Home / Urban / Gairah Liar Ibu Kos Cantik / 4. Kecelakaan fatal

Share

4. Kecelakaan fatal

Author: Harucchi
last update Last Updated: 2025-09-19 10:18:03

Tangan Karina berhenti. Hening memerangkap sesaat. Hingga, wanita itu kembali melanjutkan kesibukannya.

“Kamu dengar semuanya?” suara itu sedikit gemetar, seperti berusaha terdengar tegar.

“Nggak semua sih. Sebagian besar, iya.” jawab Dimas berpura-pura santai. Padahal hatinya tak tenang sejak tahu Karina menjalani rumah tangga dengan kekerasan di dalamnya.

Karina hanya diam.

“Sudah berapa lama … dia perlakukan kamu kasar seperti itu?”

“Pelankan suaramu, Dim! Dia di bawah!” Karina menoleh tajam, “Aku nggak mau dia dengar kita ngobrol berdua begini.” bisik Karina dengan lirikan penuh peringatan.

Dimas tertegun, lantas melengoskan wajah. Rahangnya mengeras. Ada amarah yang tertahan ketika tahu bahwa Karina masih memikirkan perasaan suaminya.

Suaminya yang berengsek itu.

“Kami menikah sudah tiga tahun. Dan selama itu aku cuma jadi pajangan buatnya.” sambung Karina lagi, suaranya lebih pelan.

“Sudah tiga tahun dan kamu memilih bertahan?” tanya Dimas, sedikit geram.

“Bukannya memilih bertahan. Memang nggak ada pilihan untukku selain bertahan Dim.”

Dimas menaikkan alis, semakin tak mengerti. “Kenapa?”

“Aku harus melahirkan anaknya supaya utang keluargaku dianggap lunas. Makanya, sebelum dia menyentuhku dan membuatku hamil, aku nggak bisa pergi—”

“—Tunggu. Kalian menikah sudah tiga tahun dan dia nggak pernah menyentuhmu?”

Karina membisu. Tangannya turun ke samping badan. Entah seperti apa wajahnya sekarang karena posisi Dimas berada di belakangnya. Namun, Dimas tahu. Dari suara helaan napas Karina, punggung yang putus asa itu seolah berteriak menginginkan kebebasan.

“Dia punya pacar. Sejak sebelum kami menikah. Dan seluruh nafkah batin juga lahirnya, untuk wanita itu.”

Dimas mengeratkan rahang.

Bajingan.

Dimas bangkit berdiri, hendak menjemur setelah seluruh cuciannya selesai diperas. Tatapannya tajam. Dadanya masih bergemuruh usai mendengar ketidakadilan yang dilakukan suami Karina.

“Kalau kamu nggak diberikan nafkah, terus … selama ini uang makanmu dari mana?” Bisik Dimas yang kini berdiri di sebelah Karina, menggantungkan sepotong kaos.

“Dari kos-kosan.” Karina menjawab ringan. Tangannya berhenti sejenak untuk mengusap peluh di dahi. “Rumah ini milik keluarga Mas Reno. Uang kos semestinya kami berikan ke keluarga Mas Reno. Tapi mertuaku menolak, katanya untuk kami saja, karena kami yang mengelola.”

Dimas terdiam, tangannya fokus menggantungkan pakaian. Walau tampangnya tenang, sesungguhnya hatinya dipenuhi bara yang menggelora.

“Jadi kamu nggak terima uang dari gaji suamimu? Sepeser pun?”

Karina menggeleng. “Nggak. Uangnya dia berikan untuk pacarnya.” jawabnya enteng, seolah hal itu bukan perkara yang melukai hati. Atau mungkin, hati Karina yang sudah kepalang mati rasa?

Dimas mencengkeram erat cucian di tangannya, berusaha mengalihkan amarah yang menggelegak.

“Kamu nggak apa-apa?” Dimas menoleh, bertanya hati-hati.

“Ya mana mungkin lah Dim. Walau nggak cinta pun, dia tetap suamiku. Tempat seharusnya aku menerima rasa aman. Kadang aku berharap dia berubah, walau rasanya ….” Karina tersenyum getir. “Kayak harus nunggu kiamat.”

Dimas menghela napas berat. Ditatapnya Karina lekat-lekat. Saat itu, barulah dia sadari sesuatu. Ada rona kebiruan samar di pipi Karina.

“Dia menyerang wajahmu?” Dimas bertanya dengan nada khawatir. Tangannya spontan menjangkau sisi wajah Karina tanpa izin.

“Dim! Lepas!” Karina mendelik. Mungkin takut suaminya melihat. Namun Dimas tak gentar. Geram rasanya.

“Sebentar.” Pria itu memaksa, menggerakkan dagu Karina, menelisik.

“Kamu tunggu di sini. Aku ambilin salep.” Dimas beranjak ke kamarnya, mengambil salep yang dia simpan, lalu membawanya kembali ke balkon belakang.

“Sini. Mendekat.” Dimas membuka tutup salep, lalu menggerakkan telapak tangannya, memberi kode agar Karina maju lebih dekat.

Benar. Ada lebam samar di area pipi.

Dimas menghela napas kasar, segenap udara itu seolah tercekat saat melewati dada. Hanya melihat penderitaan Karina saja, dia bisa ikut merasakan sesak.

Bagaimana Karina yang merasakannya sendiri?

“Kamu habis diapain sampai begini?” bisik Dimas. Tangannya dengan lihai memoles sedikit salep ke permukaan yang membiru, meratakannya. Raut penuh kecemasan menggantung di wajahnya.

“Kamu nggak perlu tahu.” Karina menjawab lirih, wajahnya tampak menahan perih ketika Dimas menekan lukanya.

“Boleh aku minta kunci pagar di depan tangga? Kalau bisa, tangga yang di dalam.” tanya Dimas sambil menunduk, fokus menyolek salep dari dalam kemasan.

“Kenapa?”

Dimas terdiam. Matanya menatap Karina datar. Wanita itu membalasnya dengan ekspresi penuh tanya, seperti tak menemukan petunjuk secuil pun.

“Biar kalau kamu kenapa-kenapa, aku bisa nolongin.”

Karina menunduk, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Aku nggak bisa sembarangan kasih kunci.” ucapnya lirih, pandangannya beralih pada Dimas, tegas tak terbantah.

“Kar, suami kamu temperamental. Kita nggak pernah tahu apa yang terjadi ke depan. Buat jaga-jaga aja.”

Sungguh, Dimas tak ada maksud jahat, entah menyusup ke lantai satu untuk mencuri atau memanfaatkan keadaan mendekati Karina yang sendirian. Sama sekali tidak.

Dia hanya ingin Karina selamat dari teror suami yang kasar. Bahkan kalau bisa, selamat dari pernikahan neraka yang wanita itu jalani.

Namun, tatapan tajam Karina padanya menyadarkan Dimas. Dia hanya penghuni kos yang baru pindah. Karina tentu belum menaruh percaya padanya.

“Oke.” Dimas tertunduk. Mau bagaimana lagi.

“A-aku … balik duluan.” Karina mundur, namun kakinya tersandung ember cucian milik Dimas yang masih terisi penuh. Wanita itu memekik, tangannya mencari-cari pegangan, keseimbangannya kacau.

“Awas!” Dimas berseru, refleks tergerak menolong.

Detik berikutnya, suara berdebum terdengar. Semuanya terjadi begitu cepat hingga Dimas tak sadar dirinya yang berniat menarik tangan Karina malah terseret dan berakhir mendarat di atas tubuh Karina—dengan sentuhan lembut dan lunak di bagian dadanya.

Dimas mendelik. Sekujur tubuhnya menegang. Jantungnya memompa cepat. Kejantanannya bereaksi. Segala umpatan sumpah serapah banjir di kapala, menghakimi takdir dan kebodohan Dimas yang seharusnya buru-buru bangkit.

Namun alih-alih menjauh, badannya malah berkhianat. Napasnya menderu, panjang dan dalam.

Karina meringis, setengah terpejam dia menoleh ke wajah Dimas yang nyaris tak berjarak di depan wajahnya.

Dan tatapan itu, bagai memanggil akal sehat Dimas untuk mengambil kendali.

“M-maaf.” Dimas buru-buru bergegas bangkit. Namun baru sempat menggerakkan lutut, hal yang paling mengejutkan terjadi. Karina menahan tangannya.

Kali ini, kewarasan Dimas dibuat rontok hingga nyaris tak tersisa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   105. Aku mau kita cerai

    “Suara mobil Reno. Reno pulang.”Karina bergeming sejenak, hendak memastikan kembali suara yang menyambangi telinganya. Deru mesin mobil yang semula samar, kini jelas terdengar. Biasanya pria itu teriak-teriak kalau sudah berada di depan. Tetapi malam ini, ada Annaya dan Mama di rumah, dia pasti tidak berani bertindak kasar.“Aku kembali ke bawah.” Karina menatap Dimas, pria itu mengerutkan kening, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang dipendam.Dimas menghela napas kasar. “Oke. Kamu tadi bilang mau cerita. Nanti chat aku aja.” “Iya.” Karina mengangguk, lalu melepas genggamannya dari tangan Dimas. Tangan Dimas singgah sebentar di lengannya, seperti belum rela berpisah. “Hati-hati.” bisiknya.Karina tak menjawab, hanya mengulas senyum tipis.Setelah keluar dari kamar Dimas, Karina melangkah cepat menuruni anak tangga. Sedapat mungkin hentakannya diatur agar tak menciptakan suara.Hingga, anak tangga terakhir dia lewati dan Karina mendongak. Mulutnya refleks mengeluarkan suara jeritan

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   104. Menanti Reno

    Annaya datang mendekat sambil membawa ponsel yang memperdengarkan nada sambung. Benda itu dia letakkan di meja ruang tamu, memperlihatkan layar yang menampilkan panggilan ke kontak bernama ‘Mas Reno’. ‘Tuut … tuut ….’ Suara nada sambung itu menjadi satu-satunya yang terdengar di tengah senyap, menciptakan ketegangan yang mencekik Karina.“Halo?” suara berat pria terdengar dari speaker ponsel Annaya.“Reno, Ini Mama.”“Kenapa, Ma?”“Mama mau kasih tau kamu, Mama akan tanda tangan surat pelunasan hutangnya Karina—”“Tunggu dulu, Ma!”Pundak Karina menegang. Tentu Reno tak akan diam saja.“Dengar dulu, kesepakatannya kan kalau Karina melahirkan anakku. Anak itu masih di dalam kandungan, belum tentu dia lahir.”Gejolak amarah mendorong getaran di tangan Karina perlahan mengepal. Gemuruh panas di dadanya bagai mendesak untuk diluapkan. “Apa maksud kamu belum tentu dia lahir? Sembarangan kamu, Reno.” alis Mama bertaut curam, nada suaranya meninggi.“Yaa memang benar kan, Ma? Nanti sajal

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   103. Melepas rindu

    “Kar ….” suara Dimas yang serak itu terdengar lirih di tengah sunyi, menggetarkan satu sisi dalam diri Karina. Sisi dirinya yang terasa begitu haus, yang menginginkan kehadiran Dimas secara ‘lebih’.Karina merasakan sekujur tubuhnya menegang. Degup di dalam dadanya berdentum keras. Aroma maskulin yang menguar sangat tipis dari kulit Dimas di depannya bagai sihir yang menggerakkan tangannya di luar kendali—jemarinya kini mendarat lembut di sisi wajah Dimas, lalu naik ke rambutnya, menggelitik jemarinya untuk menjelajah ke belakang leher.Saat sentuhannya berakhir, detik itu, dia dapat merasakan deru napas Dimas berubah. Karina meneguk saliva, menata napasnya yang tanpa terasa, tak lagi beraturan. Seluruh fitur wajah Dimas yang terasa begitu dekat kini … mengundang gejolak rindu yang sejak lama meronta dan terus dia pendam. Namun sekarang telah menemukan penawarnya. Tatapan Dimas padanya tak lagi selembut sebelumnya. Kali ini tajam, dalam, menyiratkan dorongan yang Karina tahu maknany

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   102. Kembali berdebar

    “Ibu Karina, pasangan Pak Reno Wijaya?” suara perawat yang memanggil dari ambang pintu ruang poli terdengar nyaring menggema. Dimas menegakkan punggung, bangkit dan membungkuk perlahan. Walau tanpa menoleh pun, dia yakin, Rachel di belakang pasti tengah menatap penuh curiga ke arahnya.Satu tangan Dimas bergeser, pindah merangkul pundak Karina dari belakang. Mulutnya berdehem kecil, berupaya mengatur suaranya agar tak terdengar gugup. “Sayang, kita dipanggil. Ayo, kubantu berdiri.” gumam Dimas dengan nada datar, menyelami sandiwaranya sebagai seorang pria lain yang juga bernama ‘Reno Wijaya’.Dengan langkah pelan namun tegas, Dimas memapah Karina ke arah ruang poli. Tubuhnya sedikit dimiringkan untuk menutupi wajah Karina dari pandangan Rachel. Sementara kepala Karina dia benamkan ke bahu, seolah Karin hanyalah istri yang tengah menahan lelah di pelukan suaminya. Hingga, langkah mereka memasuki ruang poli dan pintu ditutup oleh perawat.“Selamat siang, Bu Karina.” dokter menyapa ram

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   101. Pertemuan tak terduga

    “Dim ….” Karina meringis kecil. Tangannya menjangkau area perut. Sebuah pemandangan yang membuat dada Dimas terasa ngilu bagai terhunus duri. Dia tahu, ada sesuatu yang mengancam nyawa calon bayinya. “Aku takut ….” Karina tampak menahan napas, sebelah tangannya mencengkeram kaos di pundak Dimas.Dimas menggeleng. Berusaha mengenyahkan beragam skenario buruk yang bermunculan di kepala. Kepanikan menyergap. Jantungnya berdetak cepat. “Sakit banget?” ucapnya terbata. Karina mengerjap sesaat. “Nggak … nggak terlalu intens. Tapi aku takut ….” Karina memindahkan pandangannya ke arah Dimas. “Takut kalau ini tanda bahaya.”Detik itu, waktu seolah berhenti. Hanya denging panjang dan suara detak jantung Dimas sendiri yang mengisi pendengaran. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Dimas bangkit. Dadanya bergemuruh, batinnya dipenuhi rasa takut.Takut kehilangan darah dagingnya, yang bahkan belum dia sapa sama sekali.“Kamu bisa turun tangga?”Belum sempat Karina menjawab, Dimas lekas memotong. “Ngga

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   100. Memeluknya lagi

    Tok! Tok! Tok!Tangan Karina tergesa-gesa meremas kertas ucapan dari Dimas dan menyimpannya ke dalam kepalan tangan.“Kak Karinaa! Dipanggil Mama diminta ke dapur sebentar kak!”Karina mengusap kasar pipinya yang masih basah. Dia berdehem singkat, berupaya agar suara dan ekspresinya kembali tertata.“Iyaa, Kakak keluar sebentar lagi.” Dalam gerakan cepat, Karina merapikan semua hadiah pemberian Dimas, lalu membuang kertas ucapan dari Dimas yang sudah membentuk bola kecil ke dalam keranjang sampah.Saat langkahnya berayun menuju dapur, pikirannya dipenuhi satu tekad: dia harus cepat-cepat keluar dari kehidupan rumah tangga ini.Hutangnya harus segera dinyatakan lunas. Mama harus segera menandatangani status lunas.“Ma,” Karina berdiri di ambang pintu dapur. Sang Mama mertua sedang mencuci tangan di wastafel.“Kamu jemurin cucian ya. Sudah Mama siapkan di ember, tinggal jemur. Jangan santai-santai.” Mama mengeluarkan titahnya tanpa menatap Karina. Mengernyitkan dahi, Karina memalingkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status