Share

DILEMA MEMBARA

Setelah mengemas jas, sepatu dan tas yang diletakkan sembarangan oleh suaminya, Anes mulai masak. Mereka tidak memiliki pembantu, jadi dia yang mengemas rumah dan masak sendiri.

"Kapan sih Mas Teo merubah kebiasaannya seperti ini," ucapnya sambil berkemas.

Anes melakukannya dengan penuh rasa sayang, ia sangat mencintai suaminya, jadi tidak apa-apa ia menjadi istri yang baik dengan mengemas rumah agar selalu bersih.

Anes ingin masak nasi goreng saja, itu hal yang praktis dan sangat mudah. Lagian di dapurnya yang tidak terlalu besar tersedia beberapa bungkusan instan masakan apa saja.

"Untung masih ada telur, kayaknya aku perlu belanja."

Sejak menikah dengan Teo, dia baru mulai belajar masak dan kini dia lumayan pandai masak walaupun masih bergantung dengan bumbu instan.

Teo di balkon kamar, ia sedang menyeruput rokoknya. Sembari menunggu istrinya selesai masak, ia duduk bersandar di kursi balkon. Walaupun ia nampak santai, namun pikirannya sudah kemana-mana.

"Bagaimana caranya agar aku tak diganggunya lagi?"

Hisap demi hisap, satu batang rokok lesat. Dia ingin lagi, namun mengakhirinya. Teo beranjak, dia ingin ke dapur melihat istrinya. Rasa rindu di hatinya sudah bergejolak, Teo sedang gelisah.

Langkah kaki panjangnya menuruni anak tangga, melewati foto pernikahan mereka dan foto romantis mereka berdua. Ia meliriknya sebentar, kemudian kembali berjalan menuju dapur.

"Aku harap kita segera memiliki malaikat kecil, Sayang."

Rumah mereka minimalis, terdapat dua kamar. Satu di lantai atas dan satu lagi di lantai bawah dengan pintu di bawah tangga. Mereka sengaja mengosongkan kamar di bawah, mereka lebih suka tidur di atas.

Rumah itu adalah hadiah pernikahan untuk mereka dari ayah Anesia yang bernama Wijo Dutta.

Orang tua Teo sudah tidak ada, dulu dia hanyalah karyawan biasa di perusahaan kecil. Namun, sejak menikah dengan Anes, Wijo menyuruh Teo bekerja di perusahaan temannya yaitu Bano, ia ditempatkan menjadi supervisor dan sekarang menjadi manajer karena desakan Wijo.

Teo tersenyum melihat istrinya memakai daster pendek lengan satu berwarna merah jambu. Ia tersenyum melihat istrinya dari belakang, nampak Anes saat ini sedang mengiris bawang.

"Kamu pasti capek masak terus," bisik Teo sambil melingkarkan tangannya di pinggang istrinya.

Anes kaget, untung saja ia sampai tidak mengiris tangannya. Ia langsung meletakkan pisau, menoleh dan mendongak ke belakang melihat suaminya yang tinggi.

"Mas, kamu ini ngagetin aja. Bilang-bilang kek kalau mau peluk aku."

Teo tertawa kecil mendengar itu, ia makin mengeratkan pelukannya. Mengusap perut istrinya berharap anaknya akan ada di sana nanti.

Anes memanyunkan bibirnya, dengan cepat Teo meletakkan dagunya di kepala Anes dan itu membuat Anes menoleh ke depan dan melihat bawang yang ia iris tadi.

"Istriku," ucap Teo lembut. Kini ia harus membungkukkan tubuhnya sedikit dan membenamkan wajahnya di leher Anes, membuat Anes merasa geli. "Gajiku kan sudah naik, kita cari pembantu saja ya. Kasihan kamu selalu beres-beres setiap hari. Apalagi kamu juga harus nulis," kata Teo yang masih dengan posisi tadi.

Anesia memegang tangan suaminya yang masih melingkar di pinggangnya. Ia menggenggam tangan suaminya dengan hangat.

"Mas, aku ini ingin jadi istri yang baik sebelum menjadi ibu yang baik. Jadi, biarkan aku yang menangani rumah, soal tulisanku, novel-novel aku itu bisa aku atur."

"Tapi, Istriku. Aku mau kamu fokus menjadi istriku, aku mau kamu hamil."

Anesia memejamkan matanya mendengar itu, dari dulu sampai sekarang, hanya itu yang selalu mengusik hatinya. Sekarang, suaminya mengatakannya lagi. Anesia juga ingin hamil, tapi mau bagaimana lagi, dia juga belum hamil sampai sekarang.

"Mas mau kita menjalankan program hamil, kamu fokus di situ saja, untuk urusan rumah kita serahkan sama pembantu saja. Mas sangat mencintai kamu, Sayang. Mas mau kita menjadi keluarga yang utuh, keluarga yang sempurna."

Tiga tahun menikah, ada rasa gulana di dalam hati Anesia. Ia seorang wanita, ia takut ada yang salah di dalam dirinya. Suaminya menuntut ingin anak, walaupun dengan cara halus.

Namun, ia takut, ia takut suaminya akan berpaling. Anesia takut jika ada orang ketiga dalam rumah tangganya, ia takut jika akan berpisah dari pria yang ia cintai selama ini.

"Demi apapun aku tidak ingin ada orang ketiga," kata Anes dalam hati.

Anesia dengan cepat melepaskan pelukan Teo, dia membalikkan tubuhnya, memeluk suaminya dengan cepat dan erat. Teo sampai kaget dibuat istrinya, ia mendengar suara Anes menangis, Teo berusaha melepaskan pelukannya, namun Anes mendekapnya dengan erat.

"Istriku, Anesia. Ada apa, Sayang? Kamu kenapa menangis?" tanya Teo lembut sambil mengelus rambut istrinya.

Perlahan Anes melepaskan pelukannya, ia melihat suaminya sambil menitikkan air mata. Anes menggelengkan kepalanya, sementara Teo ingin kejujuran dan ingin tahu apa yang ada di dalam hati istrinya saat ini.

"Jujur saja, Sayang," ucap Teo dengan lembut, ia menyentuh pinggang istrinya dan menghapus air mata Anes yang ada di pipi.

"Mas, bagaimana jika aku tidak bisa hamil? Ayo, Mas. Kita membuat bayi kita sekarang, aku ingin segera punya anak. Mas, aku takut, aku takut kamu ninggalin aku. Aku takut jika aku … Aku mandul," ucap Anes, air matanya kembali banjir.

Teo kembali memeluknya, mengelus punggung istrinya. Ia menunggu Anes reda dan bisa mengontrol emosinya saat ini. Tak dipungkiri dia juga takut, apalagi setelah mendengar apa yang dikatakan orang yang menelponnya tadi.

"Mas," lirih Anes, ia melepaskan pelukannya dan melihat Teo. "Bagaimana jika aku tidak bisa hamil?" tanya Anes lagi, air matanya terus turun.

Teo menyesal karena telah membuka percakapan itu, ia tidak tega melihat istrinya yang menangis. Ia melihat Anes ingin mengelap air matanya sendiri, tapi dengan cepat ia menyambar tangan istrinya dan menahannya, Anes sampai kaget dibuatnya.

"Kamu tadi megang bawang, nanti kamu makin nangis," ucap Teo mengingatkan.

Anes tersenyum kecil mengingat itu, Teo pun juga ikutan tersenyum dan menghapus air mata istrinya. Ia tidak ingin air mata itu terus mengalir.

"Mas," ucap Anes kembali dengan lirih.

"Iya, Sayang." Teo membalasnya sambil memegang dagu istrinya, mengelusnya dengan halus. "Kamu jangan risau kan itu, makanya tadi Mas bilang kita ikut program hamil saja. Kamu jangan pesimis begitu, Mas yakin jika kamu akan hamil. Kamu kan jago di ranjang, Mas akan pastikan keahlianmu itu tidak akan sia-sia," ucap Teo sambil menggoda istrinya.

Anes memerah mendengar itu, suaminya selalu memujinya dalam hal itu. Teo yang melihat istrinya yang seperti itu menjadi agak tenang, ia benar-benar menyesal telah membahas hal seperti itu, padahal tadi ia hanya ingin Anes tidak terlalu kelelahan dalam mengurus rumah. Teo mengusulkan untuk memiliki pembantu.

Ting Tong

"Siapa yang datang jam segini?" tanya Anes.

"Entahlah, biar Mas lihat dulu ya."

Anes menganggukan kepalanya, dia melihat suaminya pergi. Ia pun bingung, jarang sekali ada yang bertamu. Ayahnya juga jarang datang, kedua temannya juga jarang.

Teo melangkahkan kakinya dengan cepat, apalagi yang menekan bel sepertinya tidak sabar ingin pintu rumah itu dibuka.

Setelah sampai, Teo langsung membukakan pintu, tak lupa dengan senyumannya untuk menyambut tamu, namun raut wajahnya langsung berubah setelah melihat orang yang ada di depan pintunya sambil membawa satu buket mawar merah.

"Wah, sepertinya wajahku juga akan seceria wajahmu yang sudah melewati malam yang panas. Tidak apa-apa, sebentar lagi aku juga akan merasakan malam panas itu. Di mana istri kesayanganku, eh istri kesayanganmu?"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status