Di bawah langit malam yang temaram, Reza dan Anya duduk berdua di balkon apartemen Reza. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, membawa ketegangan yang semakin terasa nyata.Reza menatap Anya dengan mata yang sulit diartikan, antara ragu, ingin, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ketertarikan.Reza: "Anya... aku nggak bisa bohong lagi. Aku punya perasaan ke kamu."Anya yang tengah menyesap teh hangat hampir tersedak. Ia menatap Reza dengan ekspresi tidak percaya.Anya: "Apa?"Reza tersenyum kecil, seolah melihat ekspresi terkejut Anya adalah sesuatu yang menyenangkan.Reza: "Aku suka kamu, Anya. Bukan cuma iseng atau main-main. Aku tahu ini membingungkan, dan aku nggak maksa kamu buat ngerasain hal yang sama."Anya terdiam. Hatinya berkecamuk. Ia memang merasakan sesuatu yang berbeda ketika bersama Reza. Ada ketertarikan yang tidak bisa ia abaikan, ada debaran yang lebih dari sekadar teman biasa.Anya: (menghela napas) "Jujur, aku juga ngerasa sesuatu yang nggak biasa kalau sa
Setelah kejadian tadi, Anya masih merasakan hangatnya sentuhan Reza di keningnya. Perasaannya campur aduk, antara bahagia, bingung, dan sedikit takut. Ia tahu ada sesuatu yang nyata di antara mereka, tetapi apakah ia siap untuk menerimanya?Saat mereka berjalan keluar dari kafe, Reza tetap di sisinya, sesekali mencuri pandang ke arah Anya yang masih diam.Reza: (sambil memasukkan tangan ke saku celana) "Kamu masih kepikiran?"Anya menoleh, menatap pria itu dengan tatapan yang sulit ditebak.Anya: "Apa maksudmu?"Reza menyeringai kecil.Reza: "Tentang kita."Anya menghela napas. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya terasa kaku. Ia bahkan belum benar-benar memahami perasaannya sendiri.Melihat itu, Reza tiba-tiba meraih tangan Anya, menggenggamnya lembut.Reza: (suara dalam dan tenang) "Aku nggak akan memaksamu, Anya. Tapi aku juga nggak mau kamu terus-terusan lari dari perasaanmu sendiri."Anya menatap tangan mereka yang saling bertaut. Ada getaran hangat yang mengalir, mengusik pertahanan
Anya masih terpaku dengan pengakuan Rio. Udara di antara mereka terasa berat, seolah ada sesuatu yang lebih besar yang belum terungkap.Anya: (mengusap pelipisnya, mencoba mencerna semuanya) "Jadi… Larasati adalah anak Nathan dan Tante Sisca. Dia juga pacarnya Reza. Dan kematiannya… mencurigakan?"Rio mengangguk pelan.Rio: "Aku nggak bisa bilang semua detailnya sekarang, tapi yang jelas, ada lebih dari sekadar kecelakaan dalam kematian Larasati."Anya menggigit bibirnya, pikirannya berkecamuk.Anya: "Reza tahu tentang ini?"Rio: (menatap Anya tajam) "Dia tahu… tapi nggak semua. Aku juga nggak tahu apa yang benar-benar dia ketahui, tapi aku yakin dia menyembunyikan sesuatu."Anya terdiam. Reza… pria yang semakin dekat dengannya, pria yang tadi pagi memeluknya dan mencium keningnya, ternyata menyimpan sesuatu yang lebih gelap dari yang ia duga.Anya: (suara pelan, hampir berbisik) "Aku harus cari tahu sendiri…"Rio menatapnya lama sebelum akhirnya berkata,Rio: "Kalau kamu mau masuk le
Anya menatap foto Reza dan Larasati dengan napas memburu. Kata-kata Rio tadi masih bergema di kepalanya."Larasati, tunangan Reza sebelum kecelakaan."Tangannya gemetar saat meletakkan kembali foto itu ke atas meja.Anya: (suara pelan, nyaris berbisik) "Kenapa Reza nggak pernah cerita soal ini?"Rio: (menghela napas panjang) "Mungkin karena dia nggak ingin kamu tahu."Anya: (mendongak, menatap Rio tajam) "Atau mungkin karena dia masih belum bisa move on?"Rio: (menatap Anya lama, lalu berkata hati-hati) "Itu juga mungkin. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, Anya…"Rio merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan satu kertas lusuh, lalu mendorongnya ke arah Anya.Rio: "Aku nemuin ini di laporan. Ini adalah laporan investigasi tentang kecelakaan Larasati."Anya mengambil kertas itu dengan ragu. Matanya membaca setiap kata dengan saksama."Larasati mengalami kecelakaan mobil pada malam 15 Oktober, dalam perjalanan pulang dari sebuah pertemuan pribadi. Mobilnya ditemukan di tepi jurang deng
Setelah telepon dari Rina, suasana di apartemen Anya masih terasa hangat, bukan karena coklat yang ia buat, tapi karena sesuatu yang baru saja terjadi antara dirinya dan Reza.Anya masih berdiri di tempatnya, bibirnya sedikit membengkak akibat ciuman panjang yang baru saja mereka bagi. Reza, yang masih berada di dekatnya, tak melepaskan tatapannya.Reza: “Aku nggak menyesal melakukannya.”Anya menggigit bibirnya sendiri, mencoba mencari kata-kata.Anya: “Reza… aku…”Reza mengangkat tangannya, menempelkan jari telunjuk ke bibir Anya, menyuruhnya diam dengan lembut.Reza: “Aku nggak butuh jawaban sekarang, Anya. Aku tahu ini membingungkan buat kamu, dan aku juga tahu kamu butuh waktu. Tapi aku mau kamu tahu satu hal…”Anya menatapnya dalam diam.Reza: “…Aku nggak main-main.”Kata-kata itu menggema di benak Anya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap pria di depannya, berusaha mencari kebohongan di matanya, tapi tidak menemukannya.Anya: (menghela napas) “Kenapa harus aku,
Anya masih diam, menatap mata Reza yang begitu dekat dengannya. Jantungnya berdetak begitu kencang, seolah memberi tahu bahwa ini adalah momen yang tidak bisa dihindari lagi.Reza mengangkat dagunya sedikit, jari-jarinya yang hangat menyentuh kulitnya dengan lembut.Reza: "Kamu diam aja, artinya aku boleh lanjut, kan?"Suaranya rendah, dalam, penuh dengan sesuatu yang membuat tubuh Anya terasa lemas.Anya: (suara pelan) "Reza…"Tapi sebelum ia bisa melanjutkan, Reza sudah menutup jarak di antara mereka. Bibirnya menyentuh bibir Anya dengan perlahan, seolah meminta izin. Dan saat Anya tidak menolak, ciuman itu semakin dalam.Anya bisa merasakan seluruh tubuhnya memanas, seakan terseret dalam pusaran emosi yang tidak bisa ia kendalikan.Reza semakin menekan ciumannya, tangannya berpindah ke tengkuk Anya, menahan agar ia tidak bisa mundur. Ada perasaan yang begitu nyata di dalamnya—bukan sekedar nafsu, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih bermakna.Saat akhirnya mereka melepaskan diri, n
Siang itu, Anya melangkah masuk ke kafe dengan perasaan campur aduk. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang El dan kembarannya yang baru saja diketahui, All.Di sudut ruangan, Rina sudah duduk dengan dua pria yang wajahnya benar-benar identik. Anya tertegun sejenak. Jika bukan karena gaya berpakaian dan aura yang sedikit berbeda, dia mungkin tidak bisa membedakan siapa El dan siapa All.El melambaikan tangan ke arah Anya dengan senyum khasnya. Sementara pria di sebelahnya—yang pasti adalah All—menatapnya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.Rina: (bersemangat) "Akhirnya kamu datang! Nih, kenalan langsung sama All!"Anya: (menatap All dengan penasaran) "Jadi... kamu benar-benar kembarannya El?"All tersenyum tipis dan mengulurkan tangan.All: "Sepertinya begitu. Aku All. Aku dengar banyak tentang kamu dari El."Anya menjabat tangannya, merasakan genggaman yang sedikit lebih kuat dibandingkan El.Anya: "Aneh rasanya. Selama ini aku nggak pernah dengar El punya saudara kembar."E
Anya masih duduk di kafe bersama El, All, dan Rina, namun perasaan gelisah mulai merayapi dirinya. Entah kenapa, dia merasa ada yang memperhatikan mereka sejak tadi.Mata Anya melirik ke sekeliling dengan hati-hati. Pandangannya pada sosok perempuan yang berdiri di luar kafe, sedikit tersembunyi di balik tiang. Perempuan itu mengenakan coat hitam panjang, rambutnya tergerai, dan meski wajahnya agak tertutup bayangan, ada sesuatu yang membuatnya tampak mencurigakan.Anya menelan ludah, mencoba menenangkan diri.Rina: (menyadari ekspresi Anya) "Hei, kamu kenapa?"Anya menggeleng pelan.Anya: "Enggak... cuma merasa kayak ada yang memperhatikan kita."Mata El langsung tajam. Dia dengan santai menoleh ke arah luar kafe, lalu menatap All yang duduk di sebelahnya.El: (pelan tapi tegas) "Kamu lihat?"All mengikuti arah pandangan El, lalu mengangguk kecil.All: (serius) "Ya, ada seseorang di sana. Seorang perempuan."Rina ikut melihat ke luar, tapi sosok itu sudah bergerak, perlahan menjauh d
“Anya, lama nggak ketemu ya. Aku denger-denger kamu mau nikah… Tapi kalau ada apa-apa, kamu selalu bisa cerita sama aku, kan?” ucap Dimas sambil tersenyum dengan tatapan tajam ke arah Reza.Reza memperhatikan dengan tenang, namun dalam hati ia mulai waspada. Ia tak ingin ada gangguan dari masa lalu yang merusak hubungan mereka. Setelah pertemuan keluarga selesai, Reza dan Anya sempat bicara di perjalanan pulang.“Za, jangan salah paham ya. Dimas memang dari dulu suka sok perhatian begitu. Aku anggap dia cuma sepupu dan teman,” ujar Anya menenangkan.Reza mengangguk pelan.“Aku ngerti, sayang. Aku percaya sama kamu. Kita fokus ke persiapan kita aja ya.”Walau begitu, diam-diam Reza memutuskan akan lebih waspada pada Dimas. Ia tak ingin calon istrinya diganggu oleh siapa pun. Hubungan mereka sudah terlalu jauh untuk digoyahkan.Perjalanan ke Bandung mempererat hubungan kedua keluarga. Semua sepakat untuk menggelar akad nikah di Jakarta, dilanjutkan dengan resepsi sederhana namun hangat.
Dua minggu setelah kejadian di pelabuhan, suasana rumah keluarga Anya penuh kehangatan. Hari itu, Reza dan keluarganya datang bersilaturahmi secara resmi ke rumah orang tua Anya. Bukan sekadar kunjungan biasa — tapi lamaran yang sudah lama dinanti.Anya mengenakan kebaya pastel lembut, rambutnya disanggul sederhana. Senyumnya tak pernah lepas sejak pagi. Reza, dengan batik elegan, duduk berdampingan dengan orang tuanya. Hatinya berdebar, namun wajahnya tetap tenang.Ayah Anya membuka percakapan dengan suara hangat, “Reza, niat baikmu kami hargai. Apalagi kami sudah melihat sendiri bagaimana kamu menjaga dan menyayangi Anya selama ini.”Reza mengangguk hormat.“Pak, Bu… saya datang ke sini dengan niat serius. Saya ingin melamar Anya, membangun rumah tangga bersama, dan membahagiakannya seumur hidup.”Ibunda Anya tersenyum haru. Anya menunduk malu, pipinya merona.Ayah Anya memandang putrinya, lalu kembali menoleh pada Reza.“Kalau Anya sudah mantap dengan pilihan hatinya, kami restui.”
Mata Anya menajam. Luka pengkhianatan terasa menyesakkan.“Kamu… kamu tega ngelakuin itu ke aku?”Rio menunduk dalam rasa bersalah.“Aku minta maaf. Aku mau tebus semua salahku. Aku bakal bantu kamu dan Reza. Aku janji.”Sementara itu, di luar kafe, seorang pria bertubuh tegap — anak buah Rino — memperhatikan mereka dari balik kaca. Ia mengirim pesan singkat pada Rino.Rio mulai berkhianat. Mau saya habisi?Rino, yang sedang duduk di kantornya, tersenyum dingin.Belum. Biarkan saja dulu. Biar dia pikir dia masih bisa main dua kaki.Di apartemen, Reza yang menunggu kepulangan Anya, menerima pesan dari nomor tak dikenal.Anya dalam bahaya. Rio nggak sebersih yang kamu kira. – RReza mengepalkan tangannya, wajahnya berubah serius. Ia mengambil kunci mobil dan bergegas menyusul Anya ke kafe.Di kafe, Anya menatap Rio tajam.“Aku nggak tahu aku bisa percaya kamu atau nggak. Tapi aku terima niat baik kamu… untuk saat ini.”Rio tersenyum samar, tapi di balik tatapan matanya, jelas ada gejola
Malam itu, Anya duduk di balkon apartemen sambil menatap kota yang berkelip. Angin malam berhembus lembut, tetapi pikirannya tidak setenang udara sekitar. Ia memikirkan siapa sebenarnya Rino, dan mengapa pria itu begitu terobsesi dengan dirinya dan Reza.Reza datang menghampiri dengan dua cangkir teh hangat. Ia duduk di samping Anya dan menyerahkan secangkir padanya.“Pikiranmu masih tentang ancaman itu, ya?”Anya mengangguk pelan.“Iya… Aku cuma nggak paham, kenapa orang-orang dari masa lalu kita selalu muncul lagi dan bikin kacau.”Reza menarik napas dalam, lalu perlahan berkata,“Sebenarnya aku belum cerita semuanya. Dulu, waktu aku kuliah di luar negeri, Rino itu salah satu teman dekatku. Tapi dia terlibat kasus penggelapan dana besar. Waktu kasus itu terbongkar, dia salah satu orang yang aku laporkan ke pihak kampus dan akhirnya ditangkap.”Anya membelalakkan mata.“Jadi dia dendam sama kamu?”“Iya. Dan aku baru sadar… Dia juga punya koneksi dengan El dulu. Mungkin itulah alasan
Farel akhirnya mengungkapkan, bahwa bertahun-tahun lalu saat Reza masih kuliah, ia pernah terseret dalam sebuah kasus bisnis gelap yang melibatkan penipuan investasi. Meskipun Reza saat itu akhirnya keluar dari lingkaran tersebut dan membenahi hidupnya, rekam jejak itu masih ada dan beberapa orang dari masa lalu itu mulai kembali muncul di Jakarta.“Aku tidak mengatakan Reza orang jahat. Justru dia keluar dari lingkaran itu dengan susah payah. Tapi aku khawatir, mereka yang dulu pernah terlibat bisa mencoba mendekati kalian lagi, bahkan memanfaatkan momen pernikahan kalian untuk balas dendam,” jelas Farel dengan serius.Anya terdiam lama. Pandangannya jatuh pada Reza, yang kini menunduk, wajahnya diliputi rasa bersalah.“Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini ke aku?” bisik Anya.Reza menghela napas dalam.“Aku takut kamu nggak bisa terima masa lalu aku. Aku ingin kamu melihat aku yang sekarang… bukan yang dulu.”Suasana menjadi hening. Namun beberapa menit kemudian, Anya menggengga
Hari-hari Anya dan Reza semakin padat dengan persiapan pernikahan. Di tengah-tengah kesibukan itu, Reza sesekali mengajak Anya meluangkan waktu berdua untuk sekadar makan malam santai atau berjalan-jalan sore, agar mereka tak tenggelam dalam stres persiapan.Sementara itu, Rio, yang diam-diam memendam rasa kepada Anya sejak lama, mulai terlihat berbeda. Ia semakin sering menawarkan bantuan untuk segala hal, bahkan hal-hal kecil. Suatu sore saat mereka bertiga berkumpul untuk rapat vendor, Rio menatap Anya lebih lama dari biasanya. Rina, yang menyadari hal itu, menarik Rio ke samping setelah rapat.“Rio, kamu harus hati-hati dengan perasaanmu. Anya sudah akan menikah dengan Reza,” ujar Rina pelan tapi tegas.Rio menunduk, bibirnya menekan.“Aku tahu, Rin. Aku cuma… aku nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa. Aku suka dia, dari dulu.”Rina menepuk bahu Rio.“Kamu sahabat mereka berdua. Jangan rusak itu. Kalau kamu memang sayang Anya, kamu harus ikut bahagia lihat dia bahagia.”Rio meng
Anya tertawa pelan sambil menunjukkan pesan itu pada Reza.“Kayaknya sahabatku sudah nggak sabar ikut heboh.”Hari itu mereka kembali ke Jakarta dengan hati penuh rencana. Setibanya di apartemen, mereka langsung menemui orang tua Anya dan Reza. Kedua keluarga menyambut dengan suka cita dan mendukung rencana mereka sepenuhnya.Minggu-minggu berikutnya diisi dengan berbagai kesibukan. Reza menemani Anya memilih undangan, fitting kebaya akad, dan mencari tempat resepsi yang sesuai. Rio, meskipun menahan rasa di hati, ikut membantu menjadi koordinator tamu.Suatu sore di kafe langganan dekat apartemen, Rina, Anya, dan Rio berkumpul untuk membicarakan konsep dekorasi. Rina bersemangat menunjukkan moodboard yang sudah ia siapkan, sementara Rio diam-diam memperhatikan Anya dengan tatapan lembut.“Anya, kamu benar-benar bahagia sekarang, ya?” tanya Rio, suaranya tenang.Anya mengangguk penuh keyakinan.“Iya, Rio. Aku yakin Reza orang yang tepat untuk aku.”Rio mengulum senyum. Ia menunduk sej
Pagi itu, udara Bali begitu sejuk, seolah menyambut lembaran baru dalam hidup Anya dan Reza. Deburan ombak terdengar lembut dari kejauhan, menenangkan hati yang selama ini penuh ketegangan.Anya menatap ke arah balkon vila tempat mereka menginap. Reza sedang berbicara santai dengan Rio, keduanya tampak jauh lebih tenang dan damai setelah semua yang terjadi.Tak ada lagi bayang-bayang masa lalu. Tak ada lagi kejaran musuh ataupun ancaman kekuatan gelap.Anya tersenyum sendiri. Siapa sangka, perjalanan panjang penuh luka dan air mata ini akhirnya berujung pada ketenangan dan cinta sejati?Saat Reza menyadari tatapan Anya, ia segera menghampirinya dan menggenggam tangannya.“Kamu kelihatan tenang pagi ini.”Anya mengangguk pelan.“Setelah semua yang terjadi… aku rasa ini saatnya kita mulai merangkai masa depan yang baru.”Reza tersenyum, lalu menarik Anya perlahan menuju meja sarapan di taman kecil vila mereka. Meja itu sudah dihiasi bunga kamboja putih dan minuman segar khas Bali.“Pagi
Suasana pura kembali menegang. Langit di atas kepala mereka tampak mulai gelap, padahal matahari belum sepenuhnya terbenam. Awan hitam berkumpul, menciptakan tekanan udara yang menyesakkan.Anya dan Reza berlari kembali ke lingkaran pelindung, tempat Guru Adarma berdiri tegap meskipun napasnya sudah mulai berat. Lelaki tua itu menoleh ke arah mereka, tatapannya tajam namun penuh ketenangan.“Bram dan anak buahnya akan melancarkan serangan kedua,” kata Guru Adarma, suaranya dalam dan mantap. “Kali ini mereka tidak hanya mengincar liontinmu, Anya. Mereka ingin membuka gerbang dimensi yang akan membangkitkan kekuatan kegelapan yang selama ini tersegel.”Anya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya masih erat dalam genggaman Reza."Apa yang harus kami lakukan, Guru?"Guru Adarma tersenyum samar.“Percayakan segalanya pada keyakinan dan cinta kalian. Itu kunci terakhir yang bisa menetralisasi kekuatan mereka.”Sementara itu, dari sisi lain pura, Bram, Rangga, dan Rio telah