Share

Bab 7

"Teman!" 

"Ah masa cuma teman? Beneran cuma teman?" tanya Cassandra. 

"Iya, dia teman lama Om."

"Cie … teman apa teman?" 

Marco membelokkan kendaraannya dan berhenti di taman dekat gerbang perumahan. Setelah memarkir mobilnya, ia menatap Cassandra dengan wajah penuh pertanyaan.

"Jadi kamu bisa berpikir kalau Om dan Bu Zissy mempunyai hubungan lebih dari teman?" tanyanya. "Dan kalau memang hubungan kami lebih dari sekedar teman, salahnya dimana?"

"Iya sih, nggak ada yang salah," sahut Cassandra. "Tapi …."

Cassandra menghentikan kalimatnya. Ia ragu untuk menyatakan perasaannya. Ia tidak suka jika Om Marco mempunyai hubungan dengan dosen yang se-menyebalkan Bu Zissy. 

"Tapi kenapa? Bu Zissy cantik, apa tidak cocok dengan Om kamu yang ganteng ini?" 

"Siapa bilang Om ganteng?"

"Bu Zissy," sahut Marco dengan cepat. 

Sepasang mata Cassandra membulat. Ia benar-benar tak menduga jika dosennya itu bahkan sudah merayu pamannya. Kali ini jawaban itu membuatnya benar-benar bungkam.

Marco mengerutkan keningnya. Ia memperhatikan perubahan raut wajah Cassandra yang begitu cepat. Wajah ceria dan suara manja itu tiba-tiba saja berubah menjadi datar tanpa ekspresi. 

"Kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Marco. 

"Nggak," sahut Cassandra singkat sembari membuang muka ke jendela sampingnya. 

Melihat perubahan mood keponakannya, Marco kehilangan selera untuk menggodanya. Ia kembali mengendarai mobilnya menuju rumah mereka.

Cassandra segera turun dari mobil. Gadis itu melangkah cepat masuk ke dalam rumah, tanpa menghiraukan teriakan Marco. Satu hal yang ingin dilakukannya saat ini, mengurung diri di kamar. Ia tidak ingin melihat wajah pamannya ataupun membayangkan sosoknya dan Bu Zissy yang sedang bermesraan.

Entah mengapa firasat Sandra dengan jelas mengatakan bahwa hubungan keduanya bukan hanya sekedar teman. Dan firasat itu membuat perasaannya tak nyaman. Ia bahkan menyesal sudah meminta bantuan Marco untuk menyelesaikan masalahnya dengan Bu Zissy.

"Sandra! Dengarkan aku!" teriak Marco. Sepasang kakinya bergerak dengan cepat menyusul langkah Cassandra. Suara ketukan langkahnya ketika menaiki anak tangga terdengar dengan ritme yang cepat.

"Nggak ada yang perlu dijelaskan Om. Dari bahasa tubuh kalian, Aku bisa tahu sejauh apa hubungan Om dengan Bu Zissy," ucap Cassandra. 

Gadis itu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Marco tepat di depan pintu kamarnya. "Aku tahu, aku cuma anak ingusan yang nggak ada artinya buat Om. Dan aku sadar kalau … Bu Zissy jauh lebih berharga dari pada aku." 

"Cassandra!" hardik Marco dengan kesal. "Apa yang coba kamu katakan? Apa kamu kira kamu bisa membaca pikiranku? Apa kamu kira kamu seorang cenayang yang bisa mengerti tanpa mendengarkan penjelasan dariku?”

Kali ini Cassandra terdiam. Ia berdiri mematung dengan perasaan yang tak menentu. Sementara itu Marco melangkah perlahan mendekatinya. 

Marco menjentik kening Cassandra. "Gadis bodoh! Kamu pikir siapa yang lebih berharga daripada keponakanku?" 

Cassandra mengelus keningnya yang sakit karena jentikan itu. Bibirnya manyun, karena kesal. Namun ia juga merasa seakan melambung ke atas langit karena pengakuan Marco. 

"Secantik apapun wanita itu, bagi Om, kamu adalah satu-satunya permata yang paling berharga," lanjut Marco. 

"Jadi … apa Om akan tetap bersamaku seumur hidup Om?" tanya gadis itu. 

“Tidak,” sahut Marco. “Aku tidak bisa menjanjikan itu. Tapi … Om akan selalu ada setiap kamu membutuhkan Om.” 

Cassandra menarik sudut bibirnya, membingkai seulas senyumannya yang indah. 

***

Malam itu begitu terasa berat bagi Cassandra. Ia masih saja berkutat di depan layar komputernya. Sepasang matanya menatap layar yang masih bersih tanpa satu kata pun.

“Ah … aku sama sekali nggak punya ide,” keluhnya. “Gimana ini? Apa yang harus aku tulis?” 

Gadis itu mendorong papan ketiknya dan meletakkan kepalanya ke atas meja dengan frustasi. Sudah berjam-jam ia duduk di depan komputer, tapi di kepalanya tak terlintas sedikitpun topik untuk bahan tugas bahasa. 

“Ah … mungkin Om Marco punya kenalan yang biasa bikin tugas seperti ini.” Cassandra menjentikkan jarinya seolah itu adalah sebuah ide cemerlang. Gadis itu bergegas berdiri dan mencari pamannya.

Ia mengetuk pintu kamarnya tanpa ragu. “Om Marco,” panggilnya sembari membuka knop pintu yang ternyata tak terkunci itu. 

Suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi. Dari lapisan kaca es, tampak siluet tubuh lelaki itu tatkala menikmati guyuran air yang turun dari showernya. 

Bukannya kembali ke dalam kamarnya, Cassandra justru menunggunya. Ia mendekati audio yang ada di dalam ruangan itu. Sepasang tangannya mencari disk lagu kesukaannya dan memasangnya ke dalam perangkatnya. 

Suara musik lembut yang terdengar, membuat Marco segera mematikan kran showernya. Seseorang sedang berada di dalam kamarnya. Ia tidak bisa gegabah untuk keluar begitu saja dari ruangan kecil yang sudah dipenuhi uap air itu. Tapi bagaimana caranya jika ia tidak membawa selembar pakaian pun untuk dikenakan. 

Marco melingkarkan handuknya di pinggangnya. Setidaknya untuk menutupi bagian intimnya dari keponakannya. Ia  harus memperingatkan Cassandra untuk tidak sembarang masuk ke kamarnya dan memintanya untuk menunggu di luar kamar. 

Marco membuka pintu kamar mandi. Tepat saat itu ia melihat Cassandra sedang asyik memperhatikan barang-barang yang masih tersisa di dalam tas kopernya. Dan celakanya, Cassandra sedang menimang barang berharga yang biasa disimpannya. Karet pengaman miliknya. 

“Ini apa Om? Baunya manis, tapi kok mirip balon?”  tanya Cassandra dengan polosnya. 

Menyadari benda miliknya berada di tangan keponakannya, membuat Marco mendadak gugup. Ia berlari untuk merampas benda yang seharusnya disimpannya di tempat yang aman itu.

“Sandra, lain kali jangan sembarangan masuk ke kamar Om,” ucapnya sembari memasukkan karet pengaman yang sudah keluar dari foil nya ke dalam tong sampah. 

Sandra mengamati tingkah pamannya. “Lah, kok dibuang? Itu permen karet kan Om?” 

Marco menepuk keningnya. “Dan satu lagi, kamu dilarang memegang barang-barang milik Om di kamar ini.” 

“Huh! Pelit amat, sih. Permen karet aneh itu paling juga berapa,” protesnya. 

Marco menghela napas. Ia tak ingin melanjutkan perdebatan ini. Lelaki itu berbalik dan melangkah menuju lemari pakaiannya, masih dengan handuk yang melilit di pinggangnya.

“Ada apa kamu kemari?” tanya Marco. Lelaki itu meraih sebuah kaos dan celana pendek dari dalam lemarinya, sebelum kembali berbalik menatap keponakannya. 

“Om Marco sibuk? Sandra butuh sedikit bantuan Om,” sahut gadis itu. 

“Bantuan? Bantuan apa?” tanya Marco penasaran. 

Mendengar kalimat bernada menantang itu, senyuman lebar terbit di bibir Cassandra. 

“Sini deh Om! Sandra mau nunjukin sesuatu!” sahut Cassandra.

Tanpa peduli kalau pamannya bahkan belum memakai pakaiannya, gadis itu menggenggam tangannya dan menariknya masuk ke dalam kamarnya sendiri. 

Marco yang mengira Sandra sedang dalam masalah, tak bisa menolaknya. Lelaki itu dengan patuhnya mengikuti langkah Cassandra. 

Ia baru tersadar ketika sudah berada di dalam kamar Cassandra. Kamar dengan aroma wangi melati dengan gaya khas gadis remaja jaman now itu sontak membuat jantungnya berdebar. 

Ditambah lagi saat melihat gaya busana keponakannya yang serba minim. Sebagai seorang lelaki normal, kejantanannya langsung tergugah. Batangnya mengeras di balik balutan handuk putihnya. 

“Om! Please, bikinin dong Om! Ntar sebagai bayarannya, Sandra bakal kasih apapun yang Om minta.”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Apentina Tambunan Tina
penasaran banget ya kan......
goodnovel comment avatar
Nuzul
penasaran jdnya cerita bagus
goodnovel comment avatar
Mohamed Angga
ceritanya bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status