LOGIN“Kar?” di tengah upaya mengatur napas, Dimas menatap tangannya yang dicekal, pandangannya lalu pindah ke wajah Karina.
Wanita itu tampak mengernyit, seperti menahan sesuatu. “Dim … kamu ….” Karina meringis lirih. Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang bersenandung. Lagu metal yang dia nyanyikan sumbang, suaranya dibuat-buat serak setengah menjerit. Dan … suara itu mendekat. Kepanikan mendesak Dimas menarik Karina cepat, menyeretnya masuk ke dalam ruangan kecil mirip kamar mandi tak terpakai yang kini beralih fungsi jadi ruang mesin cuci. Dalam ruangan sempit itu, napas keduanya bersahutan. Saling memburu. Ruangan lembab itu terasa semakin pengap. Tubuh Karina bersandar di dinding, persis berhadapan dengan Dimas yang mencengkeram kedua bahunya. Dimas tersentak, tersadar sesuatu yang kini dia sesali. Buat apa dia menyeret Karina masuk ke sini? Merasa tertangkap basah melakukan hal mesum? Padahal kejadian tadi murni kecelakaan. Harusnya dia jelaskan saja kronologinya jikalau memang Jimmy melihat mereka tadi. Bodoh sekali Dimas! “S-Sorry banget. Nggak sadar bawa kamu ke sini.” Dimas menarik napas dalam-dalam. Dilepasnya kedua tangan dari bahu Karina, diangkatnya ke udara. “Sssttt!” Karina mendesis dengan satu jari menutup bibir. * Karina sebenarnya ingin bilang kalau Dimas menginjak kakinya. Tak disangka pria itu malah menyeretnya masuk ke dalam ruang mesin cuci. Sekarang, ketika dia sudah kepalang disembunyikan, mana mungkin dia tiba-tiba keluar? Malah mencurigakan. KREEK! Pintu bergeser, suara nyanyian Jimmy makin keras terdengar. Pria itu tampaknya sudah masuk ke area balkon. “Eh, cucian siapa nih tumpah begini? Punyanya orang baru ya?” suara itu ringan, tak ada tanda kecurigaan. Dari cela kecil di antara daun pintu, Karina mengintip Jimmy sedang celingukan ke sana ke mari. “Ini cuciannya sampai tumpah begini, kebelet berak ini dia.” Jimmy tertawa kecil. Dagunya diangkat penuh keyakinan, seolah tebakannya pasti akurat. Pria itu lantas sibuk menurunkan jemurannya satu per satu. Karina mundur, kembali menyandarkan punggungnya ke dinding. Napasnya dihela dalam, lega karena Jimmy tak menaruh curiga. Namun saat mengembalikan pandangan ke depan, seketika dia menyesal. Baru kini dia sadari, kehadiran Dimas begitu dekat. Terlalu dekat. Bukan hanya itu, deru napas pria itu terdengar bagai sesuatu yang berbahaya. Caranya menatap Karina … tidak biasa. Seolah menyimpan bara yang sekuat tenaga diredam. Karina menunduk kaku. Sialnya, detik itu dia malah menemukan seekor kecoak merayap cepat menuju kakinya. Refleks dia memekik memeluk Dimas. Dimas yang sepertinya juga sadar dengan kehadiran serangga itu melesatkan tangannya membekap pekikan Karina. Namun gerakannya mungkin kurang cepat. Karena … “Wih, ada orang ya?” Jimmy menyahut lantang. Gawat. Jimmy pasti sedang memusatkan perhatian ke ruang mesin cuci sekarang. Hening. Tak ada suara apa pun selain samar riuh lalu lintas di kejauhan. “WOY!” jerit Jimmy. Jantung Karina nyaris mencelos. Apa Jimmy sedang mendekat? Dada Karina seperti menyimpan genderang yang ramai. Dengan mata yang masih membeliak, Karina mendongak, menatap Dimas yang masih menempelkan tangannya di mulut Karina. Bagaimana ini? Apa harus membuat suara kucing? Tapi mulut Karina dibekap begini! “Orang baru? Lo di situ?” Sekujur tubuh Karina rasanya lemas. Ketahuan. Habis sudah. Tangan Karina terangkat, merengkuh lengan Dimas yang membekapnya, mencari sandaran dari rasa takut yang mencekiknya. Bagaimana kalau Jimmy mendekat dan membuka pintu? Namun tak disangka, alih-alih bungkam, Dimas malah menjawab. “Iya. Gue di dalam. Kenapa?” Sahut Dimas lantang. Wajahnya datar, seolah yakin semua akan baik-baik saja. “Lo ngapain? Berak?” Dimas tampak mengernyit sesaat sebelum berteriak, “Iya!” Karina terdiam. Kepanikannya sedikit reda walau pikirannya masih mencoba mencerna arah situasi. “Toiletnya di dalam, anjay! Itu udah nggak dipake!” Jimmy terbahak heboh. “Y-yaa … sorry gue nggak tahu. Nanti gue pindah.” “Yang bersih, ya bro! Selamat berjuang ya! Di situ kerannya mati.” Jimmy kembali tergelak. Pria itu lanjut bersiul. Hingga beberapa saat kemudian suara siulannya kian redam, lalu hilang. Karina menghirup napas sepuasnya ketika Dimas melepas tangannya. Matanya menatap Dimas lekat. Pria itu juga menghembuskan napas panjang dengan mata terpejam. Keduanya menyesapi kelegaan yang menyeruak. Ketegangan sudah lewat. Namun entah bagaimana, sentuhan Dimas seperti membekas di kepala. Lengan kekar yang hangat itu seolah membius Karina. Sampai-sampai, Karina baru sadar tangannya masih berada di lengan Dimas yang sudah turun ke samping badan. Tersentak Karina menarik tangannya. “Kar, aku boleh tanya?” Dimas menurunkan pandangannya, menatap wajah Karina yang menatap lurus ke depan. “Apa?” tanya Karina yang kini pura-pura menunduk, tak ingin menatap wajah Dimas yang sejak tadi membuat jantungnya menggebu. Tubuh Karina bagai disengat listrik saat Dimas menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya agar menatap wajah pria itu. “Dulu … waktu kamu berhenti ngajar, apa penyebabnya aku?” Dimas berbisik lirih. Pandangannya sendu, lurus dan dalam, bagai menembus masuk ke dalam relung hati Karina. Karina terdiam sesaat. Matanya menatap mata itu penuh kilatan ragu. Apa dia harus menjelaskannya sekarang? “Iya.” Karina meneguk saliva, menenangkan diri. Tak pernah dia sangka akan ada hari di mana dia mengakui sakit hatinya pada pria yang dulu pernah menorehkan trauma. Dimas berkedip. Kerutan dahi pria itu menyiratkan putus asa. “Bilang. Gimana aku bisa menebus salahku?” Karina bergeming. Memorinya melayang pada kejadian di masa lalu. Pada hari-hari ketika dia masih mengajar Dimas sebagai guru privat bahasa Inggris. Bukan sekali dua kali dia temukan tatapan Dimas padanya ‘berbeda’. Bukan tatapan seorang murid yang ingin belajar. Namun lebih seperti tatapan laki-laki yang menginginkan seorang wanita. Hingga, suatu hari, ketika mereka duduk berdekatan dan Karina menjelaskan detail tabel penggunaan tenses, Dimas mencuri ciuman darinya. Detik itu, segalanya berubah. Karina tak lagi melihat Dimas sebagai seorang anak didik. Melainkan bocah laki-laki yang melecehkan harga dirinya. “Karinaa!” seruan lantang itu mengejutkan Karina. Itu Reno. Reno di lantai dua.Karina mengangkat wajah, melongok ke balik pundak Rachel. Matanya membelalak saat menemukan sosok Reno tengah berdiri di kejauhan, bersandar persis ke sebuah pilar kayu di sampingnya. Tatapannya lurus ke arah Karina, lekat, seperti menelannya hidup-hidup.“Aku nggak mau temui dia, Martha.” Karina menundukkan wajah, berusaha menyembunyikan wajahnya di balik bayangan tubuh Martha, walau dia tahu, hal itu percuma.“Karina.” suara Dimas membuat Karina menoleh cepat. “Menurutmu, kita ketahuan?”Karina menelan ludah, sepenuhnya paham kekhawatiran Dimas. Dia mungkin mengira Reno menangkap basah dirinya dan Dimas sedang kencan berduaan.“Nggak, Dim.” Karina menggeleng. “Dugaanku, dia nggak ngenalin aku karena riasanku beda. Kita nggak tertangkap basah. Hanya ….”‘Hanya saja, dia tertarik padaku dalam penampilanku sebagai Sheila—penampilanku saat ini.’ Dan kalimat itu, entah bagaimana terasa begitu berat untuk diloloskan mulutnya. Ada rasa takut dan cemas yang menahan lidahnya. Bagaimana bila
Sepuluh miliar lebih telah masuk ke rekeningnya.Ada degup jantung tak biasa ketika Dimas membaca deretan angka itu. Setelah siang-malam penuh kerja keras, berkali-kali hampir menyerah, dan menjalani kehidupan yang hanya berputar di tiga titik: kopi, laptop dan malam-malam tanpa tidur, semuanya seperti terbayar lunas.Dimas menggenggam ponsel dengan tangan yang gemetar. Mulutnya meloloskan dengusan kecil—sebuah ekspresi tak percaya. Matanya berkilat penuh haru yang meluap.Melintas dalam benaknya seluruh perjuangan yang telah dia lewati: berkali-kali menulis ulang ratusan baris kode karena error setiap kali dijalankan, tertidur dengan kepala pening dan menemukan layar laptop masih menampilkan pesan yang sama ‘syntax error’, hingga di titik yang paling rendah, saat kode yang dia bangun berbulan-bulan rusak total setelah update library utama.Kala itu, Dimas hampir memutuskan untuk berhenti. Namun suara hinaan Bapak, juga pengkhianatan Ghina yang mencampakkannya demi Ares, menjadi pecut
Langit bersemburat jingga ketika Dimas memasuki balkon belakang, hendak mengambil jemuran kering. Saat pintu digeser, sosok pria kurus dengan rambut ikal dan kacamatanya yang khas tampak sedang mengambil cuciannya yang digantung di tali jemuran.Agus. Sudah berapa lama sejak terakhir dia bertemu Agus? Sejak Agus mengetahui rahasia hubungannya dengan Karina, dia jadi menjauh, memilih menghukum Dimas dengan menolak keberadaannya, selalu menghindar dan menganggap Dimas seperti sesuatu yang menjijikan.Satu pakaian Agus digantung tepat di depan Dimas. Dimas membantu mengambilkannya. Saat dia mengoper sepotong kaos itu ke hadapan Agus. Pria berkulit gelap itu melirik ke arah Dimas sekilas, lalu mengambilnya dari tangan Dimas, tanpa ucapan terima kasih.“Gus.”Hening. Agus tak menoleh. Masih sibuk melepas satu per satu cucian yang dijepit di jemuran tambang.“Kalau lo mau pinjam uang sekarang gue udah ada.”Gerakan tangan Agus berhenti. Pria yang sedang memunggungi Dimas itu tampaknya teng
“Kamu … kamu serius?” Reno mengalihkan fokus dari kemudi, menatap tajam Rachel di sebelahnya sejenak. “Rupa suaminya seperti apa?”Rachel tampak memijat salah satu sisi keningnya. Dahinya berkerut, “Aku … nggak lihat persis wajahnya. Tapi … yang aku perhatikan, suaminya kayak berusaha nutupin wajah istrinya. Buat aku sih itu mencurigakan.”Kerutan di kening Reno semakin dalam. Iya, mencurigakan. Memangnya seberapa besar kemungkinan ada dua Karina bersuami Reno Wijaya? Aneh. Bisa saja itu memang Karina.Dan lelaki yang mendampinginya, adalah ayah biologis bayi dalam kandungan Karina.Rahang Reno menegang. Ekspresinya kini campuran geram, amarah dan rasa tak sabar. Dadanya bergemuruh. Dia sudah dekat dengan jawaban dari teka teki dengan siapa Karina berhubungan.“Coba kamu jelasin ciri-ciri pasangannya gimana?” “Suaminya pakai jaket hoodie abu-abu.” Rachel melirik ke langit-langit. Kalimatnya meluncur lambat, seperti tersendat ragu. “Istrinya … tubuhnya kayak tinggi rata-rata perempuan
Reno menatap arloji mengilap di lengannya, pukul empat dini hari. Badannya masih terasa remuk setelah menempuh penerbangan dari Kalimantan ke Jakarta. Ketika baru sampai rumah, emosinya dikuras dengan kehamilan Karina yang entah dengan siapa. Dan sekarang, dia harus menghadapi Rachel yang masih merajuk—padahal wanita itu baru saja dia antar ke IGD setelah dia membahayakan diri dengan mengemudi di atas batas kecepatan wajar. Alih-alih terima kasih, malah sikap ketus yang didapatinya.Ah, kesal. Rasanya seperti seluruh ujian hidup berkumpul di hari yang sama.Mobil berhenti di persimpangan lampu merah. Lalu lintas masih cukup sepi. Jalan raya saat ini didominasi truk-truk kontainer dan dan mobil pick up dengan muatan barang. Suara ritmis dari sein mobil mengisi hening. Di tengah temaram suasana kabin mobil yang sunyi, Reno menatap kosong lalu lintas kendaraan yang sedang bergerak membelah jalur tempatnya berada.Pikirannya tanpa sadar malah melayang pada sosok Sheila. Wanita cantik den
“Sayang … perutku sakit.” suara itu terdengar jelas walau Reno tidak mengaktifkan mode loudspeaker.Karina menaikkan sebelah alis, menikmati pemandangan Reno yang gelagapan menatap waspada ke sekitar. Mama di depan kamar. Karina di sebelahnya. Semua bisa mendengar pembicaraannya di telepon.“S-saya ke sana sekarang!”Karina mendengus. Saya? Formal sekali.Dia mau bersandiwara seperti apa lagi?“Ma, ada pekerjaan mendadak yang harus kuurus. Aku pergi dulu.”Pekerjaan. Benar. Jika tujuannya Rachel, kedoknya pasti pekerjaan. Dinas-dinas ke luar kota-nya yang dulu itu, kemungkinan besar sama sekali bukan dinas, melainkan kunjungan ke rumah selingkuhan.“Kamu baru sampai rumah, Reno! Mau ke luar lagi?” Mama bertanya dengan lengan dilipat di depan dada. Matanya membelalak penuh protes. Namun, suara Rachel barusan jelas terdengar sedang menahan sakit. Dan jika sudah menyangkut keselamatan Rachel, mana mungkin Reno mau menunda.“Iya, penting sekali. Harus malam ini juga.” Reno sibuk membongk







