Home / Romansa / Gairah Liar Istriku / Bab 1. Batal Selingkuh

Share

Gairah Liar Istriku
Gairah Liar Istriku
Author: Gibran Dangumaos

Bab 1. Batal Selingkuh

last update Last Updated: 2025-01-14 22:34:32

Nara berdiri di depan cermin besar di kamar tidurnya. Gaun satin hitam yang membalut tubuhnya mempertegas keanggunan sekaligus aura sensualnya. Dengan tangan terampil, ia menyisir rambut panjangnya, menyiapkan diri untuk menghabiskan malam yang dijanjikan penuh petualangan. Akan tetapi, sorot matanya tak memandang pantulan dirinya di cermin. Ia hanya terpaku pada layar ponsel di atas meja rias yang baru saja menampilkan sebuah pesan singkat dari Arka:

“Sudah siap, sayang? Aku di lobi.”

Dehaman kecil keluar dari bibirnya, setengah menikmati getaran-getaran dan bayangan-bayabgan sensasi yang mendebarkan dari situasi ini, Hati Nara serasa dikepung oleh ketegangan tak kasat mata.

"Arka, aku sungguh merindukan semua sentuhanmu. Dan aku tidak sabar malam ini kita akan kembali bertemu," gumam Nara dengan hati berdebar kencang saat membaca pesan yang baru saja Arka kirimkan.

Untuk sesaat, gairah liarnya tak bisa lagi ia padamkan, Nara bahkan bisa membayangkan setiap sentuhan memabukkan yang selalu membuatnya melayang dari pria itu.

Sentuhan dan kelembutan penuh perhatian di atas tempat tidur, yang tak pernah ia dapatkan dari Rama suami super sibuknya itu.

Namun atmosfer hangat itu tiba-tiba hancur seketika saat suara Rama, suaminya, terdengar menggema dari balik pintu.

“Nara! Kamu ngapain?” tanyanya dengan nada datar dan dibalut nada lain. Nada penuh curiga.

Nara menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mulai mengintai. Ia berjalan ke pintu dan membukanya dengan senyum tipis di wajahnya.

“Ada apa, Rama?” tanyanya seolah tak ada apa-apa.

Tatapan Rama segera jatuh ke gaun yang dikenakan Nara. Tatapan mata dan gestur di wajahnya menyiratkan rasa tidak senang. “Kamu mau ke mana, malam-malam begini dengan penampilan seperti itu?” tanyanya, alisnya bertaut, sorot matanya tajam menghujam jantung.

“Aku ada acara,” jawab Nara santai, mencoba mengalihkan suasana. “Aku butuh waktu untuk bertemu teman-teman. Lagipula kamu sibuk terus dengan pekerjaan. Aku nggak mungkin duduk-duduk di rumah setiap hari, kan?”

Rama mendekat. Tangannya meremas ujung meja rias, hanya beberapa inci dari ponsel yang tergeletak di sana. Pandangannya yang gelap, siap menelanjangi alasan-alasan Nara.

“Oh, begitu? Teman-teman yang mana? Sejak kapan kamu punya ‘teman’ yang aku nggak tahu?” tanyanya tajam, seperti pisau yang menusuk.

Detak jantung Nara makin cepat, tetapi ia tidak boleh goyah. Jika ia menunjukkan rasa takut, Rama akan mencium darah seperti serigala yang sedang kelaparan.

“Kamu selalu curiga nggak jelas, Rama,” katanya dengan nada mengeluh, “Aku hanya butuh waktu untuk diri sendiri. Aku bukan tawanan di rumah ini.”

“Apa? Curiga nggak jelas?” Rama tertawa kecil, tawa yang penuh kebencian. “Kamu pikir aku bodoh, hah? Aku tahu ada yang nggak beres sejak lama!”

Rama tiba-tiba menyambar ponsel Nara dari meja rias. Gerakannya begitu cepat hingga Nara tidak sempat menghentikannya.

Nara panik, ia mencoba merebutnya Kembali, “Rama, jangan! Jangan Rama!” serunya, tapi Rama sudah melangkah mundur, membuka layar ponsel dengan kemarahan yang tak terkendali.

Pesan dari Arka segera memenuhi layar:

“Aku tunggu di kamar 305, ya. Jangan lama-lama, sayang.”

Deg …

Suasana di kamar itu mendadak terasa seperti jurang yang menganga dan siap menelan mereka berdua. Wajah Rama berubah drastis. Matanya yang sebelumnya gelap kini seperti api yang menyala-nyala. Ia mengangkat ponsel itu tinggi-tinggi dan membantingnya ke lantai. Layar kaca pecah berkeping-keping, memantulkan sisa-sisa kehidupan pernikahan mereka yang mulai retak.

“Siapa dia, Nara? Siapa ARKA?! Kamar 305?! Kamu mau ngapain di sana?!” Bentakan Rama menggelegar di dalam kamar.

“Itu bukan seperti yang kamu pikirkan, Rama! Aku bisa jelaskan!” Nara mencoba bertahan dengan suara yang bergetar.

“Bisa jelaskan apa, hah?!” Rama meraih pundaknya dengan kasar, membuat Nara terdorong ke dinding. “Kau SELINGKUH, kan?! Aku sudah lama mencium bau busuk ini, tapi aku terlalu bodoh untuk percaya kamu! Ternyata aku nggak salah, kau memang perempuan MURAHAN!!”

“Arka hanya teman biasa, Rama! Kamu terlalu berlebihan!” potong Nara, mencoba menyelamatkan dirinya.

“TEMAN?! Teman apa yang mengajakmu ke kamar hotel?! Jangan bodohi aku, Nara!” Rama semakin mendekat, nadanya semakin memekakkan telinga.

Air mata Nara mulai jatuh. Bukan karena merasa bersalah, melainkan karena ketakutan.

“Aku butuh ruang, Rama. Aku butuh seseorang yang bisa mengerti aku. Kamu selalu sibuk dengan pekerjaan, nggak pernah punya waktu buat aku!” teriak Nara, mencoba membalik keadaan.

“Jadi, ini salahku sekarang, hah?!” Rama membalas dengan nada getir. “Aku banting tulang kerja buat apa? Supaya kamu bisa dandan cantik buat pria lain?! Kau manusia macam apa?!”

“Kalau kamu memang peduli, kamu nggak akan biarkan aku merasa sendirian selama ini!” balas Nara dengan emosi. “Aku hanya mencari perhatian yang nggak pernah aku dapatkan dari kamu, Rama!”

Jawaban itu membuat Rama terpaku sejenak, namun emosi segera menguasainya kembali. Ia menggebrak meja rias hingga segala benda di atasnya terjatuh. Botol parfum, sisir, dan cermin kecil berserakan di lantai, mencerminkan kekacauan di antara mereka.

“Nara! Kau benar-benar tidak tahu diri! Aku memberimu segalanya! Jadi ini balasannya?!” teriak Rama lagi, suaranya parau karena marah sekaligus luka yang menganga.

“Kamu hanya memberiku uang, Rama! Kamu nggak pernah hadir untukku. Kamu bahkan nggak peduli aku butuh apa!”

“Aku nggak peduli?!” Rama menunjuk dirinya sendiri dengan marah. “Kamu yang egois, Nara! Aku ada untuk kamu, untuk rumah ini, untuk hidup kita! Dan sekarang aku tahu, semua itu sia-sia! Semua omong kosong! Kau hanya wanita murahan yang menjual harga dirinya untuk sensasi murahan!”

Kata-kata itu menghantam Nara seperti tamparan keras. Tapi ia tidak mau kalah. Ia menggenggam ujung gaunnya erat-erat, menahan gemetar di tubuhnya.

“Kalau aku seperti itu, salah siapa, Rama? Kamu membuatku seperti ini!”

Suara tawa Rama yang getir memenuhi ruangan.

“Oh, jadi aku yang salah?! Salah karena aku menikahimu? Salah karena aku terlalu percaya sama wanita yang ternyata hanya bisa menghancurkan segalanya?!”

Pintu kamar tiba-tiba terdorong keras hingga hampir terlepas dari engselnya saat Rama keluar, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan …, “Aku nggak peduli lagi, Nara. Mulai detik ini, kau adalah wanita asing. Kita SELESAI!”

Pintu terbanting menutup dengan keras, suaranya menggema di seluruh rumah.

Nara terhuyung mundur hingga tubuhnya menyentuh dinding. Ia terduduk di lantai, menatap kosong pada layar ponsel yang kini pecah berantakan. Sesaat, ia ingin menjerit sejadi jadinya.

Dengan tangan gemetar, ia memegang gaunnya yang kini kusut karena dirinya sendiri. Dalam hati, ia berkata,

“Bodoh sekali aku...”

Malam itu, Nara tidak pergi ke hotel seperti yang direncanakan. Ia hanya duduk diam di kamar, mencoba memahami apa yang sebenarnya salah dengan dirinya. Bukannya menyesali perbuatannya, ia malah mencari cara untuk membuat suaminya percaya lagi padanya.

“KRING, KRING…” Suara telepon mengejutkannya. Dengan perasaan yang benar-benar kacau, ia pun segera menyambar gagang telepon itu.

“Bagaimana pernikahanmu dengan Rama, hai, Manis? Ha-ha-ha…” Suara yang tak asing baginya terdengar mengejek, penuh dengan rasa kemenangan.

Dengan nada kesal, Nara menutup telepon itu dengan kasar. “Reno sialan! Apakah dia tahu kalau aku sedang ada masalah? Atau… argh!” gumamnya, frustrasi. Kepalanya terasa berat, seolah dipenuhi oleh pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.

Belum juga ia menemukan jawaban, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Jantungnya kembali berdegup kencang. Apakah itu Rama? Apakah ia kembali? Dengan hati-hati, Nara berjalan menuju pintu dan membukanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Istriku   Bab 105. "Aku Akan Menjadikanmu Abadi"

    Udara di ruang isolasi itu semakin berat, seakan-akan oksigen disedot habis oleh keheningan yang berlarut larut. Nara duduk di kursi dingin dengan tubuh lemah, matanya terpaku pada dinding logam yang berembun oleh uap lembap. Detak jantungnya sendiri terasa begitu keras di telinganya. Ia tak tahu lagi sudah berapa lama ia terperangkap di tempat ini—waktu seakan mati, berganti dengan malam abadi yang tak pernah usai.Namun, di balik sepi itu, ada sesuatu yang berubah.Suara samar terdengar, begitu pelan, seperti sebuah bisikan yang terseret angin. Awalnya ia kira hanya halusinasi karena rasa takut yang menumpuk. Tetapi kemudian, terdengar jelas—suara gesekan roda logam. “Krek… krek… krek…” ritmenya pelan, berat, seakan-akan sebuah benda besar sedang digeser di atas lantai yang lembap.Nara menahan napasnya. Bulir keringat dingin perlahan meluncur dari pelipisnya. Suara itu mendekat dari balik lorong gelap, tapi anehnya, tak ada sosok yang terlihat. Kosong.Lampu redup di langit-langit

  • Gairah Liar Istriku   Bab 104. Gelap

    Gelap.Bukan sekadar redup, tapi benar-benar pekat. Ruangan komando yang tadi masih diterangi lampu darurat kini tertelan oleh kegelapan total. Hanya suara-suara yang tersisa: desis listrik dari kabel terbakar, napas berat Rama yang terengah, dan tawa Dita yang melengking di antara kegelapan.“Hahaha… lihatlah, Rama. Bahkan cahaya pun sudah meninggalkanmu,” suara Dita pecah, serak bercampur darah, tapi tetap membawa nada kemenangan.Rama memicingkan mata, meski tak ada gunanya. Gelap menelan semua wujud, menyisakan rasa hampa yang menekan dadanya. Tangannya meraba, menggenggam lebih erat pisau berlumur darah. Ia bisa merasakan jantungnya memukul tulang rusuk, cepat, brutal, seolah ingin pecah.“Diam, Dita!” Rama menggeram, suaranya pecah oleh panik. “Di mana Nara? Katakan padaku, dimana!”Tawa Dita berhenti seketika, berganti bisikan dekat telinga Rama.“Dia selalu bersamaku, Rama… bahkan saat kau tak bisa menjangkaunya.”Rama terlonjak, menebas udara dengan pisau. Hanya kosong. Tak a

  • Gairah Liar Istriku   Bab 103. Dua Suara, Dua Jalan

    Getaran itu semakin kuat. Pintu baja yang selama ini menjadi benteng tak tergoyahkan di ruang komando Dita bergetar seperti hendak runtuh. Gema dentumannya terdengar hingga ke sudut-sudut ruangan, seolah ada raksasa yang mengetuk dari luar. Sirene masih meraung, lampu merah terus berputar, menciptakan suasana apokaliptik di ruangan itu.Rama menoleh dengan mata tajam, masih memegang pisau berlumur darah Dita. Nafasnya terengah, tubuhnya bergetar di antara amarah dan kebingungan. Dita sendiri, meski berlumuran darah, tetap tersenyum bengis, menatap pintu itu dengan tatapan tak percaya.“Tidak mungkin…” bisiknya, lirih, nyaris seperti gumaman orang kerasukan. “Siapa pun yang mencoba membuka pintu ini… pasti tahu bagaimana cara membunuhku. Sial!”Rama tidak menjawab. Ia melangkah mundur, menjauh dari Dita, matanya tak lepas dari pintu yang kini retak di bagian engselnya. Bunyi logam yang terkoyak menggema keras.Kemudian—dengan satu hentakan terakhir—pintu itu terhempas terbuka, logamnya

  • Gairah Liar Istriku   Bab 102. Dita VS Rama

    Udara di ruang komando itu semakin panas. Mesin-mesin yang berderu, layar monitor yang berkedip, dan sirene sistem yang berulang kali meraung-raung kasar. Semuanya seakan menjadi saksi ketegangan yang tak tertahankan lagi. Rama berdiri dengan rahang mengeras, matanya membara, dadanya naik-turun cepat karena menahan gejolak emosi. Dita, meskipun tampak tenang, tidak bisa menutupi luka kecil di sudut bibirnya—bekas pukulan pertama Rama yang meledak beberapa detik yang lalu.“Bebaskan Nara!” suara Rama pecah, lantang, memantul di antara dinding baja. “Kamu sudah cukup main dengan kehidupan kami. Aku tak peduli lagi dengan semua permainanmu, Dita. Serahkan Nara padaku, serahan sekarang juga!”Dita tersenyum miring, bibirnya berlumur darah segar. Ia menyeka dengan punggung tangannya, lalu menatap Rama dengan tatapan yang terlihat berbahaya dan penuh ancaman. “Sayang sekali, Rama… sayamg sekali.” bisiknya dengan nada rendah, setengah menggoda, setengah mengancam. “Pintu ruangan ini sudah te

  • Gairah Liar Istriku   Bab 101. Entitas Ke-3

    Cahaya monitor yang mendadak padam menyisakan keheningan mencekam di dua tempat berbeda: ruang komando Dita dan markas persembunyian Soraya.Sementara di ruang isolasi, Reno mengangkat kepalanya perlahan. Nafasnya terengah, dadanya naik turun tak beraturan. Cahaya merah dari simbol yang sebelumnya membakar dinding kini padam, menyisakan noda hitam pekat yang seperti terbakar dari dalam. Bau besi berkarat bercampur dengan aroma hangus samar menyeruak masuk menusuk hidungnya.Ia merasakan dingin menjalar di pergelangan tangan. Borgol yang membelenggunya kini retak—bukan karena dibuka, melainkan seperti digerogoti dari dalam oleh sesuatu yang tak kasat mata. Reno menatapnya dengan mata melebar, setengah berharap dan setengah ngeri.“Si… siapa… kau?” bisiknya.Tak ada jawaban, hanya bunyi samar seperti detak jantung yang tidak berasal dari dirinya. Suara itu bergema di dinding, lantai, bahkan kursi besi yang didudukinya.Di ruang komando, Dita membanting headsetnya ke meja. Layar yang tad

  • Gairah Liar Istriku   Bab 100. "Jika Bukan Kau Yang Masuk, Lalu Siapa?"

    Udara di ruang isolasi itu semakin sarat dan berat. Reno masih duduk terborgol di kursi besi, keringat dingin menetes dari pelipis kanannya, bercampur dengan darah tipis yang mengering sampai di sudut bibir. Pandangannya kabur, meski kilatan merah di dinding masih tampak menari-nari di depan matanya. Jejak darah yang seolah merambat di lantai tak pernah benar-benar berhenti bergerak, membentuk pola samar yang menyerupai simbol. Simbol yang belum pernah ia lihat.Simbol itu terus berubah, seperti lukisan hidup yang dipermainkan oleh tangan yang tak kasatmata. Reno merasakan kepalanya berdenyut semakin liar. Ia ingin meyakinkan diri bahwa itu hanya rekayasa sistem Dita—satu lagi permainan ilusi yang dipaksakan padanya—namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ilusi itu terasa… liar. Tidak terkendali.“Dita…” gumam Reno lirih, suaranya pecah. “Apa lagi yang kau lakukan padauku, hah?”Namun bukan suara Dita yang menjawab. Dari balik kilatan simbol, terdengar bisikan lain—berlapis, dalam,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status