MasukKeesokan harinya Dirga duduk di kursinya, menatap dokumen di mejanya. Hana masih bekerja, menunggu penggantinya. Tapi mencari pengganti yang sepadan ternyata lebih sulit dari yang ia kira.
Pintu ruangannya terbuka. Rio masuk dengan wajah lesu.
"Pak, saya punya kabar buruk," ujar Rio.
Dirga menghela napas. "Katakan saja."
"Wanita itu... dia menolak tawaran kita," jawab Rio.
Dirga terdiam. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja.
"Apa?!" bentak Dirga, berusaha meredam amarahnya. "Bagaimana bisa dia menolak?! Apa kau sudah menjelaskan semua keuntungannya?!"
"Sudah, Pak. Tapi dia tetap menolak. Dia bilang dia tidak berminat dengan pekerjaan yang bukan kemampuannya," jawab Rio.
Dirga membuang napas kasar. Ia berjalan ke jendela, membelakangi Rio.
"Untuk mengatasi satu wanita saja kau tidak mampu, Rio?!" tanya Dirga dingin. "Apa aku harus turun tangan sendiri untuk mencari pengganti Hana?!"
Rio menundukkan kepalanya. "Maafkan saya, Pak. Saya sudah gagal."
Dirga berbalik, menatap Rio dengan tajam. "Lalu, apa rencanamu sekarang?"
"Saya akan terus mencari kandidat lain, Pak," jawab Rio. "Saya janji, saya akan menemukan pengganti Hana secepat mungkin."
Dirga terdiam sejenak. Kemudian, ia menghela napas panjang.
"Baiklah, Rio," ujar Dirga. "Aku beri kau satu minggu. Jika kau tidak bisa menemukan pengganti Hana dalam waktu satu minggu, aku akan turun tangan sendiri."
"Baik, Pak," jawab Rio.
Dirga kembali duduk di kursinya. Ia memijat pelipisnya. Ia merasa frustrasi dan marah.
"Sial," gumam Dirga pelan.
Dirga menghela napas berat setelah Rio meninggalkan ruangannya. Ia menyandarkan bahunya ke kursi besar, merasakan beban yang kian menumpuk. Pekerjaan menggunung menunggu untuk diselesaikan, Hana yang tiba-tiba mengundurkan diri, dan kini ia harus mencari tahu siapa yang memasukkan obat perangsang ke dalam minumannya—hingga menyebabkan malam kacau bersama wanita asing yang identitasnya masih misteri.
Tiba-tiba, dering ponsel memecah kesunyian. Dirga mengangkatnya, melihat nama ‘Mama’ terpampang di layar. Suaranya agak berat saat menjawab, "Halo, Ma.."
"Dirga, kapan kamu pulang? Sudah dua minggu kamu menghilang, tinggal di apartemen itu," suara sang mama terdengar tegas, tapi ada getar kekhawatiran yang terselip di balik nada kerasnya.
Dirga menghela napas panjang, menatap langit kelabu di balik jendela. "Aku masih sibuk, Ma. Banyak yang harus kuselesaikan di kantor."
"Kamu harusnya tahu batasmu," suara Mama menjadi lebih tegas. "Sudah waktunya kamu menikah, Dirga. Jangan sampai perusahaan jatuh ke tangan adikmu itu. Mama takut dia akan mengambil alih semuanya."
Dirga menutup mata sejenak, rasa muak mengalir di dadanya. Sejak lama, tekanan itu hadir. Tekanan untuk menjadi pewaris sempurna, untuk menjalankan harapan keluarga besar yang selalu membayangi setiap langkahnya.
"Aku tahu, Mama. Tapi aku punya alasan," jawabnya pelan, suaranya bergetar sedikit. "Aku akan pulang malam ini."
"Sampai kapan kamu mau menunggu Helen itu? Sudah Mama bilang berkali-kali, dia bukan wanita yang pantas untukmu!" desak Mama. "Lupakan dia dan carilah kekasih lain yang lebih layak. Mama tidak mau masa depan perusahaan ini terganggu hanya karena kamu bertahan pada wanita yang salah."
Dirga menutup mata sejenak, merasakan tekanan yang tak henti itu. Sejak lama, Mama selalu menolak Helen—wanita yang kini menjadi satu-satunya alasan ia belum menikah. Tapi baginya, Helen lebih dari sekadar model luar negeri; dia adalah cinta dan harapannya, meski jarak dan waktu memisahkan.
"Aku mengerti, Mama," jawab Dirga pelan. "Tapi aku gak bisa membohongi hati sendiri. Aku masih menunggu Helen."
"Sulitmu itu bukan alasan untuk menunda hidupmu, Dirga," suara Mama meninggi. "Jika kau tak segera bertindak, Mama takut perusahaan ini akan jatuh ke tangan adikmu. Mama tak ingin itu terjadi."
Setelah menutup telepon, Dirga menatap ke cermin di sudut ruangan. Matanya tajam, penuh tekad. Di balik sosok pria sukses dan dingin ini, tersembunyi kisah yang tak semua orang tahu—kisah tentang pengorbanan, cinta yang tertunda, dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Dirga menatap cermin di sudut ruangan, matanya penuh tekad tapi juga ada keraguan.
Dirga berjalan menatap keluar jendela, matahari mulai meredup di balik gedung-gedung tinggi. Suara Mama masih bergema di telinganya, menyesakkan dada. Ia tahu betul bahwa tekanan itu bukan sekadar soal bisnis, melainkan harapan dan ambisi keluarga yang melekat padanya sejak kecil.
Pikirannya melayang pada Helen—wanita yang selama ini menjadi alasan kuatnya bertahan menunda pernikahan. Dirga teringat senyum lembutnya, suara tawa yang menghangatkan hati, dan tekadnya untuk sukses di negeri orang. Tapi jarak dan waktu membuat segalanya terasa rapuh.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal: "Aku tahu rahasiamu, Dirga. Jangan anggap semuanya berjalan mulus."
Detak jantungnya melonjak. Siapa pengirim pesan itu? Apa maksudnya? Ada sesuatu yang tersembunyi di balik bayang-bayang kehidupannya, sesuatu yang bisa mengguncang dunia yang telah ia bangun.
Dirga menatap layar ponsel dengan mata penuh waspada. Dunia yang selama ini ia kendalikan mulai retak, dan ia sadar—pertarungan sebenarnya baru saja dimulai.
Dirga menatap pesan itu berulang kali, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Akhir-akhir ini, ia merasa setiap langkahnya diawasi oleh sosok yang tak ia kenal. Ada bayang-bayang yang terus mengintai, mengamati gerak-geriknya tanpa suara.
Selama ini, Dirga dikenal sebagai CEO berdarah dingin—pria yang dingin, penuh perhitungan, dan hampir mustahil disentuh. Namun kini, rasa aman itu mulai terkikis. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya waspada seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia menatap keluar jendela, kota yang gemerlap seolah menyembunyikan rahasia gelap di balik cahaya. Dirga tahu, perjalanannya tak lagi hanya soal bisnis atau cinta. Ada pertarungan baru yang menunggu, dan ia harus siap menghadapi siapa pun yang mencoba mengusiknya.
Siapakah Dirga sebenarnya? Apa yang membuatnya bertahan di tengah badai yang terus menerpa? Jawaban itu masih tersembunyi, tapi satu hal jelas: hidupnya akan berubah selamanya.
Saat Delisa berjalan menuju meja akad, jantung Reno berdegup kencang. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang selama ini ia cintai akan menjadi kakak iparnya. Sungguh ironi takdir yang tak terduga. Reno yang berusaha keras mendekati Delisa, namun Dirga yang menikahinya."Tidak mungkin," gumam Reno dalam hati. "Ini pasti mimpi buruk."Reno merasakan dadanya sesak. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa sangat terpukul dan hancur. Ia merasa semua usahanya untuk mendekati Delisa selama ini sia-sia belaka. Ia merasa takdir begitu kejam kepadanya.Ia ingat bagaimana dulu ia selalu berusaha mencari perhatian Delisa. Ia selalu berusaha membuat Delisa tertawa. Ia selalu berusaha membantu Delisa dalam segala hal. Namun, semua usahanya itu tidak pernah membuahkan hasil.Delisa selalu menganggapnya hanya sebagai teman biasa. Tidak lebih.Dan sekarang, Delisa akan menjadi istri kakaknya. Delisa akan menjadi bagian dari keluarg
Hari ini, pernikahan Dirga dan Delisa akhirnya dilaksanakan di kediaman orang tua Dirga. Suasana rumah itu terasa suram dan tegang. Tidak ada dekorasi mewah atau pesta meriah. Hanya ada beberapa anggota keluarga inti yang hadir, itupun dengan wajah yang muram dan tanpa senyum.Lima ratus juta rupiah. Angka yang tertera dalam buku nikah itu terasa seperti vonis hukuman seumur hidup bagi Delisa. Di antara gemerlap dekorasi pernikahan yang dipaksakan, ia merasa seperti tahanan yang dipaksa menikah dengan algojonya.Winata Adiwangsa, sang patriark keluarga, duduk di kursi roda, matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. "Maafkan Papa, " bisiknya lirih, "Papa hanya ingin yang terbaik untuk kalian." Namun, kata-kata itu terasa hampa di telinga Dirga.Di hadapan meja akad, Dirga Adiwangsa duduk dengan wajah sekeras batu. Jas hitam yang dikenakannya terasa seperti baju besi yang melindungi hatinya dari sentuhan apa pun.Delisa, batinnya berteriak,
Setelah pertemuan yang menyesakkan dengan Dirga di rumah sakit siang tadi, Delisa memutuskan untuk mampir ke sebuah kafe sepulang dari kantor. Ia berharap secangkir kopi dan suasana yang tenang dapat membantu menjernihkan pikirannya yang kalut. Namun, sepertinya dewi fortuna enggan berpihak padanya.Saat Delisa tengah menikmati kopinya, matanya menangkap sosok yang sangat familiar. Sosok itu adalah Andre, mantan kekasihnya yang telah mengkhianatinya dengan sahabatnya sendiri, Sandra. Jantung Delisa berdegup kencang, dadanya terasa sesak. Ia berusaha untuk tidak memperdulikan keberadaan Andre dan fokus pada kopinya.Namun, sepertinya takdir sedang mempermainkannya. Delisa melihat Andre berlutut di hadapan Sandra, mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi cincin berlian. Delisa tersentak kaget. Ia tidak menyangka jika Andre akan melamar Sandra di kafe ini, di tempat yang sama di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama.Suasana di kafe itu tiba-tiba berubah
Delisa terdiam sejenak di taman rumah sakit, menimbang-nimbang permintaan Dirga. Permintaan untuk merahasiakan pernikahan mereka. Ia merasa ada yang janggal, tapi ia tak punya pilihan. "Baiklah," ucap Delisa dengan nada pasrah. "Saya mengerti. Saya berjanji, saya tidak akan memberitahukan pernikahan ini kepada siapa pun."Dirga mengangguk, merasa sedikit lega. Beban di pundaknya seakan sedikit terangkat. "Terima kasih," ucap Dirga singkat. "Saya tahu, saya dapat mengandalkan kamu." Ia menatap Delisa, tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa bersalah, tapi juga ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang bahkan Dirga sendiri tidak bisa pahami.Delisa balas menatap Dirga, tatapannya penuh tanya. "Saya hanya ingin mengetahui satu hal," ucap Delisa lirih. "Apakah... apakah Bapak akan mencintai saya?"Dirga terdiam. Pertanyaan itu membuatnya kalut. Ia tidak punya jawaban. Ia tidak punya keinginan untuk mencintai Delisa, tapi ia juga tidak ingin menyakiti wanita itu lebih jauh.
Keesokan hari, Winata akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Ia membuka matanya perlahan dan menatap sekeliling dengan pandangan lemah."Papa!" seru Karina dengan nada lega, menggenggam erat tangan suaminya. "Syukurlah, Papa sudah sadar. Bagaimana perasaan Papa?"Winata tersenyum tipis dan berusaha berbicara, namun suaranya sangat lemah. "Aku... baik-baik saja," ucap Winata dengan terbata-bata. "Apa kamu sudah memberitahukan Dewi? Di mana Dirga?"Dirga segera mendekat ke sisi ranjang ayahnya. "Aku di sini, Papa, Tante Dewi sudah ku hubungi dan sebentar lagi dia datang." ucap Dirga cemas. "Bagaimana perasaan Papa? Apa ada yang sakit?"Winata menatap Dirga dengan tatapan serius. "Dirga, ada yang ingin Papa bicarakan padamu," ucap Winata dengan suara lemah, namun penuh dengan penekanan.Karina mengerutkan kening. "Papa, jangan bicara yang berat-berat dulu," ucap Karina dengan k
Helen tersenyum sinis. "Cinta?" ucap Helen. "Apa kau tahu apa arti cinta? Cinta itu adalah kesetiaan, kejujuran, dan kepercayaan. Kau tidak memiliki semua itu, Dirga. Kau hanya memiliki kebohongan dan pengkhianatan."Helen berbalik dan berjalan menuju pintu keberangkatan internasional. Didalam taksi tadi dia sudah memesan tiket untuk kembali ke luar negeri, beruntung dia mendapatkannya di detik-detik terakhir keberangkatan. Ia tidak menoleh ke belakang. Ia tidak ingin melihat Dirga lagi.Dirga berusaha mengejar Helen, namun langkahnya terhenti. Ia merasa kakinya lemas dan tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa terpaku di tempatnya, menatap Helen yang semakin menjauh."Helen! Jangan pergi!" teriak Dirga putus asa.Namun, Helen tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan menuju pintu keberangkatan internasional, meninggalkan Dirga yang terpaku dalam penyesalan.Dirga berlutut di lantai de







