LOGINHelen tersenyum sinis. "Cinta?" ucap Helen. "Apa kau tahu apa arti cinta? Cinta itu adalah kesetiaan, kejujuran, dan kepercayaan. Kau tidak memiliki semua itu, Dirga. Kau hanya memiliki kebohongan dan pengkhianatan."
Helen berbalik dan berjalan menuju pintu keberangkatan internasional. Didalam taksi tadi dia sudah memesan tiket untuk kembali ke luar negeri, beruntung dia mendapatkannya di detik-detik terakhir keberangkatan. Ia tidak menoleh ke belakang. Ia tidak ingin melihat Dirga lagi.
Dirga berusaha mengejar Helen, namun langkahnya terhenti. Ia merasa kakinya lemas dan tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa terpaku di tempatnya, menatap Helen yang semakin menjauh.
"Helen! Jangan pergi!" teriak Dirga putus asa.
Namun, Helen tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan menuju pintu keberangkatan internasional, meninggalkan Dirga yang terpaku dalam penyesalan.
Dirga berlutut di lantai de
Setelah pertemuan yang menyesakkan dengan Dirga di rumah sakit siang tadi, Delisa memutuskan untuk mampir ke sebuah kafe sepulang dari kantor. Ia berharap secangkir kopi dan suasana yang tenang dapat membantu menjernihkan pikirannya yang kalut. Namun, sepertinya dewi fortuna enggan berpihak padanya.Saat Delisa tengah menikmati kopinya, matanya menangkap sosok yang sangat familiar. Sosok itu adalah Andre, mantan kekasihnya yang telah mengkhianatinya dengan sahabatnya sendiri, Sandra. Jantung Delisa berdegup kencang, dadanya terasa sesak. Ia berusaha untuk tidak memperdulikan keberadaan Andre dan fokus pada kopinya.Namun, sepertinya takdir sedang mempermainkannya. Delisa melihat Andre berlutut di hadapan Sandra, mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi cincin berlian. Delisa tersentak kaget. Ia tidak menyangka jika Andre akan melamar Sandra di kafe ini, di tempat yang sama di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama.Suasana di kafe itu tiba-tiba berubah
Delisa terdiam sejenak di taman rumah sakit, menimbang-nimbang permintaan Dirga. Permintaan untuk merahasiakan pernikahan mereka. Ia merasa ada yang janggal, tapi ia tak punya pilihan. "Baiklah," ucap Delisa dengan nada pasrah. "Saya mengerti. Saya berjanji, saya tidak akan memberitahukan pernikahan ini kepada siapa pun."Dirga mengangguk, merasa sedikit lega. Beban di pundaknya seakan sedikit terangkat. "Terima kasih," ucap Dirga singkat. "Saya tahu, saya dapat mengandalkan kamu." Ia menatap Delisa, tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa bersalah, tapi juga ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang bahkan Dirga sendiri tidak bisa pahami.Delisa balas menatap Dirga, tatapannya penuh tanya. "Saya hanya ingin mengetahui satu hal," ucap Delisa lirih. "Apakah... apakah Bapak akan mencintai saya?"Dirga terdiam. Pertanyaan itu membuatnya kalut. Ia tidak punya jawaban. Ia tidak punya keinginan untuk mencintai Delisa, tapi ia juga tidak ingin menyakiti wanita itu lebih jauh.
Keesokan hari, Winata akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Ia membuka matanya perlahan dan menatap sekeliling dengan pandangan lemah."Papa!" seru Karina dengan nada lega, menggenggam erat tangan suaminya. "Syukurlah, Papa sudah sadar. Bagaimana perasaan Papa?"Winata tersenyum tipis dan berusaha berbicara, namun suaranya sangat lemah. "Aku... baik-baik saja," ucap Winata dengan terbata-bata. "Apa kamu sudah memberitahukan Dewi? Di mana Dirga?"Dirga segera mendekat ke sisi ranjang ayahnya. "Aku di sini, Papa, Tante Dewi sudah ku hubungi dan sebentar lagi dia datang." ucap Dirga cemas. "Bagaimana perasaan Papa? Apa ada yang sakit?"Winata menatap Dirga dengan tatapan serius. "Dirga, ada yang ingin Papa bicarakan padamu," ucap Winata dengan suara lemah, namun penuh dengan penekanan.Karina mengerutkan kening. "Papa, jangan bicara yang berat-berat dulu," ucap Karina dengan k
Helen tersenyum sinis. "Cinta?" ucap Helen. "Apa kau tahu apa arti cinta? Cinta itu adalah kesetiaan, kejujuran, dan kepercayaan. Kau tidak memiliki semua itu, Dirga. Kau hanya memiliki kebohongan dan pengkhianatan."Helen berbalik dan berjalan menuju pintu keberangkatan internasional. Didalam taksi tadi dia sudah memesan tiket untuk kembali ke luar negeri, beruntung dia mendapatkannya di detik-detik terakhir keberangkatan. Ia tidak menoleh ke belakang. Ia tidak ingin melihat Dirga lagi.Dirga berusaha mengejar Helen, namun langkahnya terhenti. Ia merasa kakinya lemas dan tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa terpaku di tempatnya, menatap Helen yang semakin menjauh."Helen! Jangan pergi!" teriak Dirga putus asa.Namun, Helen tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan menuju pintu keberangkatan internasional, meninggalkan Dirga yang terpaku dalam penyesalan.Dirga berlutut di lantai de
Rio menatap Delisa dengan tatapan iba, dia sudah menebak apa yang sudah terjadi melihat dari penampilan delisa yang berantakan, serta banyaknya kissmark di lehernya, merasa kasihan pada wanita itu yang telah menjadi korban keegoisan Dirga. "Delisa, mengapa bisa begini," ucap Rio dengan nada menenangkan, menghampiri Delisa.Saat Delisa bingung harus menjelaskan semuanya dari mana, tiba-tiba terdengar suara sirine ambulans yang semakin mendekat. Rio dan Delisa segera bersiap-siap membawa Winata bersama tim medis.Di sisi lain, Dirga dengan secepat kilat menyusul Helen yang telah masuk ke dalam taksi tanpa memperdulikan penampilannya yang begitu acak acakan setidaknya masih waras masih sempat menegnakan celana panjang serta kemeja walau nampak kusut. Ia melihat taksi itu melaju dengan kecepatan tinggi, seolah ingin menjauhkan Helen darinya sejauh mungkin.Dirga bergegas menuju mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan ting
Winata menatap Dirga dengan tatapan penuh amarah dan kekecewaan. "Jawab Papa, Dirga! Apa yang sudah kau lakukan?" Suara Winata menggelegar, memecah keheningan apartemen.Dirga terkejut mendengar bentakan Ayahnya. Jantungnya berdegup kencang, seperti genderang yang dipukul bertalu-talu. Ia menoleh ke arah Winata dengan wajah pucat pasi. Ia tahu, ia akan mendapatkan masalah besar. Masalah yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya."Papa... ini tidak seperti yang Papa lihat," ucap Dirga dengan suara bergetar, berusaha membela diri. Ia merasa lidahnya kelu, tidak mampu mengeluarkan kata-kata yang tepat.Winata tertawa sinis, tawa yang dipenuhi dengan kekecewaan dan kemarahan. "Tidak seperti yang Papa lihat?" ucap Winata, tatapannya menghunus tajam ke arah Dirga. "Lalu apa? Apa kau sedang mengadakan pesta di sini dengan sekretarismu tanpa mengenakan pakaian? Apa ini yang kau sebut dengan profesionalitas, Dirga?"&n







