Malam yang semakin larut, semakin membuat hati Nora pilu. Sora terus menangis terisak karena tidak tega melihat kesedihan dan kehancuran pada Nora. "Berhenti menangis Sora, aku baik-baik saja!" pinta Nora, walaupun ia sendiri mencoba untuk menahan diri agar tidak menangis. "Nona, maafkan saya, saya tidak bisa membela Nona, saya tidak bisa menolong Nona!" balas Sora, sambil menyeka air matanya. "Harusnya aku yang minta maaf, gajimu dan Jaki belum bisa ku bayar, aku benar-benar tidak memiliki uang, aku berjanji jika aku sudah mendapatkan uang, aku akan membayar gaji kalian berdua.""Tidak perlu, aku hanya ingin melihat Nona bahagia, aku bisa mencari uang untuk kebutuhanku sendiri, jadi Nona tidak perlu memikirkan aku dengan Jaki!"Nora menghela napasnya dengan berat. Ia merasa malu, karena saat ini ia bukanlah seorang Bos, apalagi saat ini ia hanya memiliki uang tidak cukup sampai satu juta. Semua kartu debit Nora terblokir, Lesia sudah bergerak cepat akan hal itu. Nora melepaskan s
Nora yang tidak terbiasa menaiki Bus, harus menahan rasa mual dan isi perutnya bergejolak untuk meminta keluar, hal itu benar-benar membuatnya menyerah, ia tidak bisa menaiki Bus antar kota, sementara Desa Bagus hanya membutuhkan waktu 45 menit lagi untuk sampai. Bagus mengalah, ia dan Nora memilih turun dari Bus dan segera mencari tempat untuk berteduh. Hawa dingin menyelimuti, membuat tubuh Nora menggigil. "Sedingin ini Desa mu Gus?!" tanya Nora. "Karena memang dekat gunung, cuacanya selalu pedut dan akan seperti ini, begitu dingin!""Duduklah disini, kau harus bertanggung jawab atas semua rencanamu ini!""Tanggung jawab bagaimana?!" tanya Bagus heran. "Sudah kemari, diam, dan duduk disebelahku!" paksa Nora. Bagus menuruti perintah Nora, mereka berteduh di tempat warung yang tidak terpakai, bangunannya pun terbuat dari anyaman bambu. Setidaknya tempat itu bisa menjadi tempat yang aman untuk mereka. "Lalu, kita hanya diam saja disini?!" tanya Bagus. "Lihat, hari masih gelap, ka
Matahari sudah tinggi, Nora dan Bagus sampai di rumah Bagus yang ternyata begitu jauh jika hanya berjalan kaki. Sepanjang jalan mereka tidak menemukan kendaraan, sehingga Bagus berjalan kaki bersama dengan Nora. Rasa penat dan letih membubuhi benak Nora. Belum pernah selama hidupnya berjalan sejauh ini. Tidak seperti dulu, ia sering bergonta-ganti mobil sport miliknya. 'Seperti ini rasanya tidak memiliki apa-apa lagi! Aku tidak boleh mengeluh, jika baru seperti ini saja mengeluh, ingin ku taruh di mana wajahku ini?' bisiknya. "Assalamualaikum, Bu, aku pulang!" teriak Bagus, karena pintu belum terbuka sedari tadi ia mengetuk daun pintunya. Nora terdiam, ingin rasanya cepat-cepat ia masuk ke dalam dan beristirahat sejenak. Pintu pun terbuka, terlihat raut wajah wanita paruh baya yang merasa terheran-heran melihat Bagus bersama sosok wanita asing. "Assalamualaikum Bu," seru Bagus, kemudian menyalami sang ibu. "Wa'alaikumsalam, loh kok pulang nggak bilang-bilang, ini siapa toh?!" tu
Belum satu hari penuh Nora tinggal di desa, desas-desus mulai berkembang dari beberapa pihak. Banyak warga yang mempertanyakan siapa wanita yang dibawa oleh Bagus. Berbeda dengan Bagus, pria itu memilih bersikap biasa saja menanggapi desas-desus dirinya. Saat ini Bagus memilih pergi ke rumah temannya yang memiliki usaha tukang kayu. Bagus sendiri sudah sangat lama tidak melanjutkan pekerjaannya di tempat itu. Kedatangannya disambut baik oleh Furqon, pria yang usianya jauh lebih tua darinya dan begitu gembira melihat Bagus yang berkunjung mendatanginya."Apa kabar Fur?!" sapa Bagus. "Alhamdulilah aku baik, aku tidak tahu jika kau sudah pulang? Apakah kau aka segera menikahi Atun?!" goda Furqon, dengan memainkan kedua alisnya. Bagus tersenyum dan menggeleng. "Bukan, aku tidak menikahi Atun!" jawabnya. "Loh, bukannya kalian saling mencintai?!""Panjang ceritanya, oh ya apakah aku masih bisa diterima disini?!" tanya Bagus, penuh harap. "Kau pegawai yang selalu aku terima disini Gus,
Nora berusaha melakukan semuanya sendiri, ia paham jika saat ini ia harus berusaha berbakti kepada sang suami. Kehidupan yang ia jalani tidak membuatnya putus asa, berita tentang dirinya tersebar luas di media. Alangkah kesalnya Nora, Lesia berbuat sesuka hatinya dan terus mempermainkan masalah ini. Sedari tadi, Nora menu kedatangan Bagus, ia sudah berinisiatif untuk memasakkan air hangat untuk suaminya itu, karena suhu udara semakin dingin. Suasana pedesaan yang damai ini mengingatkannya akan masa kecilnya bersama anak laki-laki yang lebih tua darinya. Nora ingat saat dirinya bersama anak laki-laki yang memakai pakaian sedikit kumuh dan compang-camping. Anak laki-laki itu tidak sendiri ia bersama adik kecil laki-laki yang ikut bermain memanjat pohon. Sementara, saat itu i tengah asik berfoto bersama sang Ayah yang memotretnya. Dan hanya itu bagian kenangan yang teringat di benaknya, sehingga ia rindu sosok ayahnya. Nora tersenyum melihat Bagus datang, pria itu terlihat lelah dan le
Sangat terusik, itu yang dirasakan Nora. Ucapan Bagus beberapa menit yang lalu, berhasil membuat Nora tidak bisa memejamkan kedua matanya. Pikirannya berkelana, rasa penasarannya begitu tinggi. "Katakanlah, apa ada wanita lain selain aku?!" tanya Nora dengan perasaan yang berdebar-debar. Bagus membuka kedua matanya kembali, tak sengaja ia menyebutkan nama sang mantan terindah. Ia merubah posisinya menghadap Nora, terlihat setetes air mata yang mengalir di wajahnya. "Tidak ada, sudah malam, sebaiknya kita tidur!" ajak Bagus, lalu kedua tangannya memeluk tubuh Nora. Nora menepis tangan Bagus, hatinya begitu kecewa melihat sang pujaan hati tidak ingin jujur kepadanya. Bagus menghela napasnya kasar, Nora memutar tubuhnya membelakangi Bagus."Tidak bisakah kau bicara jujur? Aku ini istrimu!" imbuh Nora, yang sudah tak kuasa menahan isak tangisnya. Pria itu tetap tidak ingin memberitahu, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Berkata jujur adalah hal yang pasti akan membuat hubungannya rengga
Bagus tetap tidak bisa menolak untuk pulang ke rumah. Sekilas ia mengingat bagaimana kecewanya Nora kepadanya tadi pagi. Terlebih, ia merasa bersalah sudah membuat Nora kecewa. Wanita berjilba terlihat berbaring di atas dipan rumah sakit. Selang oksigen masih terpasang. Dua jam yang lalu, dokter mengatakan jika hidupnya tidak lama lagi. Ya, akibat ia meneguk racun sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Bagus semakin merasa bersalah, kedua tangannya mengenggam erat tangan Atun. Tangan wanita itu begitu dingin, berharap Bagus masih bisa mendengar suara sang mantan kekasih. Kedua orang tua Atun terlihat pasrah akan segalanya. Sebelum menikahi Juragan yang bernama Sukir. Malam harinya, Atun meneguk racun dan meminumnya sampai tandas. Wanita itu ikhlas jika dirinya ditakdirkan mati, karena tidak bisa hidup dengan pria yang dicintai. Dengan keadaan koma, Juragan itu mau tidak mau, tidak jadi menikahi Atun. Ia rela kehilangan Atun, karena wanita itu sudah sekarat, dan lebih baik ia menc
Gemuruh hujan di luar rumah sakit menemani Bagus yang memandang lembut wajah Atun. Kekasih idaman hatinya saat ini sudah sah menjadi miliknya. Bagus menyadari jika ia adalah pria yang bodoh, memberikan janji pada dua wanita yang mengisi hidupnya. Kali ini ia merasa berat untuk memberitahukan Atun, jika ia sudah menikah dengan wanita lain. Begitu sebaliknya, ia tidak sanggup membuat luka di hati Nora, jika dirinya sudah menikah dengan wanita yang sudah ia akui akan cintanya. "Ya Tuhan, bagaimana caranya memberi tahu mereka?" bisiknya. Suara petir menggelegar, mengejutkan hati Bagus. Detik ini, ia teringat akan wajah Nora. Ingin rasanya ia kembali menemui istrinya di rumah! Tetapi, Atun masih membutuhkannya saat ini. 'Maafkan Aku, Nora!' bisiknya sedih. Sementara itu, Nora merasa tidak tenang. Suaminya belum kembali, dengan cuaca gelap dan hujan yang terus-menerus mengguyur kota yang ia tempati. Bayangan Bagus sekilas membuatnya gelisah. Ketakutan hatinya seakan nyata. Nora semakin