Ayo kirimkan gem untuk cerita ini agar naik peringkat! Komen ya jika suka.. luv luv ~ @ novelisdelilah (igey)
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. âTiâtidak!â pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. âAâapa yang terjadi?â Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. âAku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,â ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. âBaâbagaimana kau tahu?â Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. âAâapa?â Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. âBaiklah!â jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. âAku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.â âOke.â Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. âSepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!â âOke!â *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. âSepertinya, aku merasa sesak,â lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. âKau mau pergi dari tempat ini?â tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. âTerima kasih, Bibi!â Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. âSama-sama, Ava!â Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. âKami harus pergi, Ava. Ini untukmu,â ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. âAâapa ini, Pak?â tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. âAnggap saja kado cicilan,â gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. âAhaha! Terima kasih banyak!â seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. âLucu sekali!â pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. âTerima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,â ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. âSama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.âDokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. âKau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!â sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. âTidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!â tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
âTuan! Anda salah dengar!â sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. âApa?!â Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. âSalah dengar, Tuan!ââYa, benar!ââAnak Anda baik-baik saja, Tuan.âSuara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. âKatakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!â hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. âOn .âŠâ panggilnya lirih. âLeâon âŠ.â ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. âArren!â Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. âArren!â Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. âKau ⊠sudah sadar?â tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. âPak! Lebih cepat!â perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. âBaik, Tuan!â Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. âArren, bertahanlah,â pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. âArgh, Leon .âŠâ Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. âKita hampir sampai!â Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,