Marco memeluknya dan terus memagut bibir gadisnya dengan penuh hasrat. Ia melepaskan semua kerinduan yang membuncah di dadanya. Menekan perasaan cintanya, terasa begitu menyiksa bagi lelaki itu.
Sesaat Cassandra teralihkan. Ia merasakan gelenyar perasaan yang berbeda. Perasaan yang ingin dinikmatinya lebih lama.Ia balas memagut sementara kedua tangannya melingkar di leher Marco. Dirasakannya tangan besar itu menggerayangi tubuhnya.“Non Sandra!” Tiba-tiba suara Bik Sum terdengar dari dalam rumah. “Non, dimana?”Marco menarik tubuh gadis itu masuk ke dalam air, sengaja untuk menghindar dari pandangan Bik Sum. Apa jadinya jika wanita itu mengetahui hubungan aneh di antara keduanya.“Non Sandra dimana sih?”Bik Sum mengedarkan pandangannya ke sekeliling halaman samping. Tidak ada tanda-tanda nona majikannya berada di sana. Ia menggaruk kepalanya dan berbalik ke dalam rumah.“Apa masih diCassandra mendorong Marco. Ia tak ingin Marco menginjak harga dirinya lagi hanya karena rasa cintanya. Ia tak ingin dimanfaatkan lagi. Betapa jahat dan egoisnya Marco karena selama ini mempermainkan perasaannya. Dan betapa bodohnya dirinya, karena telah memberikan segalanya pada lelaki bunglon seperti Marco.“Aku benar-benar bodoh, kan? Aku sudah kasih raga aku sepenuhnya sama Om. Sama laki-laki yang sebenarnya nggak cinta sama aku,” isaknya. “Dan apa yang aku dapat? Bukan cinta, bukan bahagia. Tapi sebuah penderitaan.”Marco menatapnya dengan frustasi tanpa bisa berkata apa-apa. “Aku rasa Om benar,” ucap Cassandra. “Kita harus hentikan semua ini. Sebaiknya kita tidak usah ketemu lagi.” Gadis itu membuka pintu mobil dan membantingnya dengan keras. Marco masih tercengang saat melihat punggung gadis itu semakin menjauh. Dia benar-benar sudah pergi.Setelah cukup lama sibuk dengan pikirannya, Marco tersentak. Bagaimana mungkin ia membiarkan keponakannya keluyuran dengan pakaian seper
“Menikah?” Irfan membelalakkan matanya. Berita yang disampaikan oleh adiknya itu sungguh membuatnya terkejut. “Jadi kalian mau melangsungkan pernikahan di saat Cassandra hilang entah kemana? Kamu mau berbahagia di tengah bencana yang melanda keluarga kita?” Marco mengeraskan rahangnya. Ia tahu dengan pasti bahwa semua ini adalah kesalahannya. Bagaimanapun Cassandra hilang saat bersamanya dan adalah tanggung jawabnya untuk membawanya kembali pulang. “Apa kamu sudah kehilangan kewarasan? Dimana otakmu? Apa wanita itu sudah membuatmu kehilangan akal sehat hingga kamu mau menikahinya di saat situasi sedang sekacau ini?” omel Irfan. “Aku ingin tahu, apa kamu masih bisa tertawa di pesta pernikahanmu jika putriku diketemukan sudah dalam keadaan mati!” Wajah Irfan memerah saking marahnya. “Gila! Tidak akan ada pernikahan sebelum putriku ditemukan!”Raut wajah Bik Sum memucat. Bahkan ketika Irfan membanting kain serbetnya ke atas kursi dan pergi meninggalkan mereka berdua. Ruang makan kelu
Mendengar nama itu disebut, sungguh membuat Zissy kesal. Perasaannya jadi tak karuan. Namun ia tak ingin mengacau di kesempatan seperti ini. Ia menahan perasaannya, namun ia tubuhnya tak dapat berbohong. Hasratnya tiba-tiba saja lenyap. Ia sadar bahwa tidak ada ruang bagi dirinya dalam hati lelaki itu. Walaupun raganya bisa dimilikinya, namun tidak dengan hatinya. Ia hanya mendapatkan cangkang tanpa jiwa. Marco menghujamkan batangnya yang mengeras ke bagian intim wanita itu. Cairan hangat meleleh dari sudut mata wanitanya. Zissy merasakan sakit, bukan hanya di bagian intimnya, tetapi juga di dalam hatinya. Ia merasa semua perjuangannya sia-sia, namun tak ingin melepaskan lelaki yang disukainya itu. Marco tetap memejamkan matanya, sengaja membiarkan fantasi liarnya terpuaskan. Ia terus mengayunkan pinggangnya dengan ritme yang sama, sengaja melepaskan hasrat yang terpendam cukup lama. Namun suara rintihan Zissy membuyarkan fantasinya. “Menjauhlah, jika ada perempuan lain di dekat
“Bapak tidak punya kuasa untuk ikut campur dalam hal ini,” ucap lelaki tua itu. “Mungkin justru teman-teman mereka yang lebih paham tentang hubungan mereka.” Sekali lagi Marco hanya menganggukkan kepalanya. Ia tak tahu lagi bagaimana lagi untuk mencari tahu kebenaran yang terjadi dua puluh tahun silam. Semua fakta benar-benar tertutup rapat. Bahkan ingatannya tentang semua hal yang menyangkut Irfan, sama sekali tak berguna. Ia terlalu acuh pada kakaknya saat itu. Ia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri dan mengabaikan semua urusan orang dewasa yang sama sekali tak dipahaminya saat itu. “Mungkin Bapak bisa memberikan beberapa alamat teman seangkatan Kak Irfan? Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan pada mereka.” Marco masih menyimpan sebuah harapan bahwa semua data lama sekolah ini masih lengkap dan tertata rapi.“Ada … ada! Sebentar saya ambilkan,” sahut lelaki tua itu sembari berdiri dari kursinya.Namun harapan itu langsung sirna saat Pak Munir membawa sebuah buku tulis ber
Cassandra tersenyum lebar. Dengan langkah yang mantap, ia memasuki Riverside Garden Apartemen, yang merupakan rumah baru baginya saat ini. Gadis itu menautkan tangannya di lengan Marco, seolah tak ingin lagi terpisah dari pamannya itu. Ruang apartemen dengan gaya minimalis itu, masih terlihat sama seperti saat ditinggalkannya dulu. Masih tetap rapi, seolah tak ada seorangpun yang tinggal di tempat senyaman ini. Cassandra menatap sekelilingnya dan mata itu masih sama, tetap terpaku melihat keindahan pemandangan di balik jendela besar kamar itu. Tiba-tiba terdengar suara lirih terdengar.Marco mengerutkan keningnya. “Kamu … lapar, ya?” Gadis itu menganggukkan kepalanya. “Aku belum makan dari pagi tadi.” “Sudah … sudah.” Marco mendorong tubuh mungil keponakannya masuk ke dalam kamar. “Kamu mandi dulu. Sementara pakai saja apapun yang ada di dalam sana.”Cassandra mencengkram daun pintu, menahan dirinya untuk masuk ke dalam satu-satunya kamar tidur di tempat itu. “Lalu Om mau kemana?
Zissy menatap gadis dihadapannya tanpa berkedip. Ia sama sekali tak menduga akan bertemu dengan salah satu siswanya di apartemen calon suaminya. Ia sangat terkejut, apalagi saat ia melihat gadis itu memakai kemeja pria yang bisa ditebak dengan mudah siapa pemiliknya. Zissy merasakan sakit di dadanya. Ia merasa Marco telah mengkhianatinya. Marco telah mempermainkan perasaannya. Bukankah dia sudah berjanji untuk menikahinya. Cassandra tidak kalah terkejutnya. Ia tak mengira jika dosennya itu bakal berkunjung ke apartemen pamannya. Walau ia tahu itu bukan yang pertama kalinya, tapi ia tidak menduga bahwa ia akan muncul kali ini.“Kenapa kamu ada di sini? Dan … baju itu, kenapa kamu pakai bajunya?” teriak Zissy penuh amarah. “Apa yang sudah kalian berdua lakukan?” Mendengar keributan itu, Marco pun keluar dari kamarnya. Lelaki itu masih menggunakan kimononya dengan satu tangan memegang handuk untuk mengeringkan rambutnya. “Zissy? Kenapa kamu kemari?” tanya Marco yang juga terkejut. La
“Mona Salimar!” ucap Marco. Tangannya mengetuk sebuah foto yang tertera pada yearbook di hadapannya. Sederetan wajah dalam pasfoto berwarna hitam putih itu menjadi pusat perhatiannya saat ini. “Jadi … sekarang kamu mencurigai kakak kamu bukan ayah kandung Cassandra?” tanya Rexy. “Aku rasa yang diucapkannya saat itu hanya kalimat yang didasari oleh emosi sesaatnya.”“Aku masih tidak yakin,” ungkap Marco. “Biasanya sesuatu yang terucap dengan emosi, adalah sebuah kebenaran.”Rexy berdiri dari kursinya dan melangkah menuju jendela besar di belakang meja kerja Marco. “Sekarang coba kamu pikir. Bagaimana mungkin Irfan akan membesarkan Cassandra seandainya ia bukan putri kandungnya? Kenapa ia tidak mengirim gadis itu ke panti asuhan saja?”“Tapi faktanya, Irfan membesarkannya sendiri tanpa Marini, istrinya,” lanjut Rexy. “Terlepas dari kesibukannya, dia tetap memperhatikan gadis itu hingga ia beranjak dewasa.”Marco tetap mengetuk-ngetukkan penanya ke satu wajah di dalam buku itu. Ia terli
Membayangkan atap rumah pemukiman yang terlihat dari balkon kamar apartemennya, membuat Cassandra kesal. Bibirnya masih manyun saat Marco menyerahkan kunci rumah barunya itu. “Kita akan isi tempat itu dengan semua barang yang kamu butuhkan. Besok, kamu bisa memakai kartuku untuk berbelanja semua kebutuhanmu.” Cassandra diam saja. Ia menyilangkan kedua tangannya, bersedekap di dada. Ia merasa tak nyaman karena harus tinggal sendiri dan ini adalah pengalaman pertamanya. “Kenapa?” tanya Marco. Lelaki itu melihat perubahan air muka keponakannya. “Aku takut tinggal sendirian,” sahutnya pelan. “Walau aku terbiasa sendirian, tapi … setidaknya aku di rumahku sendiri.”“Sandra, bukankah aku sudah berjanji untuk datang kapanpun kamu memanggilku? Bahkan jarak antara apartemen kamu dan tempat tinggalku tidak terlalu jauh.” Cassandra menghela napas. Ia merasa tak bersemangat. Memang lokasi apartemennya hanya beda lantai dengan milik Marco. Dan karena alasan itulah Cassandra menyetujui untuk m