Wow wow wow!? Apa pria itu Adam? Atau malah karakter baru?! Kok dia bisa pegang senjata api dan secara bebas menembaknya, ya?!
“Sudah kamu pastikan tidak ada yang tahu kebenarannya?” tanya Julian yang sedang menelepon. Dia yang sekarang berada di lorong mewah rumah atasannya melirik ke arah seorang pria berpakaian militer yang sedang memperhatikan isi sebuah ruangan. “Oke. Cari juga dalang kekacauan hari ini sesegera mungkin dan berikan kabar padaku segera,” tegas pria itu sebelum akhirnya memutuskan panggilan.Setelah memasukkan ponsel ke dalam sakunya, Julian memutar tubuhnya dan melangkah mendekati pria berpakaian militer tersebut. Terlihat bahwa pria militer itu mengenakan sebuah masker, membuat siapa pun tidak mengenali parasnya dan hanya bisa melihat sepasang manik birunya yang indah.“Pak, semuanya sudah diatur sesuai perintah Bapak,” ujar Julian dengan suara rendah, tidak ingin mengganggu fokus pria tersebut. “Semua berita telah diturunkan, dan tidak ada dari mereka yang mengenali sosok Bapak,” jelasnya. “Identitas Bapak aman.”Selagi Julian sedang menjelaskan, netra biru pria berpakaian militer itu s
“Loh, kok bisa?!” Suara melengking terdengar menggema di ruang tamu kediaman Diwangkara. Amarah dan ketidakrelaan menyelimuti nada bicaranya selagi wanita berpakaian anggun itu melanjutkan, “Aku dengan sengaja membayar kalian untuk semua berita itu, dan kalian malah menurunkan beritanya. Nggak cuma itu, kalian juga gagal memojokkan Evelyn serta mendapatkan berita berguna lainnya?!” Mata wanita itu melotot seiring dirinya memaki, “Bodoh! Saya nggak mau tahu, pokoknya kalian harus lakuin sesuai perintah saya!” Mungkin kesal dengan betapa keras kepala lawan bicaranya itu, pihak di ujung telepon yang lain langsung membalas, “Maaf, Bu Nissa. Ini sudah di luar kekuatan saya. Semua uang yang telah Ibu berikan untuk hal ini telah saya transfer kembali.” Suara parau pria paruh baya itu menambahkan, “Lawan kali ini terlalu besar untuk saya sentuh. Selamat siang dan terima kasih.” Tanpa menunggu Nissa mengatakan apa pun, pria petinggi perusahaan berita itu mematikan telepon. Hal tersebut memb
“Ya, dan itulah alasan seorang Evelyn Erlangga muncul dari udara kosong di Calpa delapan tahun yang lalu,” tutur Evelyn mengakhiri ceritanya dengan sebuah senyuman pahit menghiasi wajah. Sebelumnya Evelyn hanya menceritakan bagaimana dirinya diusir oleh sang ayah akibat kehamilannya. Akan tetapi, sekarang dia melengkapi cerita itu dengan kenyataan bahwa dirinya dijebak oleh adik kandungnya sendiri. Sekarang, Evelyn tidak lagi memiliki hal untuk disembunyikan, semua telah dia utarakan kepada Adam. Di sisi lain, Adam yang telah selesai membungkus luka Evelyn terlihat tengah terduduk di pinggir tempat tidurnya. Dia menatap wanita itu dengan ekspresi serius. Jujur saja, Adam telah mendengar banyak cerita mengenai perebutan takhta para pewaris, bahkan terlibat di dalamnya. Namun, ini kali pertama dia mendengar secara langsung pertengkaran saudari akibat seorang pria. ‘Layakkah?’ batin Adam dalam hatinya. Sadar bahwa dirinya telah berbicara terlalu banyak, Evelyn menarik napas dan tertaw
“Sesuai pernyataan Bu Evelyn, kamar 1001 memang dipesan atas nama adiknya, Risa Aditama,” Julian berkata di hadapan meja kerja Adam, mengubah panggilannya terhadap Evelyn dengan sengaja karena wanita itu jauh lebih penting dibandingkan yang dia kira. Mata pria itu masih terlihat mengantuk, efek dari menghabiskan sejumlah malam untuk mencari informasi yang atasannya itu inginkan. Dari laporan yang Julian dapatkan, yang mana salah satunya adalah rekaman pengakuan manajer hotel tempat Adam dan Evelyn bermalam delapan tahun lalu, terbukti bahwa cerita wanita itu kepada Adam bukanlah sebuah kebohongan. Evelyn memang seharusnya bermalam di kamar 1001, tapi entah bagaimana caranya berujung masuk ke kamar Adam. Selain itu, alasan Julian tidak mampu menemukan bukti atau rekaman CCTV apa pun ... adalah karena Reyhan, sang kepala Keluarga Aditama, memerintahkan manajer hotel untuk menyingkirkan rekaman CCTV dari jam sembilan malam sampai jam tujuh pagi di hari berikutnya. Sebelumnya, Julian tid
“Sore, Bu Evelyn,” sapa seorang pelayan dengan sebuah senyum semringah, merasa matanya diberkahi melihat seseorang yang begitu rupawan seperti Evelyn menghiasi pemandangannya. Bukan sekadar rupawan yang membuat pelayan itu menyukai Evelyn, tapi lebih kepada senyuman indah yang diberikan wanita tersebut, jauh berbeda dari sang majikan yang selalu memasang wajah dingin mengerikan. “Teh jasmine? Hari ini cukup dingin karena hujan,” kata pelayan tersebut sembari menyuguhkan secangkir teh hangat. Sembari menyandarkan diri pada meja dapur, Evelyn membalas, “Terima kasih, Nila.” Manik hitamnya melirik ke kanan dan ke kiri. “Pak Aldi ke mana?” Wanita itu meneguk teh yang disediakan, mencari-cari keberadaan kepala pelayan kediaman Adam di Nusantara itu. Dengan lincah mempersiapkan bahan makanan untuk makan malam, Nila menjawab, “Pak Aldi pergi untuk ikut menjemput Liam dan Lili, Bu.” Mendengar hal itu, senyuman Evelyn sedikit membuyar. Sudah beberapa hari sejak dirinya datang dan tinggal di
Panggilan Adam membuat Evelyn terkejut. Untuk menghindari rasa canggung dan menunjukkan semua orang ekspresi terluka serta marahnya, wanita itu tadinya berniat untuk menunggu semua orang pergi sebelum keluar. Akan tetapi, sekarang dia tidak ada pilihan. Evelyn berjalan keluar dari lorong rak buku, lalu memaksakan diri untuk terlihat seperti biasa. Namun, usahanya itu malah membuat Adam mampu membaca jelas perasaannya. “Kamu sudah pulang?” tanya Evelyn, berusaha membuka pembicaraan dengan basa-basi kosong. “Tumben sekali cepat?” Selama sesaat, Adam terdiam sembari memperhatikan Evelyn. Ada sesuatu dalam hatinya yang membuat pria itu ingin menanyakan perasaan wanita tersebut. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa Evelyn berusaha mengesampingkan kejadian beberapa saat lalu, Adam pun hanya bisa mengikuti kemauan wanita itu. “Semua kerjaan selesai lebih awal,” jawab Adam singkat. “Di mana anak-anak?” Pria itu yakin bahwa saat ini merupakan jam pulang sekolah Liam dan Lili. “Pak Aldi sed
“Lili!” bentak Evelyn dengan wajah merona merah, malu dan juga marah karena sang putri selalu mencoba mengapitkan Adam dengannya. “Jangan—" Sebelum Evelyn bisa mengatakan apa pun, Liam langsung berseru, “Nggak boleh!” Seruannya mengejutkan semua orang, membuat mereka menatap bocah dengan ekspresi marah terpasang di wajahnya. “Om Adam nggak boleh jadi papa kita!” “Kenapa nggak boleh?” tanya Lili yang bingung dengan ucapan kakak kembarnya. Dia sangat menyukai Adam, jadi dia ingin pria itu menjadi ayahnya. Kenapa sang kakak tidak mengizinkannya?! Liam langsung menjawab sembari meremas gaun ibunya, “Belum menikah berarti bukan papa!” Di dalam hatinya, bocah itu tidak rela memberikan ibunya ke sembarang pria, terlebih seorang pria dingin dan menyeramkan seperti Adam. Kalau ibunya nanti tersiksa, bagaimana?! Mendengar hal itu, alis kanan Adam langsung meninggi. “Kalau menikah, bisa jadi papa? Begitu, ‘kan?” tanyanya membuat Evelyn dan Nila kembali ternganga, tak menyangka Adam akan menan
Liam dan Lili sedang duduk di ruang makan bersama dengan sang ibu dan tuan rumah. Di hadapan mereka terdapat sejumlah makanan yang dihidangkan sebagai makan malam. Namun, walau makanan yang ada di depan mata mereka mereka terlihat begitu menggiurkan, perhatian kedua bocah itu hanya terarah pada dua orang di dua sisi ujung meja yang memasang wajah datar dan canggung. Siapa lagi kalau bukan Evelyn dan Adam? “Apa yang … terjadi?” bisik Liam kepada Lili yang hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Makan malam sebelum-sebelumnya memang tidak bisa dibilang nyaman, ada kecanggungan yang mengudara antara Evelyn, anak-anaknya, dan juga Adam. Hanya saja, seiring waktu berlalu dan mereka melalui makan malam ketiga dan keempat bersama, kecanggungan tersebut menghilang karena mereka berakhir terbiasa. Lalu … apa ini sekarang?! Ketidaknyamanan dan kecanggungan yang menyelimuti ruangan tersebut malam ini jauh lebih terasa dibandingkan kali pertama mereka makan bersama! Lili pun berbisik,