Nara sedang berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan tatapan penuh tekad. Kedua tangannya sibuk mengancingkan mantel panjang yang membungkus tubuhnya. Rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai, hanya sesekali ia rapikan dengan jari. Di dalam dadanya, rasa gelisah bercampur dengan keingintahuan yang membakar. Apa yang sebenarnya Dita ketahui tentang Rama? Dan mengapa perempuan itu menghilang setelah menghubunginya tadi malam?Ia meraih ponsel di atas meja rias, menekan kontak Dita sekali lagi. Masih mati. Hatinya semakin tidak tenang.“Kamu mau ke mana?”Suara Rama mengejutkannya. Ia berbalik, mendapati suaminya sudah berdiri di ambang pintu kamar dengan tangan menyilang di dada. Rambutnya masih sedikit basah, tanda ia baru selesai mandi. Wajahnya yang tajam tampak serius, nyaris curiga.“Aku mau ke apartemen Dita.” Nara mencoba terdengar biasa saja. “Ponselnya masih mati sejak tadi malam. Aku khawatir.”Rama menghela napas, melangkah mendekati Nara. “Dita bisa menjaga diri
”Kamu tahu, yang diluar itu adalah Nara,” senyum licik dan penuh kemenangan terbit di wajah Dita.Reno menatap Dita dengan tatapan tajam penuh ketidakpercayaan. Wanita itu masih berdiri bersandar di dinding dengan seringai menggoda, seakan menikmati setiap detik dari situasi ini."Jangan bercanda, Dita," suara Reno terdengar tegang. "Yang di luar itu bukan Nara. Kamu kan belum melihatnya.”Dita memiringkan kepalanya, menikmati ekspresi tegang Reno. "Hanya Nara yang mengetuk pintu, dia tidak biasa memencet bell. Kalau nggak percaya, silakan lihat sendiri."Reno ragu, tapi akhirnya langkahnya bergerak menuju pintu. Dengan hati-hati, ia mengintip melalui kaca pengintai kecil yang tersemat di daun pintu. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat sosok yang berdiri di luar.Nara.“Sial. Habislah aku jika aku keluar sekarang,” Reno menarik napas panjang, tubuhnya menegang. Matanya kembali melirik Dita yang masih berdiri santai, menikmati pertunjukan kecil ini."Kenapa dia di sini?" t
Rama duduk di kursi kerja di kantornya, tangannya mengepal di atas meja. Pikirannya kalut, gelisah menunggu kabar dari Nara yang tak kunjung datang. Sejak istrinya pergi ke apartemen Dita, tak ada satu pun pesan atau telepon yang masuk darinya.Pandangannya sesekali jatuh ke ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia ingin menelepon Nara, menanyakan keadaannya, memastikan bahwa istrinya baik-baik saja. Tapi di saat bersamaan, egonya menahannya. Ia tidak ingin terlihat terlalu khawatir, apalagi jika benar dugaannya bahwa Nara masih menyimpan sesuatu dengan Dita.Ketika akhirnya ia meraih ponsel dan hampir menekan kontak Nara, tiba-tiba suara lembut mengalihkan perhatiannya."Ini jadwal rapat bulan ini, apakah Bapak mau merubahnya?"Rama mengangkat kepalanya dan mendapati sekretaris pribadinya, Soraya, sudah berdiri di sampingnya dengan senyum profesional. Wanita itu mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya, sedikit terbuka di bagian atas, memperlihatkan belahan dada yang samar. Rok
Reno masih berbaring di kasur, tubuhnya terkunci di bawah Dita yang agresif mencumbunya. Napasnya berat, pikirannya kacau. Ia harus segera mengambil tindakan sebelum keadaan semakin sulit dikendalikan. Matanya melirik ke arah boneka panda di atas meja. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi pada boneka panda itu—kamera pengintai.Namun, saat ini ia tidak bisa bergerak leluasa. Dita masih menekan tubuhnya dengan liar, jemarinya mencakar dada Reno, meninggalkan jejak merah di kulitnya."Dita, kau harus menelepon Nara sekarang." Suara Reno terdengar kasar, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.Dita berhenti sejenak, matanya menyipit penuh selidik. "Kenapa aku harus meneleponnya?"Reno menarik napas dalam-dalam, menahan diri untuk tidak kehilangan kesabaran. "Katakan padanya bahwa kau sedang berada di luar kota menemui adikmu yang sakit. Itu akan membuatnya pergi."Dita menatap Reno lama, sebelum akhirnya menyeringai. "Dan jika aku menurutimu, apa yang akan kudapatkan s
Dita terbangun dengan tubuh terasa remuk redam. Otot-ototnya masih berdenyut akibat permainan panas yang ia lalui beberapa jam lalu. Ia tersenyum tipis, membiarkan jemarinya menelusuri bekas cakaran dan gigitan di kulitnya. Sensasi itu membuatnya bergidik geli. Reno benar-benar tahu bagaimana memperlakukan dirinya.Namun, ada sesuatu yang kurang.Dita menggigit bibirnya, merasakan ada kehampaan yang tak bisa dijelaskan. Malam bersama Reno seharusnya cukup untuk memuaskan dahaganya, tapi tetap saja ada celah kosong yang tak bisa terisi. Ia menghela napas, membuang pikiran-pikiran aneh yang mulai menguasai benaknya.Saat ia menoleh ke samping, harapannya sedikit runtuh. Tempat tidur di sebelahnya kosong. Reno sudah pergi.Dita mengerang kesal, tapi kemudian ia menyeringai. Tentu saja Reno akan pergi. Ia bukan tipe pria yang akan berlama-lama setelah semuanya selesai.Ia bangkit perlahan, menarik selimut yang menutupi tubuhnya, lalu turun dari tempat tidur. Ketika langkahnya membawanya k
Suara ketukan pintu menggema di ruangan. Rama dan Soraya saling bertukar pandang, sekilas ketegangan tersirat di mata Soraya sebelum ia menunduk dan memasang ekspresi profesional. Dengan cepat, ia merapikan rok dan blazernya, sementara Rama mengambil napas dalam, menyesuaikan kembali kemejanya agar terlihat lebih rapi."Masuk!" suara Rama terdengar berat, masih menyisakan sisa gairah yang belum tersalurkan.Pintu terbuka, dan seorang wanita dengan setelan kasual melangkah masuk. Nara, istrinya, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tatapan matanya langsung menangkap ekspresi tegang Soraya dan wajah Rama yang masih sedikit merah. Ada sesuatu di ruangan ini, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.Sejak pagi, Nara sudah merasa ada yang tidak beres. Perkataan Dita, sahabatnya, terus terngiang di kepalanya. "Aku tahu sesuatu tentang Rama," kata Dita tadi malam dengan nada misterius. "Tapi aku tidak bisa bilang begitu saja. Aku cuma ingin kamu lebih peka."Nara m
Sementara di ruang kerja Rama, Soraya masih berdiri di tempatnya, kedua tangannya saling menggenggam erat, berusaha meredakan kegugupan yang tiba-tiba muncul saat Nara datang tadi. Akan tetapi, begitu pintu tertutup dan kehadiran Nara tak lagi menjadi ancaman lagi, Soraya menoleh ke arah Rama dengan ekspresi yang lebih santai, bahkan sedikit menggoda."Kamu terlalu tegang, Pak," gumamnya pelan, melangkah mendekati Rama. "Dia hanya datang sebentar, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Rama menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang maki kalut. "Nara bukan wanita bodoh, Soraya. Aku tak bisa terus bermain-main tanpa risiko ketahuan oleh dia."Soraya tersenyum tipis, jemarinya dengan luwes menyusuri dada Rama yang masih tertutup kemeja. "Lalu? Apa itu berarti kita harus berhenti padahal kita baru memulainya, hm?" bisiknya, matanya menatap lekat ke dalam mata Rama, penuh dengan tantangan.Rama menggenggam tangan Soraya, menghentikan gerakannya. "Dengar Soraya, aku tak mau
Dalam perjalanan pulang, Nara menatap layar ponselnya yang masih kosong dari balasan pesan Dita. Berkali-kali ia mencoba menelepon, namun tak ada jawaban. Ia mendesah pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri."Kemana Dita? Kenapa ponselnya masih tidak aktif? Dia bilang sedang di luar kota. Kemana sebenarnya? Apakah memang tidak ada sinyal di sana? Aneh." Nara menghela napas dengan kesal, mencoba menghilangkan rasa gelisah yang kian meradang. "Dita tak biasanya sulit dihubungi. Apa mungkin ada hal lain yang sedang terjadi?"Pertanyaan demi pertanyaan yang tak terjawab selalu memenuhi pikirannya hingga Nara tiba di rumah. Ia meletakkan tasnya di sofa dan mulai mengamati sekeliling. Perasaan aneh itu masih ada.Langkahnya melambat saat ia berjalan menuju ruang tamu, matanya menelisik tiap sudut ruangan dengan lebih teliti dari biasanya. Ada sesuatu yang terasa ganjil, sesuatu yang tidak seperti biasanya.Perhatiannya tiba-tiba tertuju pada rak buku di sudut ruangan. Dahinya berkerut saa
Di ruang kerjanya yang sunyi, hanya terdengar bunyi detik jam dinding yang seolah memantul dari kaca-kaca jendela besar. Matahari telah condong ke barat, menyinari permukaan meja kayu mahoni dengan lembut. Namun bagi Rama, waktu terasa membatu.Ia menatap layar ponsel di tangannya—satu-satunya benda yang kini seolah menghubungkannya dengan Nara. Sudah berkali-kali ia mencoba menelepon, namun jawaban yang diterima tetap sama: tidak aktif.Dahi Rama berkerut. Tangannya mengepal, lalu kembali mengetik. Kali ini, bukan untuk menghubungi Nara. Ia membuka saluran komunikasi khusus yang hanya digunakan untuk kepentingan pengawasan diam-diam.Sambungan langsung tersambung setelah nada tunggu ketiga."Ya, Tuan Rama," suara dari seberang terdengar tenang, seperti biasa."Di mana dia?" tanya Rama singkat, namun tekanan dalam suaranya tak dapat disembunyikan."Tuan maksud, Nyonya Nara?""Ya. Ponselnya mati sejak pagi. Kau bilang dia tetap di hotel. Aku ingin kepastian."Hening sejenak di ujung sa
Apartemen mewah di kawasan elit itu sunyi. Hanya suara detik jam dan sesekali bunyi deru mobil dari kejauhan yang terdengar. Di dalam ruang kerja yang dikelilingi rak buku dan layar-layar monitor kecil, Dita duduk bersandar di kursi kulit berwarna coklat tua, tubuhnya sedikit miring, satu kaki disilangkan. Di tangannya, sebuah ponsel menyala—panggilan tersambung dengan seseorang yang suaranya terdengar berat, penuh kehati-hatian."Jadi... kau sudah berada di lokasi?" tanya Dita pelan.Suara laki-laki di seberang terdengar seperti bisikan, tapi penuh tekanan. “Sudah. Timku menunggu di sekitar hotel. Kami tidak bersenjata. Seperti yang Anda minta—tanpa paksaan. Tanpa jejak.”“Bagus.” Dita menarik napas dalam. Ia menatap foto Nara di layar monitor—hasil tangkapan kamera pengawas yang sudah ditanam sebelumnya di sekitar hotel. “Ingat, dia tidak boleh merasa seperti korban. Dia harus merasa bahwa semua ini adalah pilihannya sendiri.”“Dan jika dia menolak?” tanya suara itu lagi.Dita terd
"Kenapa ponselmu mati?" gumamnya lagi, kini suaranya lebih rendah, lebih berbahaya. Ia mencoba mengingat. Terakhir mereka bicara, Nara tampak gelisah. Tapi dia pikir itu karena pertengkaran kecil mereka sebelumnya. Ia tidak menyangka Nara akan pergi diam-diam. Apalagi jam segini. Apalagi... setelah kabar duka soal Arka yang tadi muncul di TV. Arka. Nama itu menggema di benaknya. Dan bersamaan dengan itu, muncul gelombang kecurigaan yang dingin dan tajam. Apakah Nara tahu sesuatu? Apakah dia pergi untuk menemui seseorang?Reno?Mantanannya?Nama itu muncul begitu saja, menghantam benaknya seperti palu. Rama mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Kilasan kenangan—percakapan, sorot mata Nara saat nama Reno disebut, dan jarak yang makin terasa di antara mereka—semuanya membentuk pola yang tak bisa lagi ia abaikan.“Jadi ini alasannya kau terus berubah, Nara?”Pintu kamar mendadak berderit pelan.Rama sontak menoleh. Tangannya reflek menyentuh ponsel di meja. Tatapannya langsung mengunci
Soraya berdiri di depan cermin panjang kamarnya, wajahnya masih basah usai membasuhnya dengan air dingin. Matanya memerah—bukan karena tangis, tapi karena emosi yang tak bisa lagi dikekang. Tangannya mencengkeram erat tepi meja rias, kuku-kukunya menekan kayu dengan keras hingga sendi-sendinya menegang."Apa sebenarnya maumu, Dita...?" desisnya lirih, tapi penuh bara.Ia sudah lama curiga. Dita terlalu banyak bermain api, terlalu lihai menebar umpan dan terlalu cepat menyingkirkan pion-pion yang tak lagi ia butuhkan. Dan kini, setelah Arka tewas dalam kecelakaan yang tak masuk akal, Soraya merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres.“Jangan-jangan Arka… Sial! Apakah sebenarnya Dita terlibat?”Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalanya.Dari awal, Soraya memang punya tujuan yang jelas: mendapatkan Rama. Bukan hanya cintanya—jika itu bisa disebut cinta—tapi seluruh yang menyertai pria itu. Nama, kekayaan, dan semua akses eksklusif yang hanya dimiliki seorang pria dengan reputasi sekua
"Aku tadinya gak tega, sungguh," lanjutnya, matanya menerawang ke lampu-lampu jalanan di bawah sana. "Tapi kau yang memaksa, Arka. Kau berani berkhianat padaku. Kau ancam rencanaku. Bahkan kau sempat menakut-nakuti aku dengan pesan-pesan itu... kau pikir aku akan diam saja? Kau pikir kau bisa memegang kendali?"Dita tertawa lagi, kali ini lebih keras. Wajahnya bersinar oleh rasa puas yang tak bisa disembunyikan. Angin malam menyibak sebagian rambutnya, tapi ia tak peduli."Terpaksa, Arka... terpaksa sekali. Tapi terima kasih, ya? Kau sudah jadi senjata pembuka jalan untuk rencana besar ini. Indah sekali... kematianmu bahkan lebih dramatis dari yang kuharapkan."Ia menutup jendela perlahan, lalu berjalan ke arah meja kecil di dekat sofa. Di sana, laptop terbuka dengan tab-tab yang masih menyala: satu berita utama tentang kecelakaan Arka, satu lagi tentang profil perusahaan milik Rama, dan satu jendela obrolan pesan pribadi yang belum ia balas—dari Soraya.Dita menyipitkan mata, membaca
Hening menyelimuti kamar hotel mewah itu. Lampu temaram dari dinding hanya menyoroti sebagian tubuh Rama yang tertidur di atas ranjang, masih mengenakan kemeja kusut dan celana bahan yang tidak sempat diganti. Napasnya berat dan teratur, bau alkohol masih samar tercium dari tubuhnya.Nara duduk di ujung ranjang, punggungnya membungkuk, tangan meremas-remas jemari sendiri tanpa sadar. Matanya terus melirik ke arah Rama, memastikan pria itu benar-benar tertidur pulas. Tapi bukan itu yang membuat hatinya berdebar kencang.Pikiran Nara sudah melayang jauh sejak beberapa jam lalu. Ia tidak bisa tidur. Tidak setelah berita duka tentang Arka memenuhi layar TV beberapa jam sebelumnya. Dan sekarang, bayang-bayang itu kembali menghantuinya dengan lebih nyata, lebih mengerikan."Arka..." bisiknya pelan, nyaris tak bersuara.Ia memejamkan mata, mengingat kembali detik-detik terakhir sebelum semuanya berubah.Nara menoleh lagi ke arah suaminya yang terbaring tanpa kesadaran. Tak ada ketenangan dal
Di ujung sambungan, Soraya mengerutkan kening. “Reno?” Ia mengulang pelan, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. “Kau yakin?”“Dia satu-satunya yang punya akses ke Arka tanpa menimbulkan kecurigaan. Dia dekat dengan Nara. Bisa saja Arka sempat membuka mulut, atau… atau ada informasi yang sampai ke Reno.”“Tunggu,” potong Soraya cepat, nadanya tak setuju. “Itu terdengar terlalu dipaksakan. Reno bahkan bukan bagian dari lingkaran ini, Dita. Dia bukan tipe orang yang main kotor. Bahkan, terlalu bersih menurutku.”“Justru karena itu,” sahut Dita tajam. “Orang-orang seperti dia... yang tampak bersih dan tak tahu apa-apa... biasanya menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya.”“Tapi membunuh Arka? Ayolah, Dit. Itu terlalu jauh untuk seseorang seperti Reno. Dia tidak punya cukup alas an, kan?”Dita menghela napas kasar. “Siapa yang tahu apa yang dia dengar dari Nara? Siapa tahu dia mulai curiga tentang Arka? Tentang kita?”Soraya terdengar ragu. “Kalau benar Reno pelakunya, itu artinya
Nara melangkah mundur perlahan. Napasnya mulai sesak.Dan saat ia berdiri di depan TV yang masih menayangkan ulang gambar mobil Arka yang hancur, satu hal menjadi semakin jelas.Kematian Arka bukan kecelakaan biasa.Soraya masih terjaga di dalam kamar hotelnya, duduk di tepi ranjang dengan mata menatap layar ponsel yang menampilkan berita duka terbaru. Arka, pria yang selama ini menjadi pion dalam permainan busuk mereka, dinyatakan tewas dalam sebuah kecelakaan tragis. Soraya membaca ulang berita itu beberapa kali, mencoba menyaring setiap informasi yang tertera di layar: lokasi kecelakaan, kondisi mobil, dan terutama detail mencurigakan bahwa sopir truk yang menabrak mobil Arka diduga meloncat dari kendaraan beberapa detik sebelum benturan.Semuanya terlalu rapi. Terlalu sempurna.Soraya memicingkan mata, bibirnya mengerucut, dan jemarinya mulai bergerak cepat mengetik sebuah nama di layar ponsel. Ia menelpon Dita. Butuh tiga nada sambung sebelum akhirnya suara Dita terdengar di ujun
Tubuh Nara membeku di ambang pintu.Dua orang pria berdiri di depannya. Salah satunya tampak mengenakan seragam hitam sederhana, jelas seorang staf hotel—mendorong sebuah kursi roda perlahan.Dan di atas kursi roda itu...Nara menelan ludah. Matanya membelalak, napas tercekat di tenggorokan.Rama.Suaminya sendiri, duduk limbung di kursi roda, tubuhnya terkulai dengan kepala tertuinduk. Kemejanya kusut, beberapa kancing terbuka, dan wajahnya merah padam karena alkohol."Apa yang terjadi…?" gumam Nara, setengah tidak percaya.“Maaf, Ibu. Tadi beliau berada di bar dan… tampaknya terlalu banyak minum. Beliau sempat berpesan kepada bartender untuk diantar ke kamar ini kalau sudah tidak sanggup berdiri,” ucap staf hotel itu, sopan, sedikit tergesa.Tanpa pikir panjang, Nara membuka pintu lebar-lebar. “Cepat bawa masuk, Pak”Mereka mendorong kursi roda perlahan melewati ambang pintu.Nara menyingkirkan tas dan sepatu yang berserakan di lantai, lalu membantu staf bar itu memindahkan Rama ke