Rey membuka mata dan menatap Aura, sorotnya penuh beban. “Aku ingin melindungimu. Aku takut kalau kau tahu semuanya ... kau akan pergi.”Aura mendekat. “Jangan lindungi aku dengan kebohongan. Aku bukan gadis lemah yang butuh dijaga dengan ketidaktahuan. Aku butuh kebenaran, Om. Walau menyakitkan.”Hening sesaat. Rey menunduk, seperti sedang menahan badai dalam dirinya.“Sofia … dia adalah belenggu dalam hidupku,” gumam Rey, hampir tak terdengar. “Dia menyalahkanku atas kematian Dion. Membuatku merasa bersalah selama bertahun-tahun. Dan setelah Dion tiada, dia … dia mengikatku dengan cara yang paling menjijikkan. Bukan cinta. Tapi kendali.”Aura merasakan matanya panas. “Dan kamu biarkan dia tetap mendekatimu?”Rey menggeleng. “Tidak. Aku sudah mencoba lepas sejak lama. Tapi setiap kali aku menjauh, dia menarikku kembali … lewat Micho, lewat ancaman perusahaan, lewat rahasia-rahasia masa lalu yang tidak bisa aku kendalikan.”Aura mencengkram tangannya sendiri. Emosinya meluap, tapi ada
Langit senja menggantung muram saat Aura melangkah menuju butik Sofia untuk kedua kalinya. Namun kali ini, langkahnya bukan karena rasa penasaran, melainkan karena sebuah tekad yang telah membara sejak pagi. Kata-kata Sofia di telepon masih terngiang dalam pikirannya — datar, tenang, namun penuh ancaman."Kalau kau ingin Rey tetap hidup tenang, datanglah sore ini. Jangan buat aku mencarimu."Ancaman itu tidak diucapkan dengan nada tinggi. Tapi justru karena tenangnya, Aura tahu Sofia serius. Bukan ajakan bicara. Ini adalah tantangan. Sebuah peringatan yang dibungkus dalam senyum palsu.Begitu memasuki butik, aroma parfum mawar langsung menyergap inderanya. Cahaya remang dari lampu gantung memantulkan kilau gaun-gaun mahal yang tergantung rapi. Butik itu tampak elegan, tenang di luar, namun Aura tahu badai tengah menunggu di dalamnya.Sofia berdiri di tengah ruangan. Seperti biasanya, perempuan paruh baya itu tampil nyaris sempurna — setelan hitam berkilau, rambut tersanggul rapi, bibi
Aura menatap wajah Rey dalam diam. Wajah itu, yang selama ini menyimpan ketegasan dan kesunyian, kini perlahan-lahan tenggelam dalam lautan luka yang tak terlihat namun terasa nyata. Matanya yang biasanya menyala seperti bara yang menantang malam kini redup, buram oleh kenangan pahit yang kembali menyeruak tanpa diundang. Aura bisa merasakannya, getar itu. Lelaki di hadapannya sedang berperang melawan hantu masa lalunya, tersesat di antara keinginan untuk membuka diri dan rasa takut akan luka yang mungkin kembali menganga.“Apakah … dia menyakitimu karena itu?” Suaranya lirih, hampir tak terdengar di antara denyut jantungnya sendiri. “Luka-luka di tubuhmu, Rey. Apa yang telah dia lakukan padamu?”Rey perlahan menoleh, tatapannya menatap wajah Aura seolah mencari pegangan. Ada badai di matanya, yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Bibirnya sempat terbuka, namun kembali tertutup. Diam. Berjuang dalam bisu.“Maaf, Aura…” katanya akhirnya, suaranya parau, serak oleh beban yang terlalu
Aura masih membisu saat Rey memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Suasana hening terasa mencekik, seolah malam pun menahan napas menyaksikan ketegangan di antara mereka. Aura turun dengan langkah berat, sementara Rey mengikutinya dari belakang. Meski ia sudah berhenti meronta, amarahnya belum surut. Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras, dan napasnya terdengar berat.Di dalam rumah, Aura melempar tasnya ke sofa dan berbalik menghadap Rey."Ceritakan semuanya. Sekarang, Om," katanya tegas. "Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya. Apa yang kamu sembunyikan. Dan kenapa semua perempuan yang pernah dekat denganmu berakhir tragis."Rey menatapnya lelah. Ia menyandarkan tubuhnya di meja makan, kedua tangannya menggenggam permukaannya erat-erat. Ia membuka mulut, tapi menutupnya kembali."Aku… nggak tahu harus mulai dari mana," gumamnya. "Semuanya terlalu panjang. Terlalu rumit.""Aku punya waktu," Aura bersikeras. "Kita akan duduk di sini, dan kamu akan bicara. Sampai aku mengerti segalanya
Di seberang jalan butik tempat ia baru saja berbicara dengan Sofia, Rey Damartha berdiri mematung di balik kaca jendela mobil hitamnya yang mengilat. Sorot matanya tajam, penuh perhitungan. Ia baru saja melihat sosok perempuan yang tidak asing baginya — bukan Aura, tapi sahabatnya, Jessy.Jessy tidak menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan. Ia terlihat gelisah, bolak-balik berdiri di trotoar seolah menunggu seseorang. Rey mencermati, gerak-geriknya mencurigakan."Pak Rey," suara rendah sopir pribadinya terdengar dari kursi depan. "Apakah saya perlu turun dan menanyakan sesuatu pada wanita itu?"Rey menggeleng perlahan, tetapi matanya tidak lepas dari Jessy. "Tidak perlu. Tapi aku yakin dia tidak di sini sendiri. Panggil anak-anak. Suruh mereka cari tahu di mana Aura sekarang. Aku ingin tahu sekarang juga."Beberapa menit kemudian, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Rey. Isinya ringkas: Aura terlihat memasuki Seventy Eight Degrees bersama seorang wanita tak dikenal.Rey mengernyi
Aura mempercepat langkahnya menyusuri trotoar, matanya tak lepas dari sosok berbalut hoodie hitam yang melangkah cepat di depannya. Gemerlap lampu kota memantul di genangan air sisa hujan sore tadi, menciptakan bayangan semu yang membuat segalanya tampak seperti potongan mimpi buruk. Nafas Aura memburu, tapi ia masih tak ingin menyerah.“Maureen, tunggu!”Sosok itu berhenti perlahan, bahunya sedikit naik-turun seiring helaan napas. Lalu ia berbalik. Wajah tirus Maureen tampak lelah, mata sayunya menyimpan terlalu banyak cerita, namun ia tak terkejut. Seolah ia memang menanti saat ini datang, seolah ia tercipta untuk memperingatkan siapapun yang bakal menjadi korban Rey selanjutnya.“Aura,” katanya datar. “Kenapa kamu mengejarku?”“Tenang …. Aku hanya ingin bicara. Aku tidak datang untuk menyerangmu,” jawab Aura lembut, nyaris memohon. “Aku cuma butuh kebenaran.”Maureen menatapnya lama — tajam, penuh waspada. Sejenak, hanya suara mobil-mobil malam dan langkah pejalan kaki yang terdeng
“Kita akan besarkan bayi itu, tapi ….” Rey menghela napas, jemarinya menyibak anak rambut Aura yang menutup di wajahnya, “tidak untuk saat ini. Aku takut, kamu dan bayi kita harus menderita.” Aura menghela napas laku menggigit bibir bawahnya sendiri dengan perasaan kacau. Ia tahu dengan pasti, tidak akan mudah baginya untuk menyingkirkan kenangan masa lalunya. Dan jawaban Rey, memperlihatkan dengan jelas keraguan tentang perasaannya sendiri. Gadis itu berbalik untuk membelakangi Rey. Ditariknya selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih polos sebelum memejamkan mata. Lelah! Itu yang dirasakannya saat ini. Perjalanan jauh ke pinggiran kota, belajar berkuda, hingga peristiwa yang hampir merenggut nyawanya tadi. Bukan hanya fisiknya saja, mentalnya juga terasa lelah. Rey seperti sengaja memberikan sebuah harapan, membuatnya merasa nyaman. Lalu tiba-tiba saja ia menghempaskannya dengan sebuah penolakan. Aura merasakan telapak tangan kasar itu menyentuh lengannya. “Aura, kamu marah?”
Pertanyaan yang selama ini menggantung dalam pikiran Aura, seakan terjawab tanpa sebuah kata. Tanpa sebuah kalimat yang berlebihan, lelaki itu telah menunjukkan perasaannya. Rey tidak rela ia terluka, bahkan ia sendiri rela menyelamatkan Aura walau nyawa menjadi taruhannya. Ia mulai menyadari bahwa apa yang dirasakannya sama sekali berbeda dengan gadis-gadis lain yang berhubungan dengannya. Aura memejamkan matanya. Napasnya semakin kacau, tubuhnya meliuk dengan gelisah karena sentuhan jemari Rey. Jemari yang menggelitik di bagian intinya hingga membuatnya semakin menggila.Jemari lentik itu meremas rambut Rey, saat gelitik itu tak dapat lagi ditahannya. Kedut-kedut itu semakin menggila di dalam rongganya, seakan menanti sesuatu untuk memenuhi dan memujanya dengan penuh gairah.Rey menatap tubuh ramping di bawahnya. Gerakan sensual itu seakan memberinya sebuah kode untuk segera melanjutkan permainannya. Ditatapnya wajah sensual dengan bibir yang lirih memuja namanya. Ia menelan kasa
Gaun tidur lembut itu membalut tubuh Aura. Dari kulit lembab dan hangat itu menguar aroma manisnya vanila. Rambutnya yang lembab masih tergerai saat Rey mendekat dan mengusapnya dengan lembut. “Tidurlah,” ucapnya dengan lembut seakan sebuah permintaan ijin untuk meninggalkan kamar itu. Aura segera mencekal tangannya. Ia mencengkram pergelangan tangan lelaki itu, seakan tak ingin melepaskannya lagi. Bayang-bayang kejadian sore tadi, masih melekat di dalam ingatannya. Ia masih tak bisa melupakan betapa menakutkannya berguncang di atas punggung seekor kuda yang tiba-tiba berlari dengan kencangnya. Jantungnya bahkan nyaris berhenti berdetak saat melihat jurang yang menganga di hadapannya tadi. Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Jangan pergi. Aku takut,” lirihnya seolah memohon.Sepasang mata itu berkaca-kaca, membuat perasaan Rey menjadi tak menentu. Ada perasaan marah, bersalah bercampur aduk dengan penyesalan di dalam hatinya. Seandainya saja ia tidak merencanakan kencan ini – sean