Hari sudah sore ketika dua pria duduk di depanku.
Yang satu berwajah tegas, dengan rahang kokoh dan mata tajam, seperti pria kantoran yang selalu rapi. Yang satunya lebih lembut, dengan kacamata bundar dan senyum yang sedikit gugup. Dari cara mereka duduk berdekatan, aku bisa menebak mereka bukan sekadar teman biasa. Aku tersenyum profesional. "Selamat sore. Mau baca tarot tentang apa?" Si pria berkacamata langsung menunduk, sementara yang berrahang tegas menatapku lurus. "Kami ingin tahu… apakah hubungan kami akan direstui keluarga?" Aku menatap mereka. Pertanyaan yang tidak mudah. "Tolong acak kartunya, dan ambil tiga," kataku sambil menyodorkan dek tarot. Si pria berkacamata yang mengambil kartu. Jemarinya sedikit gemetar. Aku membuka kartu pertama: The Hierophant. Aku mengangguk. "Ini kartu tentang tradisi, aturan keluarga, dan restu dari figur yang lebih tua. Ini berarti… keputusan keluarga kalian punya pengaruh besar dalam hubungan ini." Si pria berkacamata menelan ludah. "Jadi… kemungkinan besar orang tua kami menentang?" Aku tersenyum kecil. "Kita lihat kartu berikutnya." Aku membuka kartu kedua: The Chariot. "Ini tentang perjuangan dan tekad kuat. Artinya, kalau kalian mau bersama, kalian harus berjuang lebih keras. Akan ada tantangan, tapi kalau kalian tetap teguh… mungkin ada jalan." Mereka berpandangan. Kali ini, si pria berrahang tegas yang bicara, suaranya tenang. "Dan yang terakhir?" Aku membuka kartu ketiga: The World. Aku mengangkat alis. "Menarik. Ini kartu tentang perjalanan ke luar negeri, menyelesaikan sesuatu, atau mencapai kebebasan." Aku menatap mereka. "Kalian punya rencana menikah di luar negeri?" Si pria berkacamata mengangguk cepat. "Ya! Kami ingin menikah di Kanada. Tapi kami takut orang tua akan memutuskan hubungan dengan kami." Aku terdiam sejenak. "Tiga kartu ini memberi gambaran yang jelas," kataku akhirnya. "Kalian akan menghadapi penolakan awal, tapi kalau kalian punya tekad, ada jalan terbuka. The World menunjukkan bahwa kalian mungkin memang akan menikah di luar negeri." Si pria berkacamata tampak berkaca-kaca. "Jadi… ada harapan?" Aku tersenyum. "Tarot tidak memberi kepastian, hanya kemungkinan. Keputusan tetap di tangan kalian. Tapi kalau kalian yakin, dan kalian siap menghadapi risikonya… dunia ini luas. Ada banyak tempat yang bisa menjadi rumah kalian." Si pria berrahang tegas mengangguk, lalu menggenggam tangan pasangannya dengan erat. "Terima kasih. Apa pun yang terjadi, kami akan berjuang." Aku hanya tersenyum. Saat mereka pergi, aku menarik napas panjang. Cinta memang sering kali harus melawan banyak hal. Kadang keluarga, kadang tradisi, kadang dunia. Tapi yang terpenting… Apakah dua hati itu cukup kuat untuk tetap bersama? Aku baru saja selesai membaca tarot untuk dua pria tadi ketika ponselku bergetar. Satu pesan W******p. Dari nomor asing. +65 xxxx xxxx: Hello, Anya. Hope you are doing well. Aku menatap layar, jantungku mendadak berdetak lebih cepat. Singapura. +65. Bisa jadi siapa saja… tapi aku punya firasat kuat siapa ini. Kuraih ponsel dengan tangan sedikit gemetar dan membalas: Hello, may I know who’s this? Jawabannya datang lebih cepat dari dugaan. El. From the tarot booth earlier today. Aku refleks menutup mulut dengan tangan. El. Si pria Singapura yang mencium tanganku. Aku mengetik cepat. Oh! Hi. How did you get my number? El: You left your business card on the table. Hope you don’t mind me texting you. Aku melirik meja booth, dan ya, di sana ada tumpukan kartu nama kecil dengan logo tarotku. Berarti dia mengambil salah satunya… dan sengaja menghubungiku. It’s okay. What’s up? El: Nothing much. Just wanted to say… keep up the good work. You have a special gift, Anya. Aku terdiam. Pesan singkat itu, sederhana… tapi rasanya seperti hangatnya teh di malam dingin. Aku tersenyum sendiri, mengetik balasan. Thank you. That means a lot. El: If I go back to Jakarta, would you be willing to read my tarot again? Mataku membulat. Dia akan kembali? Jari-jariku melayang di atas keyboard. Aku ingin menjawab santai, tapi entah kenapa ada sesuatu di dalam hatiku yang bergetar. Akhirnya aku membalas: Of course. Anytime. Pesan terakhir darinya hanya satu emoji: 😊 Aku menatap layar ponsel lama. Entah kenapa, perasaan ini terasa berbeda. Bukan sekadar klien yang puas dengan jasaku. Tapi lebih dari itu. Apakah ini… awal dari sesuatu? Atau… hanya kejutan kecil yang akan berlalu? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, malam ini, aku akan tidur dengan senyum kecil di wajahku.Setelah sarapan sederhana di balkon yang menghadap danau, Aira dan Renald duduk berdua sambil membuka buku catatan yang dibawa Aira dari London. Tapi kali ini bukan tentang kuliah, melainkan daftar kecil yang ia tulis beberapa hari sebelum menikah: Hal-hal yang ingin dilakukan bersama suami.Renald tersenyum saat Aira membacakannya, satu per satu."Nomor satu: naik kereta keliling Eropa, tapi bukan karena kerja. Nomor dua: masak bareng di dapur mungil, bukan di dapur hotel mewah. Nomor tiga: punya rumah kecil dengan taman yang penuh bunga matahari.""Nomor empat?" tanya Renald sambil meraih buku itu dan membacanya sendiri.Aira tersenyum malu. "Nomor empat: hidup sederhana tapi penuh tawa."Renald menggenggam tangannya. "Kita akan lakukan semuanya. Tapi boleh aku tambahkan satu?"Aira mengangguk."Nomor lima: punya anak yang menatapmu dengan mata yang sama seperti kamu menatapku sekarang."Aira tersenyum, matanya berkaca. "Pelan-pelan saja ya, Renald... kita baru mulai."Renald mengan
Tinggal empat hari lagi menuju hari pernikahan. Gaun pengantin Aira sudah tergantung manis di sisi lemari kaca, dilapisi kain putih tipis agar tidak terkena debu. Di seberangnya, setelan jas Renald tergantung rapi dengan bunga boutonnière berwarna senada.Aira berdiri di depan cermin besar di kamar apartemen mereka. Tangannya menyentuh perutnya pelan, seolah menenangkan diri. "Benarkah ini hidupku sekarang?" bisiknya lirih.Renald muncul dari belakang, memeluknya dari belakang, dagunya bersandar di pundak Aira. “Kenapa wajahmu kelihatan tegang, hm?”“Karena ini terlalu nyata, Ren…” jawab Aira pelan. “Dulu aku hanya mahasiswa biasa yang sibuk tugas, sekarang jadi calon istri CEO…”Renald tersenyum, memutar tubuh Aira agar saling berhadapan. “Tapi kamu bukan mahasiswa biasa, kamu satu dari sedikit orang yang membuatku jatuh cinta tanpa rencana. Kalau aku bisa ulang waktu, aku tetap akan memilih kamu.”Aira memejamkan mata sejenak. Kata-kata itu menenangkan.Beberapa menit kemudian, hand
Pagi itu, sinar matahari London menyusup lembut melalui tirai jendela kamar apartemen Renald. Aira duduk di meja kecil, di hadapannya ada dua hal: skripsi yang harus diselesaikan dan undangan pernikahan yang menunggu untuk dikonfirmasi desainnya.Dunia Aira berubah drastis hanya dalam hitungan minggu. Dari seorang mahasiswi jurusan fashion yang biasa sibuk dengan kain dan desain runway, kini ia juga harus mencocokkan tanggal pernikahan, fitting gaun, serta menjawab ratusan pesan dari teman, kolega, dan kerabat yang ingin tahu tentang kabar bahagianya.Renald masuk membawa dua cangkir kopi.“Untuk calon istri yang hebat,” katanya, menyerahkan kopi hangat dan mengecup kening Aira.Aira tersenyum lemah. “Aku takut, Ren. Takut gagal membagi waktu. Takut dilihat orang hanya sebagai gadis muda yang menikahi CEO, bukan sebagai seseorang yang punya mimpi dan karya sendiri.”Renald duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Aira. “Kamu adalah Aira… sebelum kamu menjadi tunanganku. Kamu tetap Aira
Aileen menatap putrinya dengan mata berkaca. “Aira… kamu benar-benar mencintai Renald?”Aira mengangguk perlahan. “Iya, Ma… Tapi aku juga tahu caraku salah. Aku terlalu terbawa perasaan… terlalu nyaman… dan takut kehilangan. Tapi aku juga nggak ingin menyakiti Mama dan Papa.”Suasana kembali hening. Detik-detik terasa panjang.Mateo berdiri, memandang putrinya dengan dalam. “Baik. Kalau kamu merasa ini jalanmu, kami tidak bisa menghentikanmu. Tapi kami kecewa. Sekali ini saja, kami kecewa. Buktikan bahwa kamu tidak salah memilih.”Air mata Aira menetes, tapi ada kelegaan di balik tangisnya. Ia bangkit, memeluk papanya erat. Aileen ikut berdiri, merangkul keduanya.Renald menunduk, merasa bersalah sekaligus bersyukur.Dan untuk pertama kalinya, bukan hanya pelukan yang bicara—tapi juga penerimaan perlahan dari orang tua yang sempat patah hati karena putrinya yang tumbuh terlalu cepat.***Setelah pelukan yang panjang, Mateo dan Aileen pamit pulang ke hotel tempat mereka menginap. Aira
Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari sela tirai apartemen. Aira bangun lebih dulu, lalu duduk di tepi tempat tidur sambil meraih lingerie-nya. Jemarinya mengusap kain lembut itu, lalu tersenyum kecil. Hatinya terasa ringan—seperti baru saja melepaskan beban yang lama menggantung di sudut jiwa.Renald masih setengah terlelap, tapi begitu mendengar suara halus dari gerakan Aira, ia membuka mata perlahan. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik tubuh Aira kembali ke dalam pelukannya, memeluk dari belakang.“Jangan pulang,” bisiknya lembut di dekat telinga Aira. “Mulai malam ini… tinggal di sini aja, ya?”Aira terdiam sejenak. Hatinya berdebar. Ia tak menyangka ucapan itu akan keluar secepat ini. Tapi anehnya, ia tidak merasa ragu. Tidak takut. Justru merasa… ini benar. Ini waktunya.Aira menoleh, menatap Renald dalam-dalam, lalu mengangguk kecil dengan senyuman hangat yang memancar dari matanya.“Aku akan bawa semua barangku hari ini,” jawabnya pelan, “dan tinggal di sini… bareng
Pelan-pelan ia membalas pesan itu:SaffronSky:“Tidak apa-apa. Sekarang... kamu anggap saja kamu dan dia pacaran. Anggap saja semuanya berakhir di sini.”Tanpa menunggu balasan, Aira logout dari situs itu.Ia tahu dirinya pengecut. Tapi mungkin... ini lebih baik daripada menyeret perasaan yang tak jelas ujungnya.Angin malam dari jendela mengibaskan tirai. Dan Aira menatap kosong langit gelap, tak tahu hati siapa yang baru saja ia sakiti—dan siapa yang sebenarnya ia tinggalkan.***Malam itu, London menyimpan gerimis kecil yang menempel di jaket Aira. Ia berdiri di depan pintu apartemen Renald, mengetuk perlahan sambil menenangkan napas. Di balik jaket panjang yang masih basah, tersimpan sesuatu yang tak biasa—sehelai lingerie merah anggur yang baru dibelinya siang tadi.Renald membuka pintu. “Aira? Kamu kehujanan?”Aira tersenyum kecil, menyerahkan kopi hangat yang ia bawa. “Tiba-tiba hujan saat aku jalan ke sini.”Renald mempersilakan masuk, lalu menutup pintu. Aira meletakkan kopi