LOGINDelisa melangkah dengan penuh semangat ke kantor Jaya Sentosa. Panggilan wawancara ini bagaikan setitik cahaya di tengah kegelapan yang melandanya. Ia berharap, pekerjaan ini akan menjadi jembatan menuju kesuksesan, membuktikan bahwa ia mampu bangkit dari keterpurukan dan meraih impiannya.
Semalam, ia sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Ia mempelajari profil perusahaan, berlatih menjawab pertanyaan wawancara, dan memilih pakaian yang profesional namun tetap menunjukkan karakternya. Ia yakin, dengan kemampuan dan pengalamannya, ia bisa meyakinkan pihak HRD bahwa ia adalah kandidat yang tepat untuk posisi manajer yang ia lamar.
Namun, senyumnya memudar saat berhadapan dengan Bapak Handoko. Kabar mengejutkan.
"Delisa, kami terkesan dengan kemampuanmu. Namun, kami menawarkan posisi sekretaris CEO," ujar Bapak Handoko, menyesal.
Delisa tertegun. Sekretaris? Bukan manajer? Ia merasa seperti disambar petir di siang bolong. Semua persiapan dan harapan yang ia bangun selama ini runtuh dalam sekejap.
"Sekretaris?" tanya Delisa, tak percaya. "Tapi, saya melamar sebagai manajer! Saya punya pengalaman!"
Bapak Handoko menghela napas. "Kami tahu, Delisa. Tapi, posisi manajer sedang tidak tersedia. Kami butuh sekretaris kompeten. Kami yakin Anda orang yang tepat."
"Tapi, saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris," bantah Delisa. "Saya seorang manajer. Saya terbiasa mengambil keputusan strategis, memimpin tim, dan mencapai target. Menjadi sekretaris bukanlah passion saya."
"Kami mengerti, Delisa. Tapi, posisi sekretaris CEO di Jaya Sentosa bukanlah pekerjaan yang remeh. Anda akan berinteraksi langsung dengan CEO, terlibat dalam pengambilan keputusan penting, dan memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang," jelas Bapak Handoko. "Selain itu, kami menawarkan nominal gaji yang tinggi, jauh di atas rata-rata gaji sekretaris di perusahaan lain."
Delisa terdiam. Ia memang membutuhkan pekerjaan, dan gaji yang ditawarkan Jaya Sentosa sangat menggiurkan. Dengan gaji sebesar itu, ia bisa melunasi hutang-hutangnya, membayar sewa apartemen, dan memulai hidup baru.
Namun, di sisi lain, ia merasa kecewa dan frustrasi. Ia tidak ingin menjadi sekretaris. Ia ingin menjadi manajer, memimpin tim, dan mencapai kesuksesan dengan kemampuannya sendiri. Menjadi sekretaris bukanlah impiannya.
"Saya butuh waktu untuk berpikir," ujar Delisa akhirnya. "Pekerjaan ini memang menawarkan gaji yang tinggi, tapi tetap saja itu bukan pekerjaan yang saya kuasai dan inginkan."
"Tentu, Delisa. Kami mengerti," jawab Bapak Handoko. "Kami akan memberikan waktu satu hari untuk Anda mempertimbangkan tawaran ini. Kami harap Anda bisa membuat keputusan yang terbaik untuk diri Anda."
Setelah keluar dari ruang HRD, Delisa merasa hancur dan bingung. Ia duduk di taman dekat kantor, mencoba menenangkan diri dan menjernihkan pikirannya.
Apakah ia harus menerima tawaran ini? Gaji yang tinggi memang sangat menggoda, tapi apakah ia akan bahagia menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan passion-nya? Atau, apakah ia harus menolak tawaran ini dan terus mencari pekerjaan sebagai manajer, meskipun peluangnya semakin tipis?
Delisa merasa terjebak dalam dilema yang sulit. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia membutuhkan pekerjaan, tapi ia juga tidak ingin mengorbankan impiannya.
Tiba-tiba, ia teringat pada pesan yang pernah ia baca di internet: "Jangan pernah mengorbankan kebahagiaanmu demi uang. Uang bisa dicari, tapi kebahagiaan tidak bisa dibeli."
Cukup lama Delisa merenungkan pilihannya, duduk termenung di bangku taman. Matahari mulai condong ke barat, memancarkan sinar keemasan yang hangat, namun hatinya masih terasa dingin dan bimbang. Tawaran pekerjaan sebagai sekretaris dengan gaji tinggi terus berputar di benaknya, beradu dengan impiannya untuk menjadi seorang manajer sukses.
Hingga suara dering ponsel menyadarkan lamunannya. Ia meraih ponselnya dan melihat nama "Andre" terpampang di layar. Jantungnya berdegup kencang, amarah dan kebencian kembali membuncah dalam dirinya.
Sudah berkali-kali Andre mencoba meneleponnya sejak Delisa mengirimkan bukti-bukti kejahatannya di grup WA kemarin. Entah apa yang ingin dikatakan Andre padanya. Mungkin ia ingin meminta maaf, atau mungkin ia ingin mengancamnya.
Namun, Delisa sama sekali tidak berniat untuk menjawab telepon dari lelaki brengsek itu. Ia tidak ingin mendengar suara Andre, tidak ingin melihat wajahnya, tidak ingin berurusan lagi dengannya. Ia ingin melupakan Andre dan semua kenangan buruk tentangnya.
Delisa mematikan nada dering ponselnya dan meletakkannya kembali kedalam tas. Mengabaikan panggilan dari Andre, berusaha untuk fokus pada masalah yang lebih penting: keputusannya tentang tawaran pekerjaan di Jaya Sentosa.
Namun, panggilan dari Andre seolah membangkitkan kembali luka lama yang belum sembuh. Ia teringat pada semua perbuatan jahat Andre padanya: pengkhianatan, kebohongan, dan penghancuran kariernya. Ia merasa marah dan sakit hati, tapi ia juga merasa kasihan pada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu bodoh dan naif hingga bisa diperdaya oleh Andre?
Delisa menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran negatif itu. Ia tidak boleh terus terpuruk dalam masa lalu. Ia harus move on dan membangun masa depannya.
Delisa meraih kembali ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Ia mengetik pesan singkat untuk Andre: "Jangan pernah menghubungiku lagi. Aku tidak ingin berurusan dengan pria brengsek sepertimu."
Setelah mengirimkan pesan singkat kepada Andre, Delisa langsung memblokir nomor lelaki itu. Ia merasa sedikit lega, seolah telah memutus rantai yang mengikatnya pada masa lalu yang kelam.
Ia kembali fokus pada dilema yang sedang dihadapinya: menerima tawaran pekerjaan sebagai sekretaris di Jaya Sentosa atau menolaknya dan terus mencari posisi manajer yang sesuai dengan passion-nya.
Tanpa sepengetahuan Delisa, ada sepasang mata mengawasinya dari lantai atas gedung perkantoran itu. Tatapan intens dan sulit diartikan.
tikan.
Delisa melangkah dengan penuh semangat ke kantor Jaya Sentosa. Panggilan wawancara ini bagaikan setitik cahaya di tengah kegelapan yang melandanya. Ia berharap, pekerjaan ini akan menjadi jembatan menuju kesuksesan, membuktikan bahwa ia mampu bangkit dari keterpurukan dan meraih impiannya.Semalam, ia sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Ia mempelajari profil perusahaan, berlatih menjawab pertanyaan wawancara, dan memilih pakaian yang profesional namun tetap menunjukkan karakternya. Ia yakin, dengan kemampuan dan pengalamannya, ia bisa meyakinkan pihak HRD bahwa ia adalah kandidat yang tepat untuk posisi manajer yang ia lamar.Namun, senyumnya memudar saat berhadapan dengan Bapak Handoko. Kabar mengejutkan."Delisa, kami terkesan dengan kemampuanmu. Namun, kami menawarkan posisi sekretaris CEO," ujar Bapak Handoko, menyesal.Delisa tertegun. Sekretaris? Bukan manajer? Ia merasa seperti disambar petir di siang bolong. Semua persiapan dan harapan yang ia bangun selama ini runtuh dal
Namun, sebelum membalas dendam pada Andre, ia harus menghadapi dulu teman-teman kerjanya yang telah menyebarkan aibnya. Ia membuka kembali grup WA dan mulai mengetik pesan. Saatnya menunjukkan pada mereka siapa aku sebenarnya.Delisa:"Kalian semua puas sekarang? Sudah puas menghina dan merendahkan aku?"Beberapa saat kemudian, Santi membalas pesannya.Santi:"Lho, kenapa marah-marah? Kan kenyataannya begitu. Lagian siapa suruh keluar hotelNamun, sebelum membalas dendam pada Andre, ia akan menunjukkan dulu kepada teman-teman kerjanya siapa Andre sebenarnya. Ia membuka kembali grup WA dan mulai mengetik pesan.Delisa:"Kalian semua sibuk menghina aku? Kalian tahu apa yang sebenarnya terjadi? Kalian tahu siapa yang sebenarnya menjijikkan di sini?"Santi langsung membalas dengan sinis.Santi:"Oh, mau cuci tangan sekarang? Telat, Sayang. Bukti sudah tersebar di mana-mana."Delisa tersenyum sinis. Justru itu yang ia inginkan.Delisa:"Bukti? Kalian mau bukti? Oke, aku kasih bukti."Delisa kem
Dirga tiba di restoran mewah itu, lampu kota berkelap-kelip seperti bintang jatuh. Tapi di hatinya, hanya ada dingin dan gelap. Prisil sudah menunggunya, tersenyum manis. Topeng yang menjijikkan.Dirga duduk di hadapannya tanpa basa-basi, tatapannya tajam dan menusuk. "Kau memintaku datang ke sini, Prisil. Katakan apa yang sebenarnya ingin kau katakan," ucap Dirga dengan nada dingin, seperti bongkahan es yang membeku. Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.Prisil menghela napas dramatis. "Dirga, aku sangat khawatir padamu semalam. Kau menghilang tiba-tiba setelah minum koctail yang kubuatkan. Aku mencarimu ke mana-mana, takut kau diculik atau terjadi sesuatu yang buruk padamu."Dirga menatap Prisil dengan tatapan menyelidik. "Kau mencariku? Tapi mengapa aku tidak melihatmu? Kau tahu betul aku tidak suka dibohongi, Prisil." Kau pikir aku bodoh?"Aku sudah mencarimu di seluruh pesta, bahkan sampai ke toilet dan taman," jawab Prisil dengan nada meyakinkan, tapi matanya tidak berani men
Dirga kembali ke kantor pagi itu dengan perasaan lega sekaligus bingung. Efek obat perangsang sudah hilang, menyisakan rasa lelah dan sedikit mual. Tapi yang lebih mengganggunya adalah bayangan wanita di kamar hotel itu. Ia mencoba melupakannya, menganggapnya sebagai kesalahan satu malam yang tidak perlu dipikirkan lebih lanjut. Tapi bayangan tanda lahir berbentuk bulan sabit di punggung wanita itu terus menghantuinya, muncul setiap kali ia mencoba memejamkan mata. Mengapa tanda itu terasa begitu familiar?Salahnya memang yang langsung menarik wanita itu saat berdiri di depan kamarnya. Efek obat perangsang mengalir deras dalam darahnya, mengalahkan logika dan akal sehatnya. Ia tidak memberi wanita itu kesempatan untuk berbicara, tidak bertanya siapa namanya, tidak peduli siapa dia sebenarnya. Ia hanya tahu bahwa ia membutuhkan penawar, dan wanita itu ada di sana, siap untuk dijadikan pelampiasan."Pak Dirga?" suara Rio membuyarkan lamunannya. "Anda baik-baik saja? Anda tampak linglung
Delisa menggeliat, berusaha melepaskan diri dari mimpi buruk yang mencengkeramnya. Kepalanya berdenyut, ribuan jarum menusuk otaknya. Ia membuka mata, terkejut. Kamar asing. Bukan apartemennya yang sederhana, bukan pula kamar kos sahabatnya. Mewah, antik, lukisan mahal. Tapi kemewahan itu justru membuatnya merasa semakin asing dan takut.Ia mencoba mengingat. Bayangan itu datang sedikit demi sedikit, seperti kepingan puzzle. Bir beberapa gelas di bar hotel, berusaha melupakan pengkhianatan mantan kekasih dan sahabatnya. Memesan kamar hotel. Resepsionis memberinya kunci kamar 272. Berjalan menyusuri koridor, langkah sempoyongan.Tiba-tiba, ia tersentak. Bukan 272. Melainkan 222. Ia salah kamar!Jantungnya berhenti berdetak. Air mata mengalir deras. Bukan hanya sakit dan kehilangan, tapi juga malu dan penyesalan. Ia telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Menyerahkan keperawanannya pada orang asing, bukan karena paksaan, melainkan karena kelalaiannya sendiri.Sakit menusuk di ant
Sinar mentari pagi, alih-alih menghangatkan, justru terasa seperti pisau yang menusuk mata Dirga. Ia menggeliat di ranjang yang berantakan, denyutan di kepalanya berpacu dengan detak jantungnya yang semakin cepat. Bukan hanya karena alkohol. Ada sesuatu yang salah. Kamar ini bukan miliknya. Terlalu klasik, terlalu... asing. Semalam adalah kekacauan, kabur oleh pengaruh obat perangsang.Di sampingnya, seorang wanita meringkuk di bawah selimut. Wajahnya tersembunyi, namun Dirga merasakan aura yang aneh. Bukan aura wanita bayaran. Melainkan... kepolosan? Kerentanan? Kontras yang mengganggu.Dirga menghela napas tajam, menggeleng. Ia bangkit, berusaha tidak membangunkannya. Kakinya menapak lantai dingin. Ia melihat bercak darah di seprai. Alisnya berkerut tajam. Mustahil. Wanita penghibur perawan? Itu dongeng. Ini pasti jebakan. Tapi jebakan yang dirancang untuk apa?Ia tidak mau ambil pusing. Rio salah pesan. Kesalahan identitas. Atau wanita itu penipu ulung. Ia terlalu sibuk untuk sandi







