LOGINDimas mengusap kening Karina yang basah dengan keringat. Jantungnya berdegup cepat, gabungan rasa takut dan sisa getaran aktivitas intim mereka sebelumnya.“Gelap? Gelap gimana?” Dimas mengernyit, tak bisa menyembunyikan kepanikan.Karina mengangguk satu kali, sangat pelan, dan masih dengan matanya yang terpejam. “Iya. cuma sekilas. Kayak berputar. Tapi … sekarang lebih baik.” Karina menarik tangan Dimas, menggenggamnya lembut, seolah mencari rasa aman.Tanpa melepas genggaman itu, Dimas buru-buru bangkit, meraih selimut dan menutupi Karina perlahan. Gegas dia mengangkat punggung Karina dengan satu tangan, lalu mengatur tumpukan bantal di belakang Karina agar wanita itu bisa bersandar nyaman dengan posisi kepala lebih tinggi.“Kar, jangan paksa gerak ya. Kamu istirahat dulu. Aku ambilin kamu minum.” Dimas mengusap sisa keringat di wajah Karina sejenak, lalu memakai celananya dengan cepat dan beranjak menuju dapur. Saat tangannya mengisi air minum dari dispenser, pikirannya yang berat
Dimas meneguk saliva kuat-kuat. Di tengah kebingungannya, Karina menarik leher Dimas hingga pria itu jatuh ke pelukannya. Wanita itu lalu berbisik dengan suara seraknya yang memancing rasa haus dalam diri Dimas, “Aku mau kamu, Dim.”Dimas membeku. Dia tak perlu menjawab. Karena desakan bagian tubuhnya di bawah sana sudah sangat jelas memberi jawaban. Sesuatu dalam diri Dimas berteriak bahwa dia seharusnya tetap menghormati Karina sampai dirinya menjadi pasangan sah. Tetapi …Pandangannya menelusuri Karina yang rebah di depannya: mata yang menatap sayu, mulut terbuka dengan napas terengah-engah, ditambah piyama yang tersingkap sampai atas hingga menyebabkan bagian bulat di balik bra itu menyembul sebagian.Dimas, lagi-lagi meneguk ludah.“Dim ….” Karina kembali berbisik, kali ini dengan wajah memohon—bahkan setengah merengek, yang sungguh sangat sulit Dimas tolak.Dan suara bisikan itu, tak ayal merontokkan seluruh pertahanan terakhir Dimas. Tangannya bergerak melucuti satu per satu
Dimas merebahkan diri di samping Karina yang berbaring menyamping—persis menghadapnya. Tatapannya terkunci pada Karina. Senyumnya mengembang lembut, sorot matanya menyiratkan kekaguman nyata.Tangannya terangkat, dengan gerakan lembut menyingkirkan rambut panjang Karina yang sedikit menutupi wajah. Hingga, tersingkaplah wajah cantik Karina yang terpejam damai.Rasanya masih sulit dipercaya. Wanita yang kini berada di depannya, adalah seseorang yang dulu hanya mampu dia kagumi dari jauh. Seseorang yang hanya mampu dia tatap diam-diam di tengah sesi belajar privat. Yang bahkan, tak pernah berani dia bayangkan untuk menjadi bagian dari masa depannya.Terlebih, seseorang yang akan mengandung anaknya.Tangan Dimas menyentuh lembut puncak hidung Karina, turun ke pipi mulusnya. Sensasi hangat dan lembut itu benar-benar teraba di jarinya. Batinnya kini yakin.Semua ini nyata.Karina di depannya nyata.Karina membuka mata. Dengan tatapan menyipit, wanita itu mengernyit, seolah sedang mencerna
“Mas, jadi Pak Reno tuh ada hubungan apa sama Mas?” Melia yang sedang berdiri di samping Dimas dan membantu menyiapkan beberapa cangkir kopi, sesekali melirik serius ke arah Kakaknya..Dimas menarik napas dalam-dalam. “Pak Reno suaminya Karina, Pacarnya Mas.” Dimas menjawab tegas. Kemudian dia bergumam pelan, “Harusnya sih segera jadi mantan suami.”Tring!Melia menjatuhkan sesendok penuh bubuk kopi ke lantai. Menyebabkan keramik berwarna cerah kini dihiasi taburan bubuk hitam yang menyebar tak karuan.Dimas menatap tajam pada kekacauan itu, lantas mendelik tajam ke arah Melia. “KOK BISA?” Melia membelalak lebar.Dimas di tempatnya merapatkan jari telunjuk ke bibir. “Sstt. Karina lagi tidur. Pelankan suaramu.” Dimas menoleh sekilas dengan kerlingan tajam.“Ternyata pacarnya Mas bukan hamil duluan? Tapi Mas pacaran sama istri orang yang lagi hamil? Kok Mas tipenya yang udah—”Dimas buru-buru membungkam mulut Melia yang volume-nya lepas kendali. Gadis itu masih saja menatap Dimas denga
Reno meneguk ludah. Jantungnya berdegup liar."Kami … sudah menyaksikan cukup banyak hari ini.” suara Pak Theo terdengar tenang, tetapi ada nada dingin yang tidak disukai Reno.“Kami melihat ketidakstabilan emosional anda, keamanan jaringan yang mengerikan, dan juga bagaimana anda menanggapi krisis di depan kami." Pak Theo memandang Pak Bram, yang hanya mengangguk tipis."Kami mengapresiasi upaya anda, tetapi … kami tidak bisa menaruh investasi sebesar ini pada perusahaan yang fondasi manajemennya begitu rapuh. Apalagi..." Pak Theo melirik ke arah meja kasir dengan barang-barang yang berserakan di bawahnya. Reno yang menangkap gestur itu buru-buru membereskannya dengan gelagat panik."... Direkturnya tidak mampu mengontrol amarah di depan mitra bisnis.” sindir Pak Theo dengan nada tajam.“Kami mundur, Pak Reno."Reno tersentak, buru-buru mendongak dengan wajah panik. "Tunggu! Pak Theo! Saya bisa jelaskan! Itu hanya penipuan! Hacker itu cuma mempermainkan saya!""Kami tidak beri
Brak! Dimas menutup pintu mobil ketika kakinya turun sempurna dari kemudi. Dia baru saja menghentikan kendaraan berwarna putih itu di depan lobby, menanti Karina yang kabarnya sedang dibawa keluar dari kamar. Ada degup tak biasa ketika benaknya membayangkan bahwa dia akan menemui kembali apa yang beberapa hari ini hilang darinya—suara lembut Karina, senyum manisnya, gelak tawanya, dan perhatian-perhatian kecilnya yang membuat Dimas merasa ‘utuh’. Saat dilihatnya Karina—yang masih mengenakan gaun berwarna beige, dengan wajah sembab dan rambut sedikit berantakan, keluar diiringi seorang pria, dunia seakan berhenti berputar. Seolah Dimas kembali menemukan cahaya setelah berhari-hari hidupnya terasa dikurung dalam kegelapan. Napas Dimas tercekat. Sudut bibirnya naik perlahan seiring haru melingkupi perasaannya. Karina berhenti melangkah. Tatapan sendunya melebar, seperti campuran rasa tak percaya, lega dan rindu. Langkahnya lalu bertambah cepat, hampir berlari. Hingga sesaat kemudia







