LOGIN“Hari ini dia nggak banyak gerak. Gerak sih, tapi nggak se-aktif biasanya.” Karina mengusap perutnya perlahan. Kepalanya bersandar di dada Dimas. Sementara tubuh mereka berbaring miring, saling mendekap di kasur. Dimas mengusap punggung Karina dengan gerakan lembut. Benaknya masih terlalu penuh dengan kalimat Bramanta saat mereka bertemu sore tadi.Apa yang harus dia lakukan sekarang?“Dimas.”Karina terlalu berharga untuk dia korbankan jika nantinya bahaya akan mengejar. Tetapi … jika Reno tak juga hancur, bagaimana dengan perceraiannya? Bagaimana dengan status legal mereka? Sampai kapan dia harus tinggal bersama Karina yang masih berstatus istri orang?“Dimas!”“Hm? Ya?”“Kamu bengong terus, Dim.”Dimas memejamkan mata, lalu menarik napas panjang. “Maaf. Aku tadi lagi nggak fokus Kar. Kamu bilang apa?”Karina menatap Dimas dengan raut wajah menahan kecewa. “Bukan apa-apa kok.” jawabnya lirih. Wajahnya tertunduk.“Maaf sayang. Aku lagi banyak … kerjaan.” Dimas memejamkan mata, mene
Dimas termenung. Reno terlibat dalam bisnis barang terlarang, adalah sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. Ternyata, pria garang itu lebih busuk dari kebusukannya yang sudah terlihat. Tetapi … mengapa pihak kepolisian justru menemuinya? “Bisa saya tahu alasan Pak Bramanta menemui saya?” “Penyelidikan sudah berjalan tujuh tahun. Temuan terakhir mengarah pada sebuah server yang disimpan secara tersembunyi di dalam darkweb.” Kedua alis Dimas bertaut tajam. Seorang Reno yang kemarin dia lihat panik karena tertipu web palsu buatannya, ternyata tidak se-awam yang dia kira dalam urusan teknologi. Atau mungkin tidak? “Dia tidak bekerja sendirian. Dia bekerja untuk seseorang.” Bramanta memajukan bahu, seolah hendak menyampaikan sesuatu yang sama sekali tak boleh terdengar siapa pun. “Dan orang ini … sangat cerdik, pintar, bahkan kami hingga sekarang masih belum bisa menemukan jejaknya.” Dimas menyandarkan punggung. Tatapannya tajam, lurus menusuk ke arah Bramanta yang kembali mel
Sore itu, sesaat setelah jam kerja usai, di parkiran basement gedung kantor yang remang, Dimas berjalan menuju mobilnya sambil merapatkan jaket. Langkahnya teratur dan mantap. Walau sebenarnya, sejak tadi dia sadar.Seseorang sedang mengikutinya di belakang.Dimas memelankan ayunan kaki, lalu berhenti dan memutar bahu. Menemukan seorang pria paruh baya dengan rambut yang sebagian memutih, menatapnya lurus dan tegas. Tubuhnya tegap, auranya menunjukkan wibawa. Namun penampilannya sederhana, seperti karyawan kantoran umumnya.“Pak Dimas Prasetya?” pria itu menatap Dimas dengan raut setenang air danau. Dimas menaikkan sebelah alis, bertanya tanpa suara. “Ya?”“Bisa meluangkan waktu sebentar? Saya janji tidak akan lama.”Dimas memicingkan mata. Dari penampilan dan pembawaannya, pria yang tampak nyaris seumur dengan Bapaknya ini terlihat bukan seperti orang sembarangan. Ada aura orang berpengaruh yang memancar nyata. Tetapi, Dimas sedang tidak ingin terlibat dengan apa pun saat ini.“Maa
[ Jimmy : Tenang Dim. Gue udah bantu bersihin nama lo. ]Kening Dimas seketika mengerut. Apa maksud Jimmy?Pandangan Dimas lalu beralih pada Karina yang kini tengah menyeduh teh di meja dapur dengan wajah tenang dan senyum lembut tanpa beban. Teringat olehnya ucapan dokter kandungan yang menyampaikan kabar bahwa kondisi Karina sebaiknya tidak mengalami tekanan emosional.Dimas termenung. Dalam diam bertekad agar berita ini tidak sampai ke telinga Karina.Dibukanya link yang diberikan Jimmy. Ada sebuah tautan sumber yang mengarah ke laman sosial media TokTok. Seorang pengguna mengunggah video rekaman di tengah ruang VIP pameran saat Reno berteriak menuding Karina berselingkuh dengan Dimas.Buru-buru Dimas mengecilkan volume suara ponselnya, khawatir Karina yang berdiri beberapa meter di depannya mendengar. Tangan Dimas kini menjangkau pelipis, mengurutnya perlahan, berharap denyut menyakitkan di dalamnya bisa berkurang.Karena tak bisa mendengar suara bentakan Reno yang terekam di sana
“Aku nggak pernah lakukan ini dengan wanita mana pun selain kamu.” Dimas berbisik lembut, tangannya merapikan rambut basah Karina yang sedikit menutupi wajah, menyelipkannya ke balik telinga.Karina menunduk, matanya sendu, jemarinya bermain di atas pundak Dimas seolah mengukir sesuatu. Suaranya tak juga keluar, wajahnya kentara menunjukkan keraguan. Mungkin ingin bicara, tapi takut Dimas tak bisa menerima penjelasannya dan memilih pergi.“Kenapa kamu bisa berpikir begitu?” Dimas meraih pundak Karina, sebelah tangannya yang lain menarik dagu wanita itu agar tak lagi menunduk dan membalas tatapannya.“Aku … nggak sengaja temukan chat rekan kerjamu, namanya Caca kalau aku nggak salah ingat.” Karina terdiam sejenak, bibirnya gemetar, satu tetes air matanya meluncur. Dia bilang, hari Senin di kantor mau lagi. Dan dia panggil kamu ‘Mas’.”Dimas terperangah, keningnya lantas mengernyit, mencoba mengingat kapan dia pernah menerima pesan semacam itu dari Caca. “Nggak ada Kar. Caca nggak pern
Di tengah momen yang menghentikan waktu itu, Karina berbisik pelan di telinga Dimas, “Dim … malam ini … boleh ya?”Dimas membeku, tak langsung menjawab. Dia menarik bahu Karina menjauh agar mampu menatap langsung ke mata wanita itu, mencari kesungguhan. Sepasang mata Dimas berkilat penuh gairah. Karina, tubuhnya, pesonanya dan segala godaannya, telah melampaui seluruh level pertahanan Dimas. Terlalu kuat, terlalu dahsyat untuk dia kalahkan.Harusnya dia menjawab, ‘tidak’. Namun, getaran di sekujur tubuhnya, tatapannya, deru napasnya, semua sudah lebih dari sekadar jawaban jujur. Dia menginginkan Karina lebih dari apa pun. Dimas mendekatkan wajahnya, untuk sekali lagi, menghirup aroma wangi yang menguar di sekitar tulang selangka wanita itu. Aroma harum yang familiar itu membuat rasa hausnya memuncak, hingga secara naluriah giginya mendaratkan gigitan yang membuat Karina tersentak menahan desahan.Dimas mendongak, menatap Karina dengan mata menggelap penuh gairah. Dadanya naik turun







