"Maaf Opa, tapi Silvinya yang belum siap." Karena sudah terlanjur ketahuan, akhirnya aku memilih untuk jujur, meskipun wajahku terasa panas karena malu.
"Belum siap gimana?" Opa tampak tak mengerti, dahinya berkerut dalam."Ya belum siap begituan sama aku," jawabku lirih, berusaha menghindari tatapan tajam Opa."Ah jangan bohong kamu," balas Opa dengan nada tak percaya."Aku serius, Opa. Bahkan kami juga nggak tidur seranjang.""Tapi kok bisa Silvi belum siap?? Bukannya kemarin-kemarin dia ngebet banget mau nikah? Apa jangan-jangan Silvi ini nggak benar-benar mencintaimu, ya?" Nada suara Opa mulai meninggi, terdengar khawatir."Silvi benar-benar cinta kok sama aku. Cuma mungkin dia perlu waktu untuk melakukan itu denganku, ya sejujurnya... aku pun sama," jawabku, berusaha meyakinkan Opa dan diriku sendiri."Ah kalian ini, kayak anak kecil saja! Pakai belum siap segala! Kalau kalian berdua sama-sama belum siap buat anak.."Overdosis obat tidur bisa sangat berbahaya, tergantung pada dosis dan jenis obat yang dikonsumsi. Untungnya, pasien cepat dibawa ke rumah sakit. Dan untuk saat ini, pasien masih dalam pengaruh obat, jadi dia akan merasa sangat lemas dan mengantuk. Namun, secara umum, kondisinya sudah stabil dan kami optimis dia akan segera pulih," jawab dokter tersebut, berusaha meyakinkan mereka dengan senyum tipis yang profesional, namun matanya memancarkan kelelahan.Daddy Irfan dan Mommy Indri menghela napas lega. Beban berat di dada mereka sedikit terangkat, namun bayangan ketakutan masih menari-nari di benak. Mereka tidak ingin kehilangan Friska. Entah bagaimana jadinya jika putri semata wayang mereka itu benar-benar pergi. Dunia mereka pasti akan runtuh."Terima kasih banyak, Dok," kata Daddy Irfan dengan suara serak, mencoba mengukir senyum di bibirnya yang terasa kaku."Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi, dan untuk sementara waktu ... putri Bapak dirawat inap dulu di sini, ya? Kami pe
Di tengah perjalanan, mobil Daddy Irfan mendadak mati. Deru mesin yang tadinya meraung kencang tiba-tiba berhenti. Daddy Irfan menggerutu kesal, "Lagi genting begini bisa-bisanya bensinku habis," umpatnya sambil membanting setir. Dia segera turun dari mobil, membuka bagasi depan dengan kasar, dan benar saja, jarum indikator bensin menunjuk angka nol. "Ada apa, Dad? Kenapa mobilnya?" tanya Mommy Indri, nada suaranya dipenuhi kecemasan saat kaca mobilnya diturunkan. Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca menatap suaminya. "Bensinnya habis, Mom. Kita naik taksi saja, ya?" jawab Daddy Irfan dengan nada frustrasi. "Ya sudah, cepat cari taksi, Dad," desak Mommy Indri, suaranya bergetar. Waktu terasa begitu berharga saat ini. Daddy Irfan langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, matanya liar mencari-cari taksi yang lewat. Jalanan tampak sepi. Saat taksi tak kunjung terlihat, matanya tiba-tiba menangkap sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat yang hendak melintas. Melihat itu, deng
Setelah beberapa menit berlalu, Juna pun akhirnya keluar dari kamar mandi.Uap hangat mengepul tipis, membawa serta aroma sampo dan sabun mandi yang langsung menyegarkan seisi ruangan.Bukan sekadar membersihkan gigi dan bersih-bersih, tapi Juna sengaja mandi lagi. Dia membayangkan sentuhan kulitnya dengan Silvi nanti, dan ingin memastikan tubuhnya terasa segar dan wangi.Sebuah antisipasi itu seketika menggelitik perutnya, membuat jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya."Lho... Dek?" Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar. Wajah cerianya langsung meredup, digantikan kekecewaan yang kentara. Silvi sudah terlelap di atas kasur, meringkuk memeluk guling seperti anak kucing yang kelelahan setelah seharian bermain. "Katanya udah siap tadi bilang, kok malah ditinggal tidur sih, Dek?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri."CK!" Juna berdecak pelan, berusaha menyembunyikan rasa kesalnya. Namun, saat matanya menatap wajah polos Silvi yang tam
"Hidup susah gimana sih, Kak? Segini tuh nggak susah. Kita masih punya uang, punya tempat tinggal ya walau ngontrak. Mobil juga masih punya." Silvi menjawab dengan nada ceria, mencoba menghibur Juna.Dia tak ingin suaminya merasa bersalah, karena dia tahu Juna sudah melakukan yang terbaik untuknya."Iya, kamu benar," Juna mengangguk, senyumnya merekah mendengar jawaban Silvi yang penuh pengertian. Dia juga tak menyangka jika Silvi memiliki pemikiran yang dewasa ini. "Oh ya, berhubungan kontrakan kita masih kosong, bagaimana kalau kita nanti malam belanja buat ngisi perabotannya? Sekalian kita makan di luar juga.""Boleh," jawab Silvi, matanya berbinar. "Aku mau makan di bakso langgananku ya, Kak? Gimana?""Oke. Kakak juga udah lama nggak makan bakso nih, Dek," sahut Juna sambil mengelus perutnya.Setelah mandi dan bersiap-siap, mereka langsung berangkat ke toko furniture. Silvi dengan teliti memilih perabotan rumah tangga, namun dengan satu prinsip: yang penting-penting saja dan harga
Setelah ketiganya masuk bersama ke dalam mobil dan meninggalkan rumah mewah itu, Om Steven mengutarakan rencana barunya, yang intinya adalah:"Dengan begini, kita nggak perlu susah payah cari mereka, jadi biar mereka sendiri yang pulang dan datang ke rumah Papa.""Tapi apa nggak apa-apa? Papa takut nantinya jadi kenyataan, Stev," ucap Opa Angga, merasa ragu sekaligus takut."Insya Allah enggak, Pa. Papa jangan khawatir," kata Om Steven dengan yakin. Keduanya pun mengangguk, tanda telah sepakat.***Juna memasuki ruangan dengan langkah berat bersama Silvi, menyeret dua koper besar di belakangnya. Wajahnya tampak ragu, matanya menyapu sekeliling rumah kontrakan yang sederhana, yang kosong melompong.Dindingnya bercat putih pucat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, lantainya keramik usang dengan motif yang sudah tak jelas, dan hanya ada satu jendela kecil yang menghadap ke depan. Rumah kontrakan ini, akan menjadi tempat tinggal mereka yang baru."Dek ... kamu yakin mau tinggal di r
"Maaf, Pak. Bu Nissa nggak ada di ruangannya." Seorang pria berkemeja rapi, dengan nama berkilauan di dadanya, mendekat dengan langkah cepat namun tetap sopan.Dia adalah manager di restoran itu, orang kepercayaan Mami Nissa yang selalu sigap dalam melayani kebutuhan pelanggannya."Nissa belum ke sini?" tanya Opa Angga, nada suaranya menunjukkan kekecewaan yang mendalam."Betul, Pak." Pria itu mengangguk."Coba kamu telepon dia, tanyakan dia ada di mana sekarang." Opa Angga memerintah, berharap manager itu bisa menjadi jembatan untuk menghubunginya dengan sang putri."Maaf, Pak. Saya nggak enak, takut mengganggu Bu Nissa," jawab Manager itu menolak dengan halus. Dia tahu betul betapa sibuknya Mami Nissa, dan tidak ingin mengganggu waktu berharganya kecuali dalam keadaan mendesak."CK!" Opa Angga berdecak kesal. Jika saja Mami Nissa semudah itu dihubungi, dia tidak akan meminta pria itu untuk melakukannya. Rasa frustrasinya semakin memuncak, merasa seperti terhalang oleh tembok yang ta