Zissy menyeka bibir neneknya setelah suapan terakhir tuntas diberikannya. Perempuan berusia delapan puluhan itu masih mencecap makanan yang tersisa dengan giginya yang hanya beberapa saja.
“Enak, Oma? Nanti malam mau dimasakin apa?” tanya Zissy dengan senyum lembutnya.“Terserah kamu. Oma makan apapun yang kamu masak. Semua masakan buatanmu enak,” sahut si nenek.“Ya sudah, sekarang Oma mau ngapain?” tanya Zissy. Ia bersiap untuk membantu memposisikan wanita tua itu.“Mau rebahan,” sahutnya, tak terlalu jelas karena jumlah giginya yang nyaris habis.“Kok rebahan, Oma? Apa nggak capek terus rebahan?" tanyanya pada wanita yang telah membesarkannya itu.Belum sempat sang nenek memberikan jawaban, ia dikejutkan oleh suara ketukan di pintu rumahnya.“Tidak biasanya ada tamu,” gumamnya. Ia bergegas meninggalkan perempuan tua itu untuk membuka pintu rumahnya.Namun betapa terkejutnya ia ketika melihat Marco, mantan kekasihnya berdiri tepat di depan pintu.Sejenak keduanya membisu dan saling bertatapan. Setelah kejadian semalam, Zissy bahkan belum sempat menghubungi Marco untuk menjelaskan dan meminta maaf atas kesalahannya.Dan tentu saja kedatangan Marco membuatnya merasa canggung. Tapi perasaan canggung itu segera lenyap saat ia melihat gadis yang muncul dari balik tubuh Marco.“Cassandra? Kamu …. Marco, kenapa kamu ke mari? Ada apa ini?” tanyanya. Ia menatap keduanya secara bergantian. Ia merasa kebingungan melihat kedua tamu yang berdiri di depan pintu rumahnya.“Zissy? Jadi … kamu dosen yang dimaksud oleh Sandra?” Marco tak kalah terkejutnya dari Zissy.“Begini, Zissy. Sebaiknya kamu jangan salah paham. Aku kemari untuk dia,” sahut Marco. Sepasang tangannya meraih pundak Cassandra dan mendorongnya ke hadapan Zissy.Cassandra menundukkan kepalanya. “Bu Zissy, Sandra minta maaf atas insiden tadi. Sandra nggak berniat untuk menghina karya Bu Zissy. Tentang tugas menulis itu …."Zissy tersenyum kecut. Ia sangat menyadari bahwa semua yang diucapkan oleh Cassandra tentang tulisan yang dibuatnya tadi, sama sekali tidak keliru. Hanya saja, itulah yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya saat ini. Ia tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada lelaki yang dicintainya. Ia merasa dirinya seorang pengecut yang bersembunyi di balik rasa takut akan sebuah kenyataan. Kenyataan jika Marco tidak pernah mencintainya.“Bukan suatu masalah. Tentang tugas menulis, aku memang sudah merencanakan tugas itu. Sama sekali bukan karena kamu,” sahut Zissy dengan tegas. "Ibu tegaskan sekali lagi, tugas itu diberikan atas keinginanku. Tidak ada kaitannya denganmu."Ia tak peduli dengan pemikiran Marco tentang dirinya. Tapi setelah kejadian semalam, Zissy jadi berpikir sebuah kemungkinan kenapa Marco menolaknya. Bisa jadi sekarang Marco lebih menyukai gadis yang jauh lebih muda usianya, seperti Cassandra. Bahkan masih diingatnya dengan jelas, semalam ia juga menyebut nama Cassandra.“Ah … tapi Bu,” sahut Sandra dengan penuh keraguan. “Aku tidak pandai merangkai kalimat. Apalagi sebuah karangan yang sebegitu panjang.”“Lalu apa yang kamu bisa? Melamun di kelas? Menghabiskan waktu untuk berpacaran?” serang Bu Zissy.Melihat Zissy memojokkan Cassandra, membuat Marco menjadi kesal. Marco merasa sikap Zissy terlalu berlebihan terhadap keponakannya. Apalagi dengan kalimat bernada tuduhan itu. Marco merasa Zissy sedang memojokkan keponakannya.“Kamu, tunggu Om di mobil,” ucapnya sembari menepuk pundak Zissy. “Ada hal yang perlu Om bicarakan dengan Bu Zissy."Sandra menganggukkan kepalanya, walau sebenarnya dia merasa enggan untuk meninggalkan mereka berdua. Marco dan bu Zissy terlalu mencurigakan baginya. Bagaimana bisa mereka kenal satu sama lain. Dan hubungan canggung yang terlihat di antara keduanya, sungguh-sungguh membuatnya curiga.Marco mengikuti langkah Cassandra dengan sudut matanya. Sesaat kemudian, ia kembali menatap lawan bicaranya. "Kenapa kamu melakukannya?" tanyanya langsung pada inti permasalahan."Maaf," ucap Zissy. "Sebenarnya … aku cuma ingin menghabiskan malam sama kamu. Berbincang dan mengenang masa-masa indah yang pernah kita lalui bersama sepuluh tahun yang lalu. Tapi …."Zissy menghentikan kalimatnya. Ia menghela napas panjang sementara matanya menatap mobil yang baru saja dimasuki oleh Cassandra. "Sepertinya kamu sudah berubah. Bahkan seleramu juga tidak lagi sama.""Apa maksud kamu?"Zissy mengedikkan pundaknya. "Sekarang aku paham, kamu tidak akan pernah kumiliki. Aku tidak akan menunggumu lagi."Marco tertawa pelan. Ia mulai memahami jalan pikiran perempuan di hadapannya. Lelaki itu menoleh dan mengarahkan telunjuknya pada mobil yang sejak tadi diawasi oleh Zissy. "Dia? Kamu cemburu sama dia?" tanyanya."Tidak," tukasnya. "Untuk apa aku cemburu? Kita sudah berpisah selama sepuluh tahun. Aku bahkan tidak tahu dan tidak peduli siapa saja perempuan yang sudah kau tiduri."Marco tak bisa menahan tawanya. Ia tidak menyangka bahwa Zissy akan mengalihkan kesalahannya dan menyerangnya dengan sebuah kecemburuan."Zissy … Zissy. Kamu ini nggak pernah berubah." Marco menghentikan tawanya. Ia tak mau membuang waktu dan membiarkan Cassandra menunggu terlalu lama. "Kamu ingat apa alasan kita putus sepuluh tahun yang lalu?"Zissy terdiam. Memorinya seakan diputar ulang dengan paksa oleh kata-kata yang diucapkan oleh Marco. Ia ingat betapa sakit perasaannya ketika Marco memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka."Kamu terlalu posesif. Saat itu, siapapun yang dekat denganku, kamu serang," ucap Marco. "Hubungan seperti ini tidak akan pernah berhasil. Kamu tidak pernah mempercayaiku.""Aku memang dikuasai kecemburuan saat itu. Tapi bukankah aku jauh lebih baik dari kamu." Zissy menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Apa maksudmu?""Setidaknya aku tidak membodohi anak di bawah umur untuk menjadi pacarku," sahut Zissy dengan tatapan remeh.Sekali lagi Marco dibuat tertawa oleh tuduhan Zissy. Ia menggelengkan kepalanya dan menoleh pada Cassandra. Tepat saat itulah ia melihat raut kesal gadis yang menunggunya di dalam mobil itu."Om Marco! Panas nih!" teriaknya. "Cepetan! Nanti aku meleleh, loh!"Marco mengangkat satu tangannya dan kembali menatap Zissy."Aku akan sangat bersyukur jika hal itu benar. Tapi sayang sekali, dia keponakan kesayanganku. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakitinya, termasuk kamu."Kalimat yang diucapkan oleh Marco lebih terdengar seperti sebuah ancaman bagi Zissy. Namun Zissy tidak merasa takut, karena kini ia tahu bahwa Zissy adalah keponakan Marco. Justru ia merasa lega karena ia tahu Marco tidak mungkin memacari keponakannya sendiri. Itu berarti masih ada peluang walau sedikit, untuk hubungan di antara mereka. Dan satu hal yang lebih penting, Zissy tahu bahwa Cassandra adalah titik kelemahan Marco.Setelah cukup memberikan peringatan pada Bu Zissy, akhirnya mereka pun pulang. Sepanjang perjalanan, Cassandra memperhatikan gerak-gerik Marco. Ia merasa ada sesuatu yang sengaja disembunyikan pamannya itu darinya."Kenapa? Kok melotot gitu?" tanya Marco saat menyadari sepasang mata yang memperhatikannya dalam diam.Cassandra menggelengkan kepalanya. Ia merasa canggung untuk menanyakan apa yang ada di dalam pikirannya, walau dalam hatinya penuh pertanyaan. Cukup lama ia mengamati gerak-gerik kedua makhluk dewasa itu dari dalam mobil. Dan dari bahasa tubuh Bu Zissy, tampak jelas bahwa keduanya pernah akrab."Apa?" tanya Marco sekali lagi saat melihat wajah penuh rasa ingin tahu Casaandra. "Katakan saja sama Om.""Eng …. Anu, apa Om Marco sama Bu Zissy saling mengenal? Memangnya ada hubungan apa antara kalian berdua? Apa kalian berdua berpacaran?""Teman!" "Ah masa cuma teman? Beneran cuma teman?" tanya Cassandra. "Iya, dia teman lama Om.""Cie … teman apa teman?" Marco membelokkan kendaraannya dan berhenti di taman dekat gerbang perumahan. Setelah memarkir mobilnya, ia menatap Cassandra dengan wajah penuh pertanyaan."Jadi kamu bisa berpikir kalau Om dan Bu Zissy mempunyai hubungan lebih dari teman?" tanyanya. "Dan kalau memang hubungan kami lebih dari sekedar teman, salahnya dimana?""Iya sih, nggak ada yang salah," sahut Cassandra. "Tapi …."Cassandra menghentikan kalimatnya. Ia ragu untuk menyatakan perasaannya. Ia tidak suka jika Om Marco mempunyai hubungan dengan dosen yang se-menyebalkan Bu Zissy. "Tapi kenapa? Bu Zissy cantik, apa tidak cocok dengan Om kamu yang ganteng ini?" "Siapa bilang Om ganteng?""Bu Zissy," sahut Marco dengan cepat. Sepasang mata Cassand
Marco menelan kasar salivanya saat Cassandra dengan suara centilnya mulai melancarkan jurus rayuan mautnya. Ditambah lagi dengan bibir sexynya yang mencebik manja, membuat Marco menjadi semakin salah tingkah.“Ayolah Om, bantuin Sandra dong,” rayunya sembari mengayun-ayunkan tangan Marco dengan manja.Gerakan tangan yang menghentak-hentak itu membuat gumpalan lemak nan indah di dadanya ikut terguncang. Marco menghela napas, seolah ia dapat mengusir pikiran kotornya dengan oksigen yang mengalir dalam pembuluh darahnya.“Sandra,” panggilnya dengan lembut. “Om bahkan belum pakai baju. Jangan asal main tarik saja.”“Abisnya … Sandra bingung, udah malem gini, tapi masih nggak tau harus nulis apa.” “Ya udah, Om mau pakai baju dulu,” kesal Marco. Lelaki itu hendak melangkah meninggalkan keponakannya. Cassandra merentangkan tangannya, ia menghalangi langkah pamannya keluar dari kamarnya. Wajahnya merengut
Dengan gerakan perlahan dan senyum yang menggoda, gadis itu melepaskan satu demi satu manik kancing pakaian Marco. Marco berusaha berteriak dan mengusirnya pergi. Namun lidahnya kelu. Bukan saja lidahnya, tapi tubuhnya juga seakan lumpuh. Hanya sesuatu di pangkal pahanya yang terasa hidup dan semakin mengeras.“Om Marco cinta Sandra, kan? Jadi … Sandra mau kasih hadiah buat Om malam ini.”Jemari lentik gadis itu akhirnya berhasil membebaskan sesuatu yang mulai sesak di dalam celananya. Marco kembali melihat senyuman di bibir gadis itu. “Ah ….” erangnya saat merasakan sentuhan di bagian paling pribadi miliknya. Marco berusaha bergerak, angkat suara. Tapi ia tak bisa. Suara yang terdengar hanyalah erangan dan napasnya yang semakin memburu. Sandra mulai menimang bagian tubuh Marco yang mulai mengeras itu dengan lembut. Namun semakin lama pijatan itu berubah menjadi semakin agresif. Ma
“Tentu saja tidak,” sahut Marco dengan yakin. Lelaki itu menghentikan kendaraannya tepat di pinggir trotoar fakultas sastra. “Om sudah lelah berpetualang.”Mendengar jawaban itu, tiba-tiba saja seulas senyuman terbit di bibir Cassandra. Ia melambaikan tangannya pada Marco. “Om sini deh, aku mau ngomong sesuatu.” Marco mengerutkan keningnya sekali lagi. “Ngomong aja. Kita cuman berdua di sini.” “Ssst ….” Sandra meletakkan jari telunjuknya di atas bibirnya. “Sandra nggak mau kursi, kaca atau apapun di mobil ini mendengar ucapan Sandra.”“Memang kamu mau bilang apa?” tanya Marco sembari mencondongkan tubuhnya. Tepat saat itu gadis itu mengecup bibir Marco. “Terima kasih jawabannya. Sandra tau, Om nggak bakal mempermainkan Sandra.”Marco terpaku, bahkan saat kehangatan itu kembali menyentuh bibirnya. Tubuhnya seakan membeku, tak bisa menolak ciuman yang tiba-tiba mendarat begitu saja.
“Sandra, apa yang kamu lakukan?” Teriakan itu sontak membuat Cassandra mematung. Jemari tangannya berhenti melepaskan manik kancing kemeja yang dipakainya. “Kenapa Om? Bukannya Om Marco sudah biasa melihatku dengan tanktop di rumah,” protes Cassandra. “Tapi … apa kamu nggak malu kalau semua pekerja papa kamu ngeliatin kamu?” “Ish! Mana? Siapa? Ibu Niken maksud Om?” Cassandra tertawa kecil. “Cassandra Armeta! Sebagai adik papa kamu, Om ingatkan bahwa kamu sudah dewasa! Kamu bukan anak kecil lagi,” hardik Marco. “Bersikaplah bijak layaknya perempuan dewasa.” Marco merasa sangat kesal. Bagaimana bisa dirinya membiarkan pria lain menatap tubuh sexy Cassandra. Membayangkan tatapan penuh damba pria lain pada keponakannya itu saja, sudah cukup membangkitkan emosinya. Di lain pihak, Cassandra terkejut mendengar teguran dari pamannya. Baginya teguran itu cukup menjatuhkan harga dirinya. T
Marco menghela napas, mencoba mengusir emosi yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya. “Bagus. Sekarang sebaiknya kamu pulang untuk menemui kekasihmu itu,” sahut Marco setelah berhasil mengatasi rasa emosinya. Lelaki itu meletakkan kedua tangannya ke atas pundak keponakannya dan memutarnya hingga menghadap ke pintu. Namun saat Marco membuka pintu, Cassandra justru memanfaatkan kelengahannya. Gadis itu berputar, berjinjit dan mendaratkan kecupan di bibir Marco. Jantung Marco berdetak dengan kencang saat bibir lembab nan lembut itu menyentuh bibirnya. Pikiran dan hatinya saling bertentangan. Otaknya memerintahkan untuk melepaskan Cassandra, namun hatinya tak dapat merelakan perasaan indah ini. Cassandra terlalu indah untuk dilepaskan. Bahkan jika ini adalah mimpi, ia tak ingin terbangun lagi. “Cassandra.” Gadis itu kembali melingkarkan kedua tangannya di pinggang Marco. Ia bahkan meletakkan kepalanya di dada bidang pamannya. “Aku sudah berada di depannya. Lalu untuk apa aku pergi,”
“Cassandra, apa-apaan ini. Letakkan pisau itu,” titah Marco saat melihat benda tajam di tangan Cassandra. Cassandra menggelengkan kepalanya. “Untuk apa aku hidup, tak ada satupun yang menyayangi aku. Bahkan orang tuaku juga membenciku. Lalu apa alasanku untuk tetap hidup?” “Sandra …” Marco melangkah mendekat dengan penuh waspada. “Jangan lakukan itu. Percayalah, jangan sampai kamu melakukan sesuatu yang akan kamu sesali.” "Jalanmu masih panjang, jangan menyakiti dirimu sendiri," lanjutnya. "Baiklah," sahut Cassandra. "Tapi katakan dengan jujur, sebenarnya Om juga mencintaiku, bukan?"Marco menelan kasar salivanya, ia seakan terjebak dalam jalan yang dipilihnya sendiri. Tentu saja dia tidak mungkin mengelak setelah mencumbu Cassandra barusan. Ia tidak mungkin bisa mengatakan tidak mempunyai perasaan apapun, sementara keponakannya telah merasakan luapan hasratnya."Cassandra," panggilnya. "Aku …." Cassandra melepaskan pisau itu dari tangannya. Gadis itu melangkah mundur sembari men
Tiga hari berlalu begitu saja. Cassandra masih berusaha untuk melupakan Marco. Ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah, karena begitu banyak kenangan pamannya di rumah itu. Kejadian malam itu benar-benar membuat perubahan pada sikap Cassandra. Seperti pada siang itu, di saat matahari terasa panas menyengat di kulit. Cassandra justru menghabiskan waktunya bercengkrama dengan kawan-kawannya di taman kampusnya. "Jadi gimana? Kamu beneran mau jadi pacar aku?" Nando menggenggam tangan Cassandra dengan tatapan penuh harap. Cassandra langsung menarik tangannya saking risihnya. “E, e, eh! Enak aja main serobot.” Fritz yang baru saja muncul dan disuguhi adegan itu, spontan memisahkan keduanya. Lelaki itu duduk di antara keduanya, sehingga membuat kedua temannya bergeser menjauh. “Gue sudah berkali-kali menyatakan perasaan gue sama dia,” lanjutnya. “Seharusnya lo nggak main serobot gebetan orang.”“Ah … rese lo! Udah ditolak berkali-kali juga, nggak nyadar,” gumam Nando dengan kesal. Lela