"Enggak. Aku nggak mau, Dad." Robert menggeleng cepat, menolak usulan tersebut dengan tegas.
"Kenapa nggak mau?" Daddy Joe bertanya, suaranya terdengar sedikit mendesak, mencoba memahami alasan penolakan Robert."Karena Silvi belum hadir. Aku nggak akan menikahinya kalau dia belum datang.""Kan sudah Daddy katakan, kalau anak buah Om Tian dan pihak polisi lagi proses mencarian. Jadi daripada kamu menunggu… lebih baik ijab kabul ini tetap dilaksanakan, dan kamu juga nggak gagal menikah. Lagian para tamu juga sudah terlanjur berdatangan, Rob. Apa kamu nggak malu?" Daddy Joe mencoba membujuk, menawarkan solusi."Justru aku lebih malu kalau ijab kabul tanpa mempelai wanitanya, Dad.""Soal itu gampang. Kita bisa ngomong kalau Silvi sedang sakit sehingga nggak bisa hadir." Daddy Joe mencoba menawarkan solusi lain, mencoba meringankan kekhawatiran Robert."Enggak! Aku tetap nggak mau!" Robert menggeleng keras, menolaknyaDi sebuah kamar rumah sakit yang sunyi...Friska membuka mata perlahan, pupilnya menyesuaikan diri dengan cahaya lembut ruangan. Dinding berwarna krem, lukisan abstrak yang menggantung, dan aroma antiseptik yang menusuk hidung. Ini bukan bangsal biasa, melainkan kamar rawat VVIP yang mewah.Namun, kemewahan ini justru membuatnya merasa asing. Dan dia berpikir sekarang sudah berpindah alam.Benar apa yang Mommy Indri khawatirkan. Friska memang berniat mengakhiri hidupnya. Baginya, hidup tanpa Juna terasa hampa, tak ada lagi alasan untuk bernapas."Baru tau aku kalau di akhirat itu suasananya mirip seperti ruangan rumah sakit. Kupikir seperti taman bunga," ucapnya dengan suara lemah. Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan. "Bicara apa kamu, Friska?!" seru Daddy Irfan yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi. Wajahnya tampak lelah, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam.Friska terperanjat, tubuhnya yang masih
(21+)"Dek ... apa Kakak boleh menyentuhmu?" Juna berbisik lembut, suaranya bergetar menahan gejolak yang membuncah dalam dirinya. Matanya menatap dalam ke mata Silvi, mencari jawaban yang sejujurnya.Silvi terdiam, jantungnya berdegup kencang.Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini, dan hatinya diliputi perasaan campur aduk antara malu, ragu, takut, dan hasrat yang menggelora. Ini adalah kali pertama baginya, sebuah gerbang menuju dunia baru yang belum pernah dia jamah."Aku ... aku nggak tau, Kak," bisiknya lirih. Pipinya merona merah, panas menjalar ke seluruh tubuhnya.Juna mengelus lembut pipi Silvi, merasakan kehalusan kulitnya di bawah jemarinya. "Nggak apa-apa, Dek. Kakak nggak akan memaksa. Kalau kamu belum siap... Kakak akan menunggu. Sampai kapan pun kamu siap."'Gagal lagi deh, mau buat cicit untuk Opa,' batinnya sedih.Ada guratan kekecewaan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan di wajahnya, meski Juna telah berusaha untuk tersenyum.Melihat itu, Silvi menjadi tidak enak
"Lho, Dek ... kamu kenapa?"Juna, yang tiba untuk menjemput Silvi, terkejut mendapati raut wajah istrinya yang begitu sendu. Ada guratan kesedihan yang dalam di sana, membuat hatinya mencelos khawatir.Tanpa sepatah kata pun, Silvi langsung membuka pintu mobil dan masuk, membiarkan Juna bertanya-tanya dalam benaknya.Juna segera menyusul, masuk ke dalam mobil. "Cerita sama Kakak, kamu ada apa? Apa ada yang menjahati kamu di kampus? Katakan, akan Kakak kasih dia pelajaran!" Ucapnya dengan nada sungguh-sungguh.Dia sudah menggulung kedua lengan bajunya, memperlihatkan otot-ototnya yang kekar. Dia benar-benar akan memberikan pelajaran setimpal jika ada yang berani menyakiti Silvi, batinnya bergejolak."Jalan dulu, nanti aku cerita setelah sampai rumah, Kak," jawab Silvi lirih. Dia lalu menyandarkan bahunya di penyangga kursi dengan lemah, seolah seluruh energinya terkuras habis.Juna mengangguk, meski rasa penasarannya semakin membuncah. Dia menancapkan gas mobilnya, meninggalkan area un
"Mami kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?"Suara Papi Tian tiba-tiba memecah keheningan pagi itu, membuat Mami Nissa yang sedang berdiri di balkon tersentak kaget. Jantungnya berdegup kencang.Dengan gerakan cepat, dia menyembunyikan layar ponselnya yang menampilkan percakapan dengan salah satu anak buahnya. Dia tak ingin Papi Tian sampai tahu tentang rencananya. Bisa dipastikan, suaminya itu akan naik pitam.Walaupun terpisah jarak, Mami Nissa selalu ingin memastikan Juna dalam keadaan baik dan tidak kekurangan apa pun. Karena itulah, dia sampai rela menyewa orang untuk membuat skenario seolah-olah Juna memenangkan kuis, hanya demi bisa mengirimkan uang 50 juta ke tangannya.Papi Tian melangkah mendekat, raut wajahnya menyimpan tanya. Mami Nissa berusaha setenang mungkin, menyunggingkan senyum yang dipaksakan."Eh, enggak kok, Pi. Ini Mami lagi lihatin foto-foto lama... Si Juna sama Silvi waktu kecil. Ya ampun, gemesin banget mereka berdua," kilahnya, berusaha meyakinkan. Dengan sigap
"Anggap saja kita akan bermain kuis, Mas," jawab Om Ipil, senyumnya terlalu lebar, nyaris seperti seringai. "Dan kebetulan kuis ini bertujuan untuk bagi-bagi rezeki saja, karena memperingati hari ulang tahun saya.""Benar, Mas, apa kata teman saya. Kami memang sering bagi-bagi rezeki ke orang lain, dan sekarang Mas lah yang sedang beruntung karena berhasil terpilih," tambah Om Upil, nadanya terlalu bersemangat, seperti seorang sales yang berusaha menjual produknya. Dia menepuk-nepuk pundak Juna, terlalu keras, seolah ingin memastikan dia tidak kabur.Juna terdiam sejenak, mencoba mencerna penjelasan kedua pria aneh itu. Otaknya berputar, mencari logika dalam situasi yang absurd ini. Jika memang benar alasannya karena ingin bagi-bagi rezeki, kenapa harus dengan cara seperti ini? Tapi, di sisi lain, dia sangat membutuhkan uang. Menolak rezeki sama dengan menolak pertolongan Allah."Baiklah, aku bersedia," jawab Juna, setelah bergelut dengan pikirannya. Dia mengambil keputusan dengan ber
"Love, aku ...." "Selamat pagi, anak-anak." Suara bariton seorang dosen pria tiba-tiba memecah keheningan kelas. Sosoknya yang tegap dan berwibawa baru saja memasuki ruangan, membawa setumpuk buku di tangannya. "Ayo, duduk di kursi masing-masing, kita akan mulai kelas pagi ini." Ucapan Silvi tertelan begitu saja. Dia merasakan jantungnya berdegup semakin kencang, bercampur antara rasa gugup dan kecewa. Kehadiran dosen itu menggagalkan niatnya untuk berbicara dengan Love saat ini. Mau tidak mau, Silvi pun mengurungkan niatnya. Dengan langkah gontai, dia segera menuju kursinya dan duduk. Matanya masih sesekali melirik ke arah Love, yang tampak menghindari tatapannya. 'Nanti saja deh, pas istirahat,' batin Silvi, mencoba menenangkan diri. Dia berharap, saat istirahat nanti, Love bersedia mendengarkannya. Dia sudah menyiapkan kata-kata yang akan diucapkannya, berharap Love bisa mengerti dan memaafkannya. * * Di tempat berbeda. Setelah membeli dua ponsel pintar terbaru, satu