Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Jika ada pepatah: habis jatuh tertimpa tangga, maka begitulah nasib Arren yang sebenarnya. Sudah beberapa tahun ini, ia kehilangan ibunda tercinta. Ayahnya yang dulunya gagah dan kaya raya, kini tak ubahnya sampah masyarakat karena perangai buruknya: seorang alkoholik dan penjudi akut yang seolah tanpa dosa. Di usianya yang masih belia—19 tahun—Arren harus membanting tulang untuk menafkahi dirinya dan ayah yang tidak bisa bekerja. Pria itu hanya tahu cara berhutang dan menghabiskannya dalam semalam. Nasib Arren benar-benar malang. “Akh ….” Rasa sakit kembali menjalar. Kali ini, Arren merasakannya di area paha dan sebelah kakinya, setelah sebelumnya, hanya denyut di kepala saja yang menyakitinya. “Di mana aku?” Arren menyipitkan mata, memindai setiap benda yang ada di sekitarnya. Gelap. Arren tidak dapat melihat apa-apa. “Errgh ….” Arren mengerang karena tiba-tiba, rasa perih muncul di area vitalnya. Apa yang terjadi? Mengapa dia ada di tempat asing seperti ini? TIba-tiba, pint
"Bagaimana semalam, Tuan? Anda menikmatinya?" tanya Venn, seorang tawanan lain yang ada di mansion Leon. Bedanya, tawanan itu kini menyebut dirinya sebagai selir kesayangan sang tuan. Berbeda dengan Arren yang masih belum mendapatkan pengakuan. "Lumayan. Dia sangat manis dan beraroma mawar," ucap Leon sambil menikmati pijatan Venn. Pria itu merasa lelah, setelah menghabiskan malam dan bertempur bersama di kamar wanita barunya.“Baik ….” Seolah memahami perasaan kekasihnya yang membuncah, Venn berpura-pura bahagia. Separuh hatinya luka, meski tak mengeluarkan darah. Venn tidak terima ketika Leon begitu memuja gadis baru di wilayah kekuasaannya."Apakah anda ingin ronde kedua? Tuan?" goda Venn sambil menanggalkan seluruh pakaiannya. Venn yang berusia matang, tentu saja memiliki keahlian lain ketimbang Arren yang masih perawan. Mereka berdua adalah wanita dengan level yang berbeda."Tidak. Pijat saja aku, lelah sekali semalam, bertempur dengan kucing hutan," tolak Leon sambil tersenyum
Mata biru, rahang keras, bibir tebal dan kulit putih yang kecokelatan membuat penampilan pria di hadapan Arren begitu mempesona. Wajahnya sangat tampan. Tatapannya pun memancarkan gairah yang sukar dijelaskan. “Sudah puas mengamati wajahku?” Satu hal. Suara itu. Suara yang sangat dibenci oleh Arren. Suara yang selalu menyakiti hati dan alat vitalnya selama beberapa waktu. “BAJINGAN!” Arren menggeram kemudian hampir menyundulkan kepala untuk mengusirnya, sayangnya … pria itu sangat lihai dalam menyiksanya lagi dan lagi. “Tenanglah, nanti infusmu copot!” Leon menahan dahi Arren yang hendak dihentakkan kepadanya. Hangat. Telapak tangan pria itu begitu kontras dengan kondisi Arren yang dingin dan pucat. “Lepaskan!” Arren menggelengkan kepala, berusaha menjauhkan diri dari sentuhan pria tadi. Untuk sesaat, Arren baru menyadari bahwa ada banyak selang yang terhubung pada tubuhnya. Kamarnya pun tidak lagi suram. Semuanya tampak terawat dengan baik. Wajahnya … ketika Arren melihat ke
“Katakan! Apa yang terjadi semalam?” Venn, selir Leon, mendesak mata-mata yang ada di rumah utama untuk menceritakan segalanya. Sudah beberapa hari ini, Leon tidak tampak mengunjunginya di Paviliun Barat. Pria itu sibuk dengan tikus jalanan yang baru saja dipungutnya, Arren. “Nona muda itu sakit, Nyonya. Jadi … tuan merawatnya,” ucap pelayan itu dengan gemetar. Ia takut salah bicara. Rahang Venn mengeras. Bangunan ini begitu sepi tanpa malam panas dengan sang pujaan hati. “Untuk apa kau memberiku rumah seperti ini jika tanpa kita tinggali, Tuan?” Venn menggumam. Hatinya begitu sakit mendengar bahwa Leon seolah melupakan segala hal tentangnya. Awalnya, Leon adalah miliknya seorang. Sekarang? Venn harus rela berbagi kekasih dengan gadis asing yang bahkan tak dikenalnya. “Besok! Besok undang dia untuk pesta teh. Kau harus menyampaikannya pada si pelayan pribadi. Mengerti?” “Pe–pesta teh?” Pelayan itu terkesiap. Keringat dingin segera mengucur dari dahinya. “Ya! Kau mengerti, kan,