Karina melangkah tenang memasuki ruang tamu. Di belakangnya, suara pintu depan yang ditutup rapat oleh Dimas mengawali hening yang mendebarkan di dada. Senyap. Hanya ada dengung kipas angin plafon yang berputar, memecah sinar lampu di bawahnya.Karina mengusap lengan dengan gerakan jemari yang ragu. Suara langkah Dimas di belakangnya terdengar mendekat.Tenang, namun setiap hentaknya, memancing satu denyut menggetarkan di dada.Pada awal kedatangan Dimas, Karina tak menganggap pria itu lebih dari sekadar laki-laki yang memiliki pesona fisik sempurna. Sebatas itu.Namun, dendam atas semua perjuangan Karina yang berbalas pengkhianatan Reno, membuahkan keputusan nekat untuk mencari laki-laki lain yang bisa menghamilinya.Dan setelah Dimas datang … semesta seakan menyusun skenario sehingga Karina menentukan, Dimas adalah alat balas dendam yang tepat.Itulah awalnya. Tangan Dimas melingkar di pinggang Karina. Aroma maskulin pria lekas menyeruak, melumpuhkan setiap lapisan akal sehat Kar
“Kenapa jadi emosi gitu sih, Dim? Baru diajak barbeque-an sama mantan, gimana diajak berumah tangga?” celetuk Jimmy, kontan saja mengundang lirikan sinis Dimas.Genta di seberang nyaris menyemburkan tawa. Agus bergegas menyenggolnya hingga tawanya lekas diredam menjadi deheman.Jujur, sejak Ghina datang, Dimas merasa sangat tak nyaman. Apalagi Jimmy heboh meledeknya bagai mak comblang bayaran. Bahkan ketika Ghina baru saja menaruh gelas kosongnya, Jimmy langsung menggoda ‘Dim, beliin lagi dong. Kasihan tuh Ghina kopinya udah habis.’“Gue balik duluan.” Dimas berdiri. “Woy, Dimas! Kok balik sih lo? Dimas!” Jimmy menyahut dengan suara keras.Dimas hanya terus melangkah, berpura-pura tak mendengar. Suara kendaraan yang berlalu lalang dan klakson yang bersahutan mengiringi langkah Dimas menyusuri trotoar. Tiba-tiba sebuah tangan menahan lengannya dari belakang.“Dimas!” Dimas menoleh, menemukan Ghina sudah berdiri di belakangnya.“Kenapa pulang?” tanyanya, nada suaranya menyiratkan kec
Setelah satu minggu berlalu, Dimas akhirnya mulai menyesuaikan diri dengan ritme kerja di malam hari, dan tidur di siang hari. Sambil menatap bayangan diri pada cermin besar yang menyatu dengan lemari pakaian, Dimas memasukkan lengan ke dalam jaket berkerah andalannya. Malam ini, sesuai janji, Dimas akan pergi berkumpul dengan Genta, Agus dan Jimmy. Tujuannya kafe di depan MegaMart, jaraknya hanya lima belas menit berjalan kaki. Kabarnya, Genta sudah menempati kursi di sana. Jimmy akan menyusul setelah pulang dari meliput. Jadi, hanya Dimas dan Agus yang bertolak dari kosan. Bersama Agus, Dimas berjalan melewati gang yang tak terlalu sempit. Benaknya menghitung berapa jumlah sisa uang di dompetnya, dan berapa jumlah maksimal pengeluarannya untuk di kafe nanti. Dia masih harus bertahan setidaknya tiga minggu lagi sampai gaji pertamanya cair. Yang kebetulan, masuknya akan berbarengan dengan pembayaran aplikasi yang dia jual. Sepuluh miliar lebih akan masuk ke rekeningnya dala
Ghina mengembangkan seringainya ketika menemukan pemandangan Annaya dan Karina yang sedang ribut di area dapur. “Nggak Annaya, kamu salah dengar. Kakak sebut ‘Mas’!” ucap Karina yang kini membalikkan bahu meninggalkan dapur. Annaya kemudian tampak bergegas mengejar Karina. “Masa sih? Kok aku dengarnya ‘Dimas’?” timpal Annaya. “Salah dengar kamu!” Karina mendongak. Seketika, pandangannya bertemu dengan Ghina. Wanita bernama Karina itu mematung, terperangah. Tangannya sedikit gemetar. Mungkin baginya waktu terhenti selama beberapa detik. Ghina sekuat mungkin menahan diri untuk tak mendengus sinis. ‘Makanya, Tante, kalau sudah menikah, jangan mengaku-ngaku pacar orang lain. Kaget kan?’ Ghina mengembangkan senyum sesopan mungkin. Sementara Annaya berlari menghampiri sambil menyahut. “Nah, Kak. Ini temanku yang tadi kubilang mau pinjam baju. Kakak ada nggak blus, kemeja atau tunik gitu? Kayaknya ukuran Kakak sama Ghina nggak jauh beda deh.” Annaya memindai penampilan Ka
Alunan instrumen pengiring kafe terdengar sayup. Tak banyak orang yang duduk di kursi pengunjung pada siang hari begini. Di sudut ruangan di pinggir jendela, Ghina menyedot frapuccino-nya sesaat, kemudian lanjut mengetik cepat di laptop.Kantornya, sebuah perusahaan e-commerce besar memang memberlakukan sistem hybrid—sesekali kerja di rumah, sesekali kerja di kantor, dengan jadwal yang sudah ditentukan. Dan hari ini, adalah gilirannya mendapat jadwal work from home. Walau alih-alih bekerja dari rumah, dia memilih bekerja dari kafe, lebih produktif menurutnya.Ghina membuka satu tab berlatar hijau dan abu-abu di layar. Tampilan WA versi website itu menampilkan deretan chat. Pandangannya kini tertumbuk pada satu baris chat yang membuatnya termenung.[ Dimas, boleh ketemu nggak? ]Tangan Ghina kembali mengangkat gelas minumnya, menyedotnya sekilas. Tangannya mengerat lebih keras di badan gelas yang berembun itu. Chat yang dia kirim kemarin sore itu, walau sudah dibaca, tidak juga dibala
Dimas menarik dirinya, menatap Karina dengan ketegangan menggantung pekat di wajah. Jantungnya menggebu ramai di dada. “Diimmasss!! Bangun Dim!! Pinjam jaket dong! Jaket gue nggak ada yang kering!” Tok! Tok! Tok! Panik, matanya melirik kaku ke sekitar, kepalanya berdenyut memikirkan bagaimana dia menyelamatkan diri. Lebih baik tetap diam di lantai satu atau bergegas naik dan mengarang cerita yang mendukung? “Dim bangun woy, bro! Gue masuk ya!” Jantung Dimas bagai diremas ketika Jimmy mengancam akan masuk. Gawatnya, Dimas lupa mengunci pintu kamar. Krrrieeettt!! Sialan. Dia benar-benar membuka pintu. “Eh, nggak ada orangnya. Udah bangun dia? Kemana?” suara Jimmy mengecil. Sejurus kemudian suaranya kembali lantang terdengar. “Dimaaasss!!” Tampaknya dia kembali melangkah keluar kamar. Beruntung, Jimmy bersuara saat berjalan. Dimas jadi bisa melacak keberadaannya. Arah suara itu ke bagian belakang—ruang cuci jemur. Gegas Dimas beranjak pergi dari dapur. “Aku na