LOGINDengan napas memburu, Dimas bergegas masuk ke dalam ruang tengah lantai dua. Dari dalam, rupanya suara pertengkaran suami-istri itu semakin jelas terdengar. Tangisan Karina mengiris hati. Dan bentakan sang suami yang kasar itu membuat darah Dimas mendidih.
Tergesa Dimas menggedor salah satu pintu kamar rekan kosnya yang dia tak kenal orangnya. Tok! Tok! Tok! Tok! Tok! Begitu pintu terbuka, muncul sosok pria berwajah oriental yang tampak sebaya dengannya. Rambutnya berantakan, matanya nyaris terpejam, celana pendek dan singlet putih membalut tubuhnya yang relatif pendek. “Maaf, Mas. Saya baru pindah ke kamar sebelah. Mau tanya, punya kunci gerbang pagar yang di tangga nggak?” Sementara Dimas menunggu jawaban, suara hantaman dan jeritan Karina kembali terdengar. Rahang Dimas mengencang. Tangannya mengepal kuat. Tatapan Dimas yang berubah kian tajam seolah terbaca oleh pria di seberangnya. “Kenapa emang? Lo mau misahin?” pertanyaan itu bernada tenang. Seakan situasi neraka di lantai satu itu sesuatu yang wajar terjadi. Atau mungkin parahnya, pemandangan normal yang kerap terlihat sehari-hari. “Lupain aja. Jangan ikut campur. Udah biasa kok itu.” pria berkulit putih itu berujar enteng. Seperti orang yang sudah menyerah untuk peduli. Dimas menatapnya lama. Keningnya mengernyit dalam. Sungguh, dia tidak mengerti. Bagaimana bisa jeritan tangis dan suara hantaman seperti itu dianggap biasa? “Mending tutup mata dan telinga. Lo yang bakalan repot kalau berurusan sama Bapak kos.” dia menarik daun pintu hingga nyaris tertutup rapat, namun tiba-tiba dia membukanya lagi. “Gue Jimmy by the way, dan … gue nggak punya kuncinya.” Blam! Kali ini pintu benar-benar ditutup tepat di depan wajah Dimas. Dimas menghela napas berat. Tubuhnya yang semampai dihempaskan ke lantai, menyender di susuran yang mengelilingi area terbuka dengan pandangan bebas ke lantai satu. Tiga deret kamar-kamar kos itu memang menghadap langsung ke area ruang terbuka ini. Di sana, rupanya juga ada tangga menuju lantai satu. Namun sama saja, dipagari sebatas dada dan pagarnya dikunci. Masih dibayangi rasa gelisah, Dimas bergeming, membiarkan suasana sunyi, hendak memastikan situasi di lantai satu. Suara tangisan itu sudah tak lagi terdengar. Bentakan itu juga tak lagi ada. Hening. Hanya terdengar bising samar lalu lintas malam perkotaan. Hingga, hembusan napas Dimas terdengar kasar, seakan sesaknya ikut terempas. Dimas mendongak. Tangannya menarik rambutnya ke belakang. Dalam diam, batinnya berperang. Mungkin Jimmy benar. Ini masalah rumah tangga orang lain yang Dimas tidak tahu duduk perkaranya. Ikut campur dan sok menjadi pelindung bisa jadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dia hanya penghuni kos yang baru pindah. Jangan nekat. Jangan membuat masalah. Namun suara lain yang lebih lantang, lebih jujur, seakan berteriak dalam dirinya. Bergaung tak mau diam, bahwa … dia mendengar sendiri jeritan dan suara hantaman itu. Dia melihat sendiri bagaimana Karina ditolak kasar di depan pagar. Karina butuh pertolongan. Apa dia mau pura-pura buta dan tuli seperti para penghuni kos yang apatis ini? Akan tetapi, apa yang bisa dia lakukan untuk Karina? Membawanya kabur? Dia siapa? Dimas memijit pelipisnya yang terasa pening. Malam itu, niatnya untuk kembali tidur setelah meeting berakhir menjadi rencana semata. Karena nyatanya, pikirannya penuh hingga kantuk tak juga hadir meski fajar menyingsing. * Matahari nyaris tegak di atas kepala ketika Dimas mengangkat seember berisi cucian yang sudah dia cuci menuju balkon bagian belakang lantai dua. Tepatnya, area terbuka khusus cuci-jemur. Ketika pintu pembatas balkon dia geser, pandangannya disambut sosok wanita yang semalaman memenuhi kepalanya. Di antara aroma floral pengharum pakaian yang menyeruak, pemandangan Karina yang sedang menjemur di bawah terik matahari terlihat memanjakan mata. Pipinya bersemu merah, rambut hitamnya dikuncir asal, celana pendeknya menampilkan bagian paha yang mulus, berisi, seakan bersinar terpantul cahaya matahari. Dan yang membuatnya paling sulit berpikir jernih … bagian bulat dan besar sang wanita yang berayun lembut saat dia menunduk mengambil potongan cucian. Dimas menaruh embernya ke bawah. Sungguh tak mengerti. Istri semenarik ini, malah disakiti oleh suaminya. Apa pria itu kelainan? Dimas melepas puntung rokok yang sejak tadi tersemat di antara bibir. Asap putih yang dihembuskan menguar, menyatu dengan udara. Saat itulah Karina sadar dengan kehadiran Dimas, lalu mendongak, mempertemukan pandangan mereka. “Dimas?” Dimas mengembangkan senyum tipis. “Perlu dibantu?” “Nggak usah. Udah mau selesai.” “Udah mau selesai gimana? Itu.” Dimas menggerakkan dagunya ke sudut balkon, ke arah ember kecil yang masih terisi penuh cucian basah. “Masih seember.” “Nggak usah, Dim. Kamu kan juga mau menjemur. Jemur aja pakaianmu.” Tatapan Karina menunjuk ke arah ember yang dibawa Dimas. Tidak ingin Karina menghirup asap rokok darinya, Dimas menghampiri asbak di atas meja, mengusaknya pelan, membiarkan gulungan tembakau itu tergeletak di sana. Angin berhembus ringan ketika Dimas pindah berjongkok, memilih memeras pakaian terlebih dahulu dengan posisi ini. Karena sungguh. Dari sudut ini, pandangannya lebih terjaga. Dari pemandangan dada Karina yang sejak tadi membuyarkan fokus, menarik-narik matanya, membuat sekujur tubuhnya bergetar menahan gejolak yang menggedor rusuknya. “Kamu … baik-baik aja Kak?” Dimas bertanya tenang. Gagal menahan diri mengutarakan pertanyaan paling sensitif yang semalaman penuh membuatnya sakit kepala. “Nggak usah panggil ‘Kak’. Saya merasa nggak pantas. Saya bukan guru lesmu lagi, Dim.” jawab Karina tenang, namun dalam, bagai menyimpan perih yang tak terucap. “Bu? Ibu kos?” Karina mendenguskan tawa. “Biasanya mereka panggil saya ‘Mbak’.” jawabnya, tangannya masih sibuk membentangkan cucian, atau memasang gantungan. “Saya panggil Karina aja boleh?” tanya Dimas iseng. Setengah serius, setengah menguji. Karina menoleh sekilas, alisnya bertaut seperti akan memprotes. Namun tak juga diutarakannya. “Iya, boleh.” Dimas tercengang. “Nggak apa-apa nih, saya panggil Karina? Kita beda sepuluh tahun loh.” pancing Dimas lagi. Lucu sekali melihat warna pipi Karina merona tipis. Karina menggumam pelan, menyatakan persetujuan. Sontak saja Dimas mengembangkan senyum lebar. “Jadi … gimana kabar kamu? Baik-baik aja?” tanya Dimas, berusaha menggali. “Baik.” suara itu enteng. Tak ada nada kepura-puraan. Dimas menoleh ragu, “Yakin?” Hening sejenak. “Kenapa nggak yakin?” jawab Karina tak acuh. Tangannya masih sibuk memasukkan cucian basah ke dalam gantungan pakaian. Dimas tertegun. Menyadari bahwa selama ini mungkin Karina terus berpura-pura kelihatan kuat di depan orang lain. Menghela napas panjang, Dimas kembali fokus pada cuciannya sendiri, lalu berujar tenang. “Saya dengar keributan semalam.”“Sayang … perutku sakit.” suara itu terdengar jelas walau Reno tidak mengaktifkan mode loudspeaker.Karina menaikkan sebelah alis, menikmati pemandangan Reno yang gelagapan menatap waspada ke sekitar. Mama di depan kamar. Karina di sebelahnya. Semua bisa mendengar pembicaraannya di telepon.“S-saya ke sana sekarang!”Karina mendengus. Saya? Formal sekali.Dia mau bersandiwara seperti apa lagi?“Ma, ada pekerjaan mendadak yang harus kuurus. Aku pergi dulu.”Pekerjaan. Benar. Jika tujuannya Rachel, kedoknya pasti pekerjaan. Dinas-dinas ke luar kota-nya yang dulu itu, kemungkinan besar sama sekali bukan dinas, melainkan kunjungan ke rumah selingkuhan.“Kamu baru sampai rumah, Reno! Mau ke luar lagi?” Mama bertanya dengan lengan dilipat di depan dada. Matanya membelalak penuh protes. Namun, suara Rachel barusan jelas terdengar sedang menahan sakit. Dan jika sudah menyangkut keselamatan Rachel, mana mungkin Reno mau menunda.“Iya, penting sekali. Harus malam ini juga.” Reno sibuk membongk
“Suara mobil Reno. Reno pulang.”Karina bergeming sejenak, hendak memastikan kembali suara yang menyambangi telinganya. Deru mesin mobil yang semula samar, kini jelas terdengar. Biasanya pria itu teriak-teriak kalau sudah berada di depan. Tetapi malam ini, ada Annaya dan Mama di rumah, dia pasti tidak berani bertindak kasar.“Aku kembali ke bawah.” Karina menatap Dimas, pria itu mengerutkan kening, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang dipendam.Dimas menghela napas kasar. “Oke. Kamu tadi bilang mau cerita. Nanti chat aku aja.” “Iya.” Karina mengangguk, lalu melepas genggamannya dari tangan Dimas. Tangan Dimas singgah sebentar di lengannya, seperti belum rela berpisah. “Hati-hati.” bisiknya.Karina tak menjawab, hanya mengulas senyum tipis.Setelah keluar dari kamar Dimas, Karina melangkah cepat menuruni anak tangga. Sedapat mungkin hentakannya diatur agar tak menciptakan suara.Hingga, anak tangga terakhir dia lewati dan Karina mendongak. Mulutnya refleks mengeluarkan suara jeritan
Annaya datang mendekat sambil membawa ponsel yang memperdengarkan nada sambung. Benda itu dia letakkan di meja ruang tamu, memperlihatkan layar yang menampilkan panggilan ke kontak bernama ‘Mas Reno’. ‘Tuut … tuut ….’ Suara nada sambung itu menjadi satu-satunya yang terdengar di tengah senyap, menciptakan ketegangan yang mencekik Karina.“Halo?” suara berat pria terdengar dari speaker ponsel Annaya.“Reno, Ini Mama.”“Kenapa, Ma?”“Mama mau kasih tau kamu, Mama akan tanda tangan surat pelunasan hutangnya Karina—”“Tunggu dulu, Ma!”Pundak Karina menegang. Tentu Reno tak akan diam saja.“Dengar dulu, kesepakatannya kan kalau Karina melahirkan anakku. Anak itu masih di dalam kandungan, belum tentu dia lahir.”Gejolak amarah mendorong getaran di tangan Karina perlahan mengepal. Gemuruh panas di dadanya bagai mendesak untuk diluapkan. “Apa maksud kamu belum tentu dia lahir? Sembarangan kamu, Reno.” alis Mama bertaut curam, nada suaranya meninggi.“Yaa memang benar kan, Ma? Nanti sajal
“Kar ….” suara Dimas yang serak itu terdengar lirih di tengah sunyi, menggetarkan satu sisi dalam diri Karina. Sisi dirinya yang terasa begitu haus, yang menginginkan kehadiran Dimas secara ‘lebih’.Karina merasakan sekujur tubuhnya menegang. Degup di dalam dadanya berdentum keras. Aroma maskulin yang menguar sangat tipis dari kulit Dimas di depannya bagai sihir yang menggerakkan tangannya di luar kendali—jemarinya kini mendarat lembut di sisi wajah Dimas, lalu naik ke rambutnya, menggelitik jemarinya untuk menjelajah ke belakang leher.Saat sentuhannya berakhir, detik itu, dia dapat merasakan deru napas Dimas berubah. Karina meneguk saliva, menata napasnya yang tanpa terasa, tak lagi beraturan. Seluruh fitur wajah Dimas yang terasa begitu dekat kini … mengundang gejolak rindu yang sejak lama meronta dan terus dia pendam. Namun sekarang telah menemukan penawarnya. Tatapan Dimas padanya tak lagi selembut sebelumnya. Kali ini tajam, dalam, menyiratkan dorongan yang Karina tahu maknany
“Ibu Karina, pasangan Pak Reno Wijaya?” suara perawat yang memanggil dari ambang pintu ruang poli terdengar nyaring menggema. Dimas menegakkan punggung, bangkit dan membungkuk perlahan. Walau tanpa menoleh pun, dia yakin, Rachel di belakang pasti tengah menatap penuh curiga ke arahnya.Satu tangan Dimas bergeser, pindah merangkul pundak Karina dari belakang. Mulutnya berdehem kecil, berupaya mengatur suaranya agar tak terdengar gugup. “Sayang, kita dipanggil. Ayo, kubantu berdiri.” gumam Dimas dengan nada datar, menyelami sandiwaranya sebagai seorang pria lain yang juga bernama ‘Reno Wijaya’.Dengan langkah pelan namun tegas, Dimas memapah Karina ke arah ruang poli. Tubuhnya sedikit dimiringkan untuk menutupi wajah Karina dari pandangan Rachel. Sementara kepala Karina dia benamkan ke bahu, seolah Karin hanyalah istri yang tengah menahan lelah di pelukan suaminya. Hingga, langkah mereka memasuki ruang poli dan pintu ditutup oleh perawat.“Selamat siang, Bu Karina.” dokter menyapa ram
“Dim ….” Karina meringis kecil. Tangannya menjangkau area perut. Sebuah pemandangan yang membuat dada Dimas terasa ngilu bagai terhunus duri. Dia tahu, ada sesuatu yang mengancam nyawa calon bayinya. “Aku takut ….” Karina tampak menahan napas, sebelah tangannya mencengkeram kaos di pundak Dimas.Dimas menggeleng. Berusaha mengenyahkan beragam skenario buruk yang bermunculan di kepala. Kepanikan menyergap. Jantungnya berdetak cepat. “Sakit banget?” ucapnya terbata. Karina mengerjap sesaat. “Nggak … nggak terlalu intens. Tapi aku takut ….” Karina memindahkan pandangannya ke arah Dimas. “Takut kalau ini tanda bahaya.”Detik itu, waktu seolah berhenti. Hanya denging panjang dan suara detak jantung Dimas sendiri yang mengisi pendengaran. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Dimas bangkit. Dadanya bergemuruh, batinnya dipenuhi rasa takut.Takut kehilangan darah dagingnya, yang bahkan belum dia sapa sama sekali.“Kamu bisa turun tangga?”Belum sempat Karina menjawab, Dimas lekas memotong. “Ngga







