Dita duduk di kursinya, mencondongkan tubuh ke depan, tatapan matanya terpaku pada layar terbesar di hadapannya. Cahaya biru dari monitor memantul di wajahnya yang tegang, membentuk bayangan samar di dinding ruang komando yang remang. Suara dengungan server dan desisan halus pendingin udara menjadi latar bagi malam yang semakin mencekam.Gambar yang terpampang di layar membuat sudut bibirnya bergerak—antara senyum dingin dan raut kesal yang tertahan. Pria suruhannya—seharusnya, eksekutor yang setia—kini justru berada di ranjang hotel bersama Soraya. Bukan dengan pisau teracung dan nyawa di ujung detik, melainkan dalam pusaran gairah yang sama sekali di luar skenario.Dita menekan tombol zoom pada kontrol, memperbesar gambar, lalu berbisik, “Dasar binatang. Tapi... pintar juga kau, Soraya.” Ada nada marah, tapi juga kekaguman sinis di suaranya.Di kepalanya, monolog obsesinya mulai mengalir deras."Soraya... kau pikir kau sedang menang, hah? Kau pikir kau sedang menguasai keadaan hanya
Sementara itu…Di sebuah ruangan tersembunyi yang lebih mirip dengan sebuah ruang komando ketimbang kamar biasa, Dita berdiri di depan dinding penuh layar. Setiap layar menampilkan sudut berbeda: ruang isolasi Nara, ruang penahanan Reno, bahkan lorong gelap yang menghubungkan tempat itu dengan pintu besi di ujung bangunan. Semua bergerak tanpa suara, hanya sesekali terdengar dengung suara mesin.Dita menyandarkan tubuh pada meja konsol, kedua tangannya bertumpu pada permukaan logam dingin. Pandangannya lekat dan selalu terpaku pada layar yang menampilkan wajah Reno dengan tubuh yang terkulai, matanya separuh terbuka namun masih menahan sisa kesadarannya."Tenang saja, kau akan paham juga nantinya, Reno," gumamnya. Suaranya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Ia menekan sebuah tombol, layar lain menampilkan Nara yang duduk terpekur. Sorot mata Dita melembut seketika. Ada sesuatu di balik tatapan itu: rindu yang teredam, amarah yang menunggu waktu, dan cinta yang terla
Di sebuah ruangan bawah tanah yang dipenuhi layar monitor, Dita duduk sendirian. Pendar cahaya biru dari monitor-monitor itu menimpa wajahnya yang tenang, dingin, seperti topeng marmer.Di hadapannya, puluhan kamera memperlihatkan berbagai sudut:Nara di ruangan isolasi, terduduk, seperti tubuh tanpa jiwa.Reno, terikat, menunduk di kursi besi.Soraya… bersama salah satu anak buahnya, yang kini ia amati tanpa berkedip.Dita memutar perlahan gelas anggur di tangannya.“Semua berjalan sesuai rencana,” gumamnya pelan, seperti sedang menenangkan diri sendiri.Ia bangkit, berjalan mendekati dinding monitor.“Sekarang, waktunya mereka tahu siapa yang benar-benar mengendalikan semuanya.”Suara langkah sepatu hak tingginya bergaung di lantai semen. Ia menekan tombol interkom di meja besinya, dan berbicara dengan nada suara yang tidak bisa ditawar:“Rekam ini. Untuk Rama, Reno, Soraya… dan terutama untukmu, Nara.”Sebuah kamera otomatis berputar, mengarah ke wajahnya. Dita berdiri di tengah ru
Udara apartemen Soraya terasa berat, mengandung wangi anggur dan parfum samar yang bercampur dengan sesuatu yang jauh lebih liar.Pisau di tangan pria itu sudah turun. Tapi bukan berarti ancaman lenyap. Justru bahaya kini berdiri di antara keduanya, tipis seperti batas antara nafsu dan kematian.Soraya menempelkan tubuhnya. Panas kulitnya bertemu dingin kulit sarung tangan.“Lepas,” bisiknya.Pria itu tidak bergerak. Soraya mengambil inisiatif. Satu per satu, ia menarik sarung tangan itu, membiarkan jari-jari kasar laki-laki itu menyentuh kulitnya.“Kalau kau memang datang untuk mengakhiri hidupku,” ucap Soraya lirih sambil menelusuri rahang pria itu dengan jemari, “biarkan aku yang memutuskan bagaimana aku mengakhiri malam ini.”Ada jeda sunyi. Dan kemudian bibir mereka bertemu—bukan lembut, tapi rakus. Soraya sengaja mencium seperti orang yang tenggelam mencari udara. Tidak ada rasa cinta, hanya hasrat yang mendesak waktu.Soraya mendorong tubuh pria itu ke dinding, lalu melepas gau
Ketukan itu berhenti.Sunyi kembali turun di apartemen. Tapi bagi Soraya, kesunyian itu justru lebih berisik daripada suara tembakan.Ia berdiri diam beberapa detik, menahan napas. Otot lehernya menegang. Lalu, perlahan, ia bergerak mundur, mengambil sebuah gunting panjang dari meja rias. Jari-jarinya berkeringat, menggenggam gunting itu erat.erat.Siapa?Pikiran itu berputar.Rama? Tidak mungkin. Rama tidak mengetuk seperti itu.Polisi? Mustahil, mereka akan datang dengan cara yang lebih kasar.Dita.Soraya tahu jawabannya bahkan sebelum bayangan itu muncul.Dita tidak akan datang sendiri. Selalu ada “tangan panjang” yang ia gunakan untuk membersihkan jejak.Ia mendekat ke pintu, tidak membuka, hanya mendengar.Ada suara napas pelan dari balik sana. Berat, jantan.Hmm Anak buahnya…Ketika kenop pintu berputar pelan dari luar, Soraya bergerak mundur cepat. Pintu itu terbuka. Bayangan seorang pria tinggi muncul di ambang. Wajahnya sebagian tertutup masker hitam. Jaket kulit gelap, sar
Malam sudah sangat larut. Kota di luar jendela apartemen tampak seperti lautan lampu yang tak berarti. Di lantai tinggi ini, Soraya seharusnya merasa aman. Tapi udara terasa berat, seolah dinding-dinding apartemen menyusut, terasa seperti menghimpit tubuhnya.Ia berdiri di depan cermin kamar, menatap wajahnya sendiri yang tampak asing. Make-up mahal yang ia poles dengan sempurna sejak sore tadi kini luntur di sudut mata. Lipstik memudar, menyisakan garis bibir pucat. Jemari yang biasanya mantap saat memegang pena atau gelas anggur, kini bergetar halus.Di meja rias, segelas wine sudah hampir habis. Tapi alkohol tidak begitu banyak membantu.Sejak telepon Rama beberapa jam lalu, pikirannya tidak berhenti berputar. Pertanyaan-pertanyaan itu kembali terngiang:"Apa kau tahu di mana Nara? Kenapa semua CCTV hilang rekamannya? Kau jangan main-main denganku, Sora."Nada suara Rama kali ini berbeda. Tidak lagi hanya sekadar curiga. Tapi mendesak, menekan, dan jelas mengancam.Soraya menelan l