sesuatu di antara kami, padahal baru sekali bertemu?Dan yang paling mengganggu… kenapa aku sampai menangis waktu dia mencium tanganku?Aku menghela napas.Tiba-tiba, otakku yang usil mendapat ide."Kenapa nggak cari tahu lebih jauh tentang dia?"Jari-jariku langsung mengetik namanya di Google.El*…* Singapore.*Aku menunggu hasil pencarian muncul di layar. Awalnya hanya LinkedIn dan beberapa berita bisnis. Tapi saat aku menggulir lebih jauh… mataku membelalak."Pengusaha Muda Singapura Tersandung Kasus Hukum: Diduga Menyiksa ART karena Tuduhan Racun di Minuman"Dadaku mencelos.Aku membaca lebih dalam. Tahun lalu, El dilaporkan ke polisi karena menuduh Asisten Rumah Tangga (ART)-nya meracuni minuman dingin yang
Aku baru aja selesai beresin kartu tarot di meja ketika Rina tiba-tiba nyelonong masuk ke booth-ku dengan senyum jahilnya yang khas."Anyaaa~" katanya dengan nada menggoda.Aku melirik sekilas. "Apaan, Rin?"Dia langsung duduk di depanku, menyilangkan tangan di dagu dengan tatapan kepo maksimal. "Jadi… barista sebelah udah mulai bayar buat dapetin perhatian lo?"Aku menghela napas. "Bukan gitu. Dia beneran mau diramal."Rina tertawa kecil. "Iya, iya. Terus dia nanya apa? ‘Apakah perempuan yang gue suka bakal ngebuka pintunya buat gue?’"Aku langsung melotot. "Lo nguping?!"Dia ngakak. "Enggak sengaja dengar! Sumpah! Tapi… anjir, Nya, lo nggak sadar? Itu kode keras banget!"Aku pura-pura cuek. "Dia cuma klien."Rina menepuk meja. "Dengerin, ya. Cowok biasa nggak akan bayar buat tarot kalau mereka nggak beneran kepo atau… ya, pengen deket sama pembacanya!"Aku menggeleng. "Lo terlalu banyak nonton drama, Rin."Rina menyandarkan diri, menyilangkan kaki. "Oke, oke, gue kasih lo skenario l
Seorang pria duduk di depan meja baca tarotku. Namanya Rio. Umurnya sekitar 28 tahun, tinggi, rapi, dengan gaya santai khas anak konglomerat."Aku punya dua hal yang lagi aku jalani, nih," katanya sambil menyandarkan punggung di kursi. "Keluargaku baru buka restoran, dan aku baru mulai serius di fotografi. Aku mau tahu, mana yang lebih prospek?"Aku mengocok kartu sambil tersenyum tipis. "Kamu serius di dua-duanya, atau ada yang cuma ikut-ikutan?"Rio tertawa kecil. "Sejujurnya, restoran ini bisnis keluarga. Mamiku yang urus. Aku kebagian promosi dan branding. Fotografi? Itu passion dari dulu."Aku menarik tiga kartu dan meletakkannya di meja. The Emperor, The Star, dan The Hanged Man.Aku menatap kartu itu, lalu menatap Rio. "Oke. Kalau restoran, peluang suksesnya besar, tapi kamu bakal kehilangan banyak kebebasan. Ini bakal mengikat kamu ke bisnis keluarga, dan kamu mungkin nggak bisa seenaknya eksplorasi hal lain."Rio mengangguk pelan. "Dan kalau fotografi?"Aku menunjuk The Star.
Malam itu, aku lagi rebahan di kasur, scrolling media sosial, menikmati hidup tanpa drama. Sampai tiba-tiba ponselku bergetar.Rio.Aku menatap layar sebentar, ragu mau angkat atau nggak. Aku menggeser layar. "Halo?"Suara Rio terdengar santai, tapi ada nada antusias. "Hei, peramal cantik. Lagi sibuk?" "Kalau rebahan dihitung sibuk, ya… sibuk banget."Rio tertawa. "Oke, gini. Aku baru ngobrol sama Mami, dan dia setuju soal booth tarot di restoran. Jadi, minggu depan kamu udah bisa mulai."Aku terdiam sebentar. "Serius? Mamimu nggak keberatan?""Bukannya keberatan, dia malah excited. Katanya, ini bisa jadi daya tarik unik buat restoran. Dia bahkan tanya kamu mau meja yang gimana."Aku mengangkat alis. "Wow. Aku kira bakal susah meyakinkan beliau."Rio terkekeh. "Mamiku itu open-minded, asal bisnisnya jalan. Oh, dan dia juga tanya… apakah pembacaan tarot bisa prediksi menu yang bakal laris?"Aku ngakak. "Bisa aja Mami kamu! Kalau gitu, tiap hari aku bakal bilang, 'Kayaknya hari ini ay
Motor melaju pelan di jalanan yang mulai lengang. Angin malam menyapu kulitku, tapi anehnya yang lebih terasa adalah panas yang merayap di telapak tanganku, karena aku masih memegang pinggang Reza. "Anya," suaranya tiba-tiba terdengar dalam, hampir berbisik. Aku menelan ludah. "Apa?"Dia nggak langsung menjawab. Motor sedikit melambat, memberi jeda yang bikin suasana makin intens. "Lo nyaman nggak?" Aku berkedip. "Maksud lo, naik motor?" Dia tertawa rendah. "Nggak. Pegang gue gitu."Aku langsung refleks mau melepas tangan, tapi Reza dengan cepat menaruh sebelah tangannya di atas tanganku, menekannya lembut agar tetap di sana. "Jangan," katanya pelan. "Gue suka." Jantungku berdetak lebih cepat. "Reza…"Dia menghela napas. "Udah lama gue pengen lo kayak gini. Deket. Bener-bener deket."Aku menggigit bibir, merasakan dadanya naik turun pelan. Suara knalpot motor yang bergetar di jalanan malam malah terasa kayak latar musik yang makin menguatkan atmosfer di antara kami. "Lo sadar n
Reza menyandarkan punggungnya ke bangku kayu sambil melirik ke arah tukang nasi goreng yang sibuk mengaduk wajan. Asap tipis mengepul, aroma bawang putih dan kecap semakin kuat.Dia menoleh ke arahku, sudut bibirnya terangkat. "Jadi, sejak kapan lo mulai baca tarot?"Aku menghela napas, menyilangkan tangan di atas meja. "Pertama kali sejak lulus SMA."Dia mengangkat alis. "Serius? Bukan dari kecil? Gue pikir lo dapet wangsit atau semacamnya."Aku terkekeh. "Nggak segitunya juga. Gue dapet kartu tarot pertama kali gara-gara hadiah dari majalah."Reza memiringkan kepala, jelas penasaran. "Majalah? Yang bener?"Aku mengangguk. "Iya. Ada promo gratis waktu itu. Iseng aja gue ambil. Pas mulai coba-coba baca, eh, kok kayaknya bener terus. Dari situ mulai serius belajar, mulai baca teman dan tetangga."Dia mengusap dagunya, matanya menatapku dengan intens. "Gue kira lo mulai karena keturunan indigo atau semacamnya."Aku menggeleng. "Nggak, gue cuma orang biasa yang kebetulan cocok sama kartu
Aku sedang mengaduk sisa es tehku ketika tiba-tiba ponsel Reza bergetar di meja. Dia melirik sekilas, lalu mengangkatnya dengan nada santai."Halo, Papi? Iya, aku lagi makan."Aku refleks menatapnya. Papi?"Udah, tenang aja. Aku tetap masuk kerja besok… Iya, iya, aku tahu aturannya."Reza menutup telepon, lalu mendesah pelan sambil menaruh ponselnya ke meja. Tatapannya beralih ke arahku yang jelas-jelas menunggunya bicara."Jadi… Lo manggil bokap lo ‘Papi’?" aku menahan tawa.Dia mendengus. "Ya, emang kenapa? Kebiasaan dari kecil."Aku mengangkat bahu. "Nggak nyangka aja. Gue kira lo anak indie yang berjuang dari nol, ternyata…"Dia menyeringai. "Ternyata apa?"Aku melipat tangan di dada. "Anak sultan?"Dia tertawa kecil. "Nggak juga. Bokap gue memang punya beberapa perusahaan. Tapi karena gue masih muda, belum boleh pegang yang gede-gede."Aku menaikkan alis. "Terus sekarang lo kerja di…""Barista."Aku hampir tersedak. "Lo bercanda?"Dia menggeleng. "Nggak. Kafe tempat gue kerja itu
Mata Anya menajam. Luka pengkhianatan terasa menyesakkan.“Kamu… kamu tega ngelakuin itu ke aku?”Rio menunduk dalam rasa bersalah.“Aku minta maaf. Aku mau tebus semua salahku. Aku bakal bantu kamu dan Reza. Aku janji.”Sementara itu, di luar kafe, seorang pria bertubuh tegap — anak buah Rino — memperhatikan mereka dari balik kaca. Ia mengirim pesan singkat pada Rino.Rio mulai berkhianat. Mau saya habisi?Rino, yang sedang duduk di kantornya, tersenyum dingin.Belum. Biarkan saja dulu. Biar dia pikir dia masih bisa main dua kaki.Di apartemen, Reza yang menunggu kepulangan Anya, menerima pesan dari nomor tak dikenal.Anya dalam bahaya. Rio nggak sebersih yang kamu kira. – RReza mengepalkan tangannya, wajahnya berubah serius. Ia mengambil kunci mobil dan bergegas menyusul Anya ke kafe.Di kafe, Anya menatap Rio tajam.“Aku nggak tahu aku bisa percaya kamu atau nggak. Tapi aku terima niat baik kamu… untuk saat ini.”Rio tersenyum samar, tapi di balik tatapan matanya, jelas ada gejola
Malam itu, Anya duduk di balkon apartemen sambil menatap kota yang berkelip. Angin malam berhembus lembut, tetapi pikirannya tidak setenang udara sekitar. Ia memikirkan siapa sebenarnya Rino, dan mengapa pria itu begitu terobsesi dengan dirinya dan Reza.Reza datang menghampiri dengan dua cangkir teh hangat. Ia duduk di samping Anya dan menyerahkan secangkir padanya.“Pikiranmu masih tentang ancaman itu, ya?”Anya mengangguk pelan.“Iya… Aku cuma nggak paham, kenapa orang-orang dari masa lalu kita selalu muncul lagi dan bikin kacau.”Reza menarik napas dalam, lalu perlahan berkata,“Sebenarnya aku belum cerita semuanya. Dulu, waktu aku kuliah di luar negeri, Rino itu salah satu teman dekatku. Tapi dia terlibat kasus penggelapan dana besar. Waktu kasus itu terbongkar, dia salah satu orang yang aku laporkan ke pihak kampus dan akhirnya ditangkap.”Anya membelalakkan mata.“Jadi dia dendam sama kamu?”“Iya. Dan aku baru sadar… Dia juga punya koneksi dengan El dulu. Mungkin itulah alasan
Farel akhirnya mengungkapkan, bahwa bertahun-tahun lalu saat Reza masih kuliah, ia pernah terseret dalam sebuah kasus bisnis gelap yang melibatkan penipuan investasi. Meskipun Reza saat itu akhirnya keluar dari lingkaran tersebut dan membenahi hidupnya, rekam jejak itu masih ada dan beberapa orang dari masa lalu itu mulai kembali muncul di Jakarta.“Aku tidak mengatakan Reza orang jahat. Justru dia keluar dari lingkaran itu dengan susah payah. Tapi aku khawatir, mereka yang dulu pernah terlibat bisa mencoba mendekati kalian lagi, bahkan memanfaatkan momen pernikahan kalian untuk balas dendam,” jelas Farel dengan serius.Anya terdiam lama. Pandangannya jatuh pada Reza, yang kini menunduk, wajahnya diliputi rasa bersalah.“Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini ke aku?” bisik Anya.Reza menghela napas dalam.“Aku takut kamu nggak bisa terima masa lalu aku. Aku ingin kamu melihat aku yang sekarang… bukan yang dulu.”Suasana menjadi hening. Namun beberapa menit kemudian, Anya menggengga
Hari-hari Anya dan Reza semakin padat dengan persiapan pernikahan. Di tengah-tengah kesibukan itu, Reza sesekali mengajak Anya meluangkan waktu berdua untuk sekadar makan malam santai atau berjalan-jalan sore, agar mereka tak tenggelam dalam stres persiapan.Sementara itu, Rio, yang diam-diam memendam rasa kepada Anya sejak lama, mulai terlihat berbeda. Ia semakin sering menawarkan bantuan untuk segala hal, bahkan hal-hal kecil. Suatu sore saat mereka bertiga berkumpul untuk rapat vendor, Rio menatap Anya lebih lama dari biasanya. Rina, yang menyadari hal itu, menarik Rio ke samping setelah rapat.“Rio, kamu harus hati-hati dengan perasaanmu. Anya sudah akan menikah dengan Reza,” ujar Rina pelan tapi tegas.Rio menunduk, bibirnya menekan.“Aku tahu, Rin. Aku cuma… aku nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa. Aku suka dia, dari dulu.”Rina menepuk bahu Rio.“Kamu sahabat mereka berdua. Jangan rusak itu. Kalau kamu memang sayang Anya, kamu harus ikut bahagia lihat dia bahagia.”Rio meng
Anya tertawa pelan sambil menunjukkan pesan itu pada Reza.“Kayaknya sahabatku sudah nggak sabar ikut heboh.”Hari itu mereka kembali ke Jakarta dengan hati penuh rencana. Setibanya di apartemen, mereka langsung menemui orang tua Anya dan Reza. Kedua keluarga menyambut dengan suka cita dan mendukung rencana mereka sepenuhnya.Minggu-minggu berikutnya diisi dengan berbagai kesibukan. Reza menemani Anya memilih undangan, fitting kebaya akad, dan mencari tempat resepsi yang sesuai. Rio, meskipun menahan rasa di hati, ikut membantu menjadi koordinator tamu.Suatu sore di kafe langganan dekat apartemen, Rina, Anya, dan Rio berkumpul untuk membicarakan konsep dekorasi. Rina bersemangat menunjukkan moodboard yang sudah ia siapkan, sementara Rio diam-diam memperhatikan Anya dengan tatapan lembut.“Anya, kamu benar-benar bahagia sekarang, ya?” tanya Rio, suaranya tenang.Anya mengangguk penuh keyakinan.“Iya, Rio. Aku yakin Reza orang yang tepat untuk aku.”Rio mengulum senyum. Ia menunduk sej
Pagi itu, udara Bali begitu sejuk, seolah menyambut lembaran baru dalam hidup Anya dan Reza. Deburan ombak terdengar lembut dari kejauhan, menenangkan hati yang selama ini penuh ketegangan.Anya menatap ke arah balkon vila tempat mereka menginap. Reza sedang berbicara santai dengan Rio, keduanya tampak jauh lebih tenang dan damai setelah semua yang terjadi.Tak ada lagi bayang-bayang masa lalu. Tak ada lagi kejaran musuh ataupun ancaman kekuatan gelap.Anya tersenyum sendiri. Siapa sangka, perjalanan panjang penuh luka dan air mata ini akhirnya berujung pada ketenangan dan cinta sejati?Saat Reza menyadari tatapan Anya, ia segera menghampirinya dan menggenggam tangannya.“Kamu kelihatan tenang pagi ini.”Anya mengangguk pelan.“Setelah semua yang terjadi… aku rasa ini saatnya kita mulai merangkai masa depan yang baru.”Reza tersenyum, lalu menarik Anya perlahan menuju meja sarapan di taman kecil vila mereka. Meja itu sudah dihiasi bunga kamboja putih dan minuman segar khas Bali.“Pagi
Suasana pura kembali menegang. Langit di atas kepala mereka tampak mulai gelap, padahal matahari belum sepenuhnya terbenam. Awan hitam berkumpul, menciptakan tekanan udara yang menyesakkan.Anya dan Reza berlari kembali ke lingkaran pelindung, tempat Guru Adarma berdiri tegap meskipun napasnya sudah mulai berat. Lelaki tua itu menoleh ke arah mereka, tatapannya tajam namun penuh ketenangan.“Bram dan anak buahnya akan melancarkan serangan kedua,” kata Guru Adarma, suaranya dalam dan mantap. “Kali ini mereka tidak hanya mengincar liontinmu, Anya. Mereka ingin membuka gerbang dimensi yang akan membangkitkan kekuatan kegelapan yang selama ini tersegel.”Anya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya masih erat dalam genggaman Reza."Apa yang harus kami lakukan, Guru?"Guru Adarma tersenyum samar.“Percayakan segalanya pada keyakinan dan cinta kalian. Itu kunci terakhir yang bisa menetralisasi kekuatan mereka.”Sementara itu, dari sisi lain pura, Bram, Rangga, dan Rio telah
Langit malam di Bali mulai gelap pekat. Aroma dupa dari Pura Guru Adarma semakin menyebar, membungkus suasana dengan keheningan dan kesakralan. Anya duduk bersila di dalam lingkaran pelindung bersama Reza dan Rio. Di hadapan mereka, Guru Adarma menutup mata, tangan beliau membentuk mudra kuno, mulutnya terus melantunkan mantra dengan suara stabil.Cahaya lilin di sekeliling mereka tampak bergetar. Liontin di leher Anya bersinar samar, rona keemasan menyelimuti tubuhnya perlahan. Energi perlindungan mulai terbentuk sempurna.Namun, di luar pagar pura, Bram, Rangga, dan Andre sudah memulai gerakannya. Andre mengeluarkan kain hitam bertuliskan aksara kuno yang telah dirapal mantra hitam."Begitu ini ditempelkan di gerbang, pagar pelindung pura mereka akan melemah," gumam Andre dengan suara serak.Rangga mengangguk. "Cepat, sebelum energi perlindungan mereka sempurna."Dengan cekatan, Andre menempelkan kain itu di pintu gerbang pura. Angin malam mendadak berhembus kencang, langit yang se
Pagi itu, udara di Jakarta terasa lebih sejuk dari biasanya. Anya terbangun dengan perasaan sedikit lebih tenang setelah pesan suara dari Guru Adarma semalam. Ia segera menelepon Reza dan Rio, mengajak mereka bertemu di kafe langganan dekat apartemen.Saat mereka bertiga duduk bersama, Anya mengeluarkan ponselnya dan memutar ulang pesan suara itu. Suara Guru Adarma kembali menggema, membuat mereka semua saling pandang penuh arti.Rio mengernyit.“Kalau Guru Adarma sampai menghubungi, berarti ini bukan ancaman biasa. Beliau orang yang sensitif secara spiritual, kita harus anggap serius.”Reza mengangguk, wajahnya tenang namun penuh perhatian.“Anya, aku rasa kita perlu ke Bali lagi. Kita harus bertemu Guru Adarma. Mungkin beliau punya petunjuk yang bisa membantu kita menghadapi ancaman ini.”Anya menatap Reza, ada keraguan di matanya, tapi juga harapan.“Baik. Kita berangkat akhir pekan ini.”Sementara itu, Dimas tetap di Jakarta untuk menjaga pengamanan digital dan fisik mereka. Ia me