Dengan tergesa, wanita itu melangkah masuk menuju lobi apartemen Riverside Garden. Seorang petugas keamanan segera mencegatnya. Tentu saja karena wajahnya yang tidak familiar di lingkungan itu. “Maaf Nyonya. Anda siapa dan ada keperluan apa kemari?” tanya lelaki berbadan tegap di depannya. Mata sang penjaga keamanan itu seakan memindainya, mencari validasi bahwa ia adalah salah satu penghuni hunian itu. Dan tatapan penuh kecurigaannya tertuju pada tas yang ada di genggamannya. “Saya mau ke lantai dua, menemui putri saya, Cassandra,” sahutnya dengan seulas senyuman yang terlihat sangat meyakinkan. “Apa Bapak bisa mengirim saya ke sana?”“Kalau begitu, biar saya hubungi Nona Cassandra,” sahut lelaki itu.“Jangan!” teriaknya tiba-tiba.Lelaki itu terkejut. Ia menatap Zissy dengan pandangan menyelidik.“Saya sengaja tidak memberitahukan kedatangan saya. Ini … sebuah kejutan,” lanjutnya menyampaikan alasan palsunya. “Ah … kejutan rupanya,” sahut lelaki berseragam itu dengan wajah kemba
Marco menatap sekelilingnya. Tentu saja ia panik saat tak melihat keberadaan kekasihnya bahkan di dalam kamarnya. Ranjang yang pernah menjadi saksi bisu hubungan mereka pun membara oleh api. Namun dari letak benda di atasnya, Marco tahu dengan pasti bahwa beberapa saat yang lalu gadisnya masih berada di atas sana. Suara ledakan kecil yang terdengar, membuat lelaki itu terkejut. Benda pipih di atas nakas itu meledak karena panas api di sekelilingnya. “Ponselnya masih di sini. Dia masih di tempat ini,” batin Marco.Sesaat ia dapat mendengar suara terbatuk. Firasatnya seolah menuntunnya ke suatu tempat yang tak terpikirkan olehnya. Kamar mandi!Lelaki itu menggeser pintu kamar mandi. Ia sangat terkejut ketika melihat gadisnya ada di sana. Tubuhnya terbaring lemah di dalam bak berisi air. Sementara napasnya mulai sesak. Tentu saja karena asap sudah memenuhi ruangan kecil itu. Dalam setengah kesadarannya, Cassandra melihat seseorang mendekatinya. Ia terlihat seperti alien dengan helm
Tanpa pikir panjang, Cassandra berlari masuk ke dalam asap tebal itu. Ia berlari ke tempat dimana terakhir kali, ia merasa tangannya masih menggenggam erat tangan Marco. Gadis itu terbatuk, dadanya terasa sesak oleh asap yang masuk ke dalam paru-parunya. Dikibaskannya tangannya, seolah dengan melakukannya, asap tebal itu akan dengan patuh pergi meninggalkannya. Ia tetap melakukannya walau ia tahu itu hal yang mustahil. Asap itu terlalu tebal.Langkahnya terhenti ketika melihat bayangan seseorang mendekatinya dari dalam asap tebal itu. Dari siluetnya, terlihat dengan jelas bahwa itu adalah seorang lelaki. Lelaki itu melangkah dengan terseok ke arahnya.Gadis itu melangkah mendekatinya walau napasnya mulai terasa berat dan dadanya semakin terasa sesak, begitu sesak dan menyiksanya. Tubuhnya mulai limbung karena udara kotor yang dihirupnya.“Om Marco,” panggilnya dengan tenaga yang tersisa. Langkahnya semakin lambat. Untung saja, lelaki itu sempat menangkap tubuhnya sebelum benar-benar
“Dia beruntung sekali.”“Pacarnya mengorbankan diri dan datang untuk menyelamatkannya.”“Kau tahu bagaimana nasib pacarnya?” “Aku tidak yakin dia bisa bertahan.” Sayup percakapan itu terdengar di telinga Cassandra. Pengaruh obat penenang yang diberikan dokter, terasa cukup kuat sehingga ia tak mampu untuk sekedar membuka matanya. “Sandra, Cassandra.” Suara wanita itu tak asing di telinganya. Perlahan ia membuka matanya. Dikerjapkannya sepasang matanya untuk beradaptasi dengan cahaya lampu terang di atasnya. Perlahan ia mengamati sekelilingnya. Dilihatnya Irfan dan Mona yang ada di sisinya. Dari wajah mereka terlihat kelegaan saat Cassandra terbangun dari pengaruh obatnya. “Syukurlah,” ucap Mona dengan perasaan lega. “Akhirnya kamu bangun juga.” Cassandra mengerutkan keningnya. Ia menatap Mona dan Irfan secara bergantian. “Om Marco. Dimana … Om Marco,” ucapnya. Hanya satu yang ingin ditemuinya saat ini, orang yang telah menjadi pahlawannya. Kekasih yang beberapa hari terakhir
“Jangan khawatir, kita serahkan saja semuanya pada pihak kepolisian,” sahut Irfan. “Dia tidak mungkin akan senekat itu mendekati tempat yang sedang dijaga ketat ini.”“Pa, sebenarnya apa yang terjadi dengan Om Marco?” tanya Cassandra. Ia tidak mau ambil pusing dengan keberadaan Zissy. Ia juga tidak lagi memikirkan nyawanya, yang dipikirkannya saat ini hanyalah keadaan Marco. Firasatnya mengatakan bahwa lelaki itu telah mengalami sesuatu yang buruk saat menyelamatkannya dalam kebakaran itu. “Semua akan baik-baik saja.” Irfan menarik sudut bibirnya, seolah memaksakan sebuah senyuman agar puterinya merasa tenang. “Kenapa Papa terus menyembunyikannya? Aku sudah melihatnya. Luka di punggungnya itu … luka itu karena kebakaran itu, kan Pa?” cecarnya. Mau tak mau, Irfan menganggukkan kepalanya. “Bagaimanapun juga, kita tetap harus bersyukur. Kalian berdua selamat, itu sudah merupakan suatu keajaiban.” Mona membantu gadis itu kembali ke atas ranjangnya. “Pa, bolehkan kalau aku minta pind
“Apa aku nggak salah dengar?” Sepasang mata Hani membulat ketika mendengar kalimat yang diucapkan sahabatnya itu. “Benar. Sekarang mereka sedang mencarinya,” sahut Cassandra. “Aku juga tidak percaya dia bisa berbuat senekat itu dengan mempertaruhkan nama dan karirnya.” “Lalu apa rencanamu sekarang?” tanya Hani. “Aku akan menunggu sampai Om Marco pulih kembali.” Cassandra menggenggam cangkir kopinya, membiarkan kehangatan di dalamnya menyebar di kedua telapak tangannya. “Menurutku … sebaiknya kamu menjauh sesaat. Terus terang, aku masih khawatir. Bagaimana jika Bu Zissy masih mengincarmu. Dia bisa saja mencelakaimu,” cetus Hani. “Kita bisa pergi berlibur sesaat, sampai semuanya kembali tenang.”Cassandra menebarkan pandangannya ke sekelilingnya. Kantin rumah sakit siang ini tidak seramai biasanya. Terlihat beberapa orang sedang mengawasi mereka. “Tidak,” sahut gadis itu. Diletakkannya cangkir itu ke atas meja setelah menyesapnya. “Aku sudah kehilangan banyak waktu untuk bersamanya
“Dia melakukan itu?” Suara Rexy meninggi. Lelaki itu tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya. “Aku akan menikahinya.” Marco menganggukkan kepalanya. “Tentu saja, kamu harus menikahinya,” sahut Rexy mendukung keputusan sahabatnya. “Dia cantik, pintar di atas ranjang dan yang paling penting … kalian berdua saling mencintai.”Marco tersenyum tipis mengingat malam yang telah dihabiskan bersama Cassandra kemarin. Ia masih dapat mengingat kenikmatan yang dirasakannya, ketika gadis itu memanjakannya dan memperlakukan miliknya bagai sebuah lolipop. “Semoga saja setelah kalian menikah, dia tidak akan pernah berubah menjadi singa betina,” gumam Rexy hampir tak terdengar.“Apa Reana seperti itu?” goda Marco. “Hmm …” Rexy menghembus napasnya keras-keras. “Bukan hanya berkuasa di ranjang. Dia juga lebih banyak mengaum dari sebelum kami menikah.” Marco tertawa terkekeh. “Tapi kalian saling mencintai. Bukankah itu sudah cukup untuk membuat kalian bertahan sejauh ini.” “Sebenarnya
Benda mungil itu terlihat tak asing di mata Marco. Munafik namanya jika ia tidak langsung mengenali benda dengan dua garis merah tebal di tangan kekasihnya. Senyumannya langsung merekah saat mengetahui kejutan manis kekasihnya itu. Tak ada lagi rasa cemas yang dulu selalu meliputi hatinya, saat hubungan di antara mereka diliputi dengan perasaan takut dan bersalah.“Bayi kita?” ucapnya tak percaya. “Aku akan menjadi bapak?”Cassandra menganggukkan kepalanya. Hatinya benar-benar tersentuh ketika melihat lelaki yang dicintainya meraih benda mungil itu dari tangannya dan menatapnya tak berkedip. Ia menimangnya seolah benda itu sesuatu yang sangat berharga.“Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?” keluhnya. “Perutku akan semakin membesar dan orang-orang akan kembali mempergunjingkan aku.”“Mari kita urus pernikahan kita sekarang,” sahutnya. “Sekarang?” ulang Cassandra. Ia tak menduga Marco akan langsung mengambil sikap seperti ini. “Tapi … semuanya butuh persiapan.” “Kita sahkan saja