Desiran halus merambat menuju hati Bagus, pasalnya wanita yang berada di hadapannya ini tengah melumat bibir dengan nikmat, mungkin bagi Nora itu terasa nikmat, namun untuk seorang Bagus, rasanya sangat membingungkan, kedua tangannya tidak dapat bergerak, seakan terikat oleh sesuatu yang tidak bisa ia artikan.
'Oh Nona, kenapa aku baru tahu jika ciuman itu membuat hati berdebar' bisiknya.Nora merasa puas, senyum manis bibirnya bagaikan obat hati untuk melupakan segala kisah rumit yang sedang ia rasakan.Wajah Bagus memerah, ia merasa malu, bahkan ia tidak mau menatap Nora dan memilih pergi menuju mobil. Nora tertawa terbahak-bahak, entah mengapa kekesalannya sedikit hilang."Ternyata bibir indah Bagus masih perjaka!" celetuknya, diiringi tawa.Bagus benar-benar salah tingkah, namun Nora kembali bersikap seperti biasa. Melupakan Revan bukanlah impiannya, membangun mahligai rumah tangga yang bahagia adalah impiannya. Selama bersama Revan, Nora benar-benar merasa sempurna, bukan karena Revan orang yang terpandang, melainkan sikap Revan yang begitu memujanya dan sangat mencintainya.Bagus melirik ke arah Nora, istrinya sudah tertidur pulas dalam keadaan tubuh yang masih basah. Tanpa sadar Bagus meraba bibirnya, bekas bibir Nora masih terasa, hingga membuatnya nyeri jika terbayang kembali.Sesampainya di rumah, Bagus terpaksa menggendong Nora, Jaki dan Sora pun menghampiri Bagus yang ikut khawatir dengan keadaan Nora."Loh, kok bisa basah-basahan begini?" tanya Jaki, lagi-lagi ia perlu mengetahui apa saja yang dilakukan Bagus dengan istrinya itu."Hush, bawa ke kamar dulu, mungkin nanti Kak Bagus akan bercerita!""Hem, iya deh!" jawab Jaki.Bagus membawa Nora kekamarnya, ia merebahkan tubuh Nora di sofa. Sora segera mendekati Bagus yang masih mendekati Nora."Eit, jangan dekat-dekat Nona, kalian bukan muhrim!" ucap Sora, ia belum mengetahui jika Bagus kini adalah suami Nora."Iya, aku akan keluar!" cetus Bagus.Sora membantu Nora dan mengganti pakaiannya. Setelah selesai Sora pergi keluar, sementara Bagus membersihkan diri di tempat lain.Air dingin memebasahi tubuh Bagus, ingatan wajah Nora yang menciumnya lagi-lagi terbayang di pikirannya."Aku tidak boleh menaruh hati pada majikanku sendiri, pernikahan ini hanya kerja sama ku berdama Nona, aku tidak tahu hal apa yang bisa menguntungkan Nona menikah dengan ku, namun aku harus bisa menyelesaikan pekerjaan ini, jika sudah saatnya Nona menginginkan perceraian maka akan kusanggupi!" pungkasnya, ia sendiri merasa bersalah karena memiliki status dengan majikannya secara sah hukum dan agama.Di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, memang keinginan Bagus adalah menikah, menikah dengan pujaan hati, cintanya bersama seorang wanita yang sudah membuatnya menyembuhkan luka di hati dari wanita yang pernah menjadi pacarnya.Bagus adalah pria pemegang janji, ia akan menepati janjinya, namun semuanya berubah setelah ia memilih untuk menikahi Nora. Sungguh ia tidak ingin menyakiti hati sang kekasih, namun ia tidak bisa mencari cara lain, karena dirinya sendiri sudah sangat terdesak.Setelah selesai mandi, Bagus memakai pakaiannya, ia segera mengambil wudhu, untuk melaksanakan solat. Langkahnya terhenti saat mendengar ponselnya berbunyi.Bagus terkejut, nama Atun sedang menghubunginya."Angkat tidak ya? Kalau tidak, nanti aku di cecar terus!" ungkapnya.Mau tidak mau Bagus menerima panggilan video dari Atun."Assalamualaikum Abang!" panggil Atun."Wa'alaikumsalam Neng, ada apa? Kok malam-malam begini kamu menelepon?!" tanya Bagus."Abang, aku ke Jakarta saja ya menyusul Abang, aku sudah di jodohkan dengan Bapak, Abang tahu tidak, aku harus menikah dengan Pak Sukir!""Pak Sukir, juragan empang itu?" tanya Bagus, tak percaya."Abang pulang, bawa aku ikut Abang, aku tidak mau menikah dengan pria lain selain Abang, aku cinta sama Abang!" ucapnya lalu menangis terisak.Bagus terdiam, ia merasa ragu untuk menjawab iya kepada Atun."Aku takut Bang!" seru Atun yang panik akan masalah di hidupnya."Nanti Abang telepon lagi ya, sudah malam, nanti Abang akan pikirkan!" seru Bagus.Atun menurut, ia tidak tahu jika sang kekasih sedang mengalami dilema yang mengganjal hatinya."Apa yang harus aku lakukan Ya Rabb?" tanyanya, di satu sisi ia masih mencintai Atun, namun di sisi lain, ia tidak mau berurusan kembali untuk membuat Nona majikannya itu marah.Semalaman Nora tidak bisa tidur, menjelang acara ijab qabul ia hanya mampu berdoa agar semua pelaksanaan pernikahannya lancar. Namun satu hal yang membuatnya merasa aneh saat ini. Temy tidak mengabarinya sama sekali sejak kemarin, dan hanya Rion yang rela menjaga dan menunggunya sampai malam. Jemarinya mengusap layar ponsel, ia akan mencoba menghubungi Temy sekali lagi, dan lagi-lagi hanya suara operator wanita yang menjawab panggilannya. "Kemana kamu Tem?" Rasa takut dan cemas menjadi satu dalam lubuk hatinya. Pasrah karena sudah lelah menghubungi Temy, akhirnya rasa kantuk menghampirinya dan membuatnya terlelap pagi hari ini. Sementara itu di tempat lain, Bagus baru saja menyelesaikan solat subuhnya. Kemarin Temy sudah pergi, pria itu benar-benar pergi ke Korea dan menyerahkan segalanya pada Bagus. Pakaian pengantinnya yang berwarna putih begitu indah bagi Bagus. Sekilas, ia mengingat bagaimana pernikahannya bersama Nora dulu, pakaian seragam sopirnya. Ia hanya tersenyum kecil
Pagi-pagi buta sekali Nora sudah bersiap untuk hari ini. Sudah tiga hari ini Nora tidak pergi ke rumah Temy. Ia terpaksa, karena dengan begini, ia bisa fokus pada Temy, calon suaminya. Dan dua hari lagi adalah hari pernikahannya bersama Temy, saat itu juga ia akan melepas statusnya sebagai seorang janda. Ia menatap dirinya di depan cermin, perlahan ia membuang napasnya. Walaupun Bagus hadir sebagai Rion, ia tidak mungkin meninggalkan Temy. Temy adalah pria yang selalu baik kepadanya, tiada salahnya jika ia pun berkorban demi membalas semua kebaikan Temy. Agenda hari ini adalah mencoba gaun pengantin di butik, dengan rancang desain terkenal. Temy sudah menyiapkan segalanya dengan cepat. Acara ijab qabul akan dilakukan di rumah Nora, dan Temy berjanji akan memberi kejutan pada pesta malam pernikahan mereka. Suara deru mobil terdengar jelas memasuki halaman. Nora bergegas untuk turun dan menemui Temy. Nora berlari ke pintu utama, di sana sudah terlihat Rion yang berdiri dengan tangan k
"Nora berhenti, dengarkan aku dulu!" teriak Temy. Nora terus berlari menjauh, ia tidak mau berhubungan kembali dengan Temy atau Bagus lagi. "Ini semua bisa kita bicarakan baik-baik, jangan pergi lagi Nora." Temy tidak putus asa, ia akan terus mengejar Nora dan tidak akan pernah membiarkannya menghilang. Nora berhenti dan napasnya tersengal, ia baru menyadari jika sudah berlari jauh sekali. Dan ia tampak terkejut melihat Temy tengah berlari mengejarnya. "Kenapa kamu mengikutiku?" Nora memandang kesal ke arah Temy, namun pria itu tetap tersenyum dan berjalan menghampirinya. "Aku ingin menjelaskan semuanya Nora! Maaf aku tidak memberitahumu sejak awal, tapi memang ia adalah adikku!""Kamu bohong, apa ini rencana kamu? Kamu mau membuat aku lebih tidak bisa melupakan dia?""Dengar dulu! Dia adikku Nora, bertahun-tahun kami berpisah. Apa kau lebih tega, membiarkan saudara kandungku terus menjadi orang lain, dia lupa siapa dirinya yang sebenarnya!"Nora terdiam, Temy pun terdiam."Kemba
Seperti kata dokter, sesekali Bagus menginggau dan berteriak dalam tidak sadarkan diri. Temy rasa, Bagus sedang bermimpi tentang masa lalu, hingga terkadang ia harus diberi obat penenang oleh perawat yang menjaganya. Nora tidak pernah bosan untuk menghubungi Temy, sayangnya Temy belum siap menceritakan tentang Bagus kepada Nora. Jemari Bagus bergerak perlahan, kedua matanya terbuka perlahan. Terlihat jelas langit-langit kamar berwarna putih. Temy bangkit dari duduknya, menyambut suka cita Bagus sudah siuman. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Temy, tak sabar. Bagus terdiam, ia menatap Temy dengan jelas. Senyumnya merekah, ia mengenali Temy dan berusaha bangun untuk melihat sekelilingnya. "Hati-hati!"Temy membantu Bagus, ia merasa bingung dengan sikap Bagus sesaat setelah siuman. "Dimana aku?" Bagus melihat ke sekelilingnya. "Kau di rumah sakit, kepalamu terbentur, dan kau merasakan sakit kepala yang begitu hebat, hingga membuatmu tidak sadarkan diri selama lima hari!""Kau tetap s
Temy memejamkan kedua matanya, lalu menghembuskan napasnya kasar. Kedua bahunya bersandar pada daun pintu ruangan di mana Bagus tengah di periksa oleh dokter. Kini segalanya harus bisa ia terima jika takdir mempertemukannya dengan Bagus, adik kandung yang selalu ia cari sejak dulu. "Tak ku sangka jika kamu adikku! Bibi Rusi membohingiku, entah mengapa sebabnya!"Temy mengambil ponselnya, senyumnya mengembang seketika melihat gambar Nora yang terlihat bahagia di layar ponselnya. "Haruskah aku membiarkan Nora bersama Bagus? Padahal, hubungan ini sudah lama ku nantikan!"Air mata Temy menetes perlahan, ia hanya ingin berkumpul dengan orang-orang yang ia cintai. Sampai ia harus bisa menerima pria yang ia anggap sebagai penganggu hubungannya kini adalah adik yang sangat ia rindukan. "Pak Temy!"Mendengar seseorang memanggilnya, Temy segera menghapus air matanya dan berdiri menghadap dokter yang menangani Bagus. "Bagaimana dengan dia?""Tenang saja, keadaan kini membaik, dia merasakan sa
Air matanya mengalir perlahan, memori indah bersama Bagus terulang jelas kini, ada rasa rindu menelusuk di dalam hatinya pada sang mantan suami. Air hujan perlahan membasahi gelapnya ibu kota malam ini. Lima jarinya menghapus air mata di pipi, dan tak lama senyum terukir ketika pria disebelahnya menatap penuh cinta. "Kau suka hujan Nora? Sejak tadi pagi sampai malam, kau tidak pernah lepas untuk melihat hujan deras ini!"Wanita berambut panjang itu menampilkan senyum manisnya. “Karena hujan mengingatkanku pada Bagus!” Suasana menjadi hening sekejap. "Nora, kamu melamun?""Oh, ya Tem! Aku menyukai hujan, terkadang cuacanya membuat hatiku tenang dan damai!"Temy mengangguk, secangkir cappucino ia berikan untuk calon istrinya. "Untukmu, supaya kau tetap hangat!""Terima kasih!"Nora tersenyum sipu, pandangannya menyelidik ke arah Temy, yang terlihat gagah dan berwibawa. Entah mengapa wajah dari dekatnya begitu persis dengan wajah Bagus. “Ayolah Nora, kau sudah berjanji untuk melupa