Valdi menahan napas sejenak, merasakan dorongan tak terduga itu. Dia melanjutkan, berusaha tetap tenang sambil memperlihatkan beberapa pakaian tidur yang juga tampak agak minim.
“Ini bagus buat tidur, adem dan ringan,” ujarnya, menampilkan gambar kostum maid yang sangat ketat.
Mayang menatap gambar itu sejenak, merasa agak canggung dengan pilihan pakaian yang terbuka seperti itu. “Ini... nggak kebuka terlalu banyak, Om?” tanya Mayang dengan polos, sambil mendekatkan wajahnya lagi ke layar. Saat itu, dadanya menekan lebih kuat ke tubuh Valdi, membuat napas pria itu tertahan sejenak.
“Ah, nggak, Mayang. Ini hanya terlihat aja begitu di foto. Nyatanya, ini baju tidur yang nyaman kok, dan bisa kamu pakai kalau kamu mau,” Valdi berusaha terdengar meyakinkan, meski di dalam dirinya, gairah yang terpendam mulai menggeliat. Ekspresi polos Mayang, yang begitu dekat dengan tubuhnya, membuatnya semakin tergoda untuk terus mendorong gadis itu memilih pakaian-pakaian yang lebih berani.
Mayang, tanpa menyadari apa yang sebenarnya terjadi di dalam pikiran Valdi, akhirnya setuju dengan pilihan-pilihan yang ditunjukkan oleh pria itu. Dalam hati, Valdi merasa puas, meskipun dia tahu bahwa apa yang dia lakukan agak... licik. Tapi ada bagian dari dirinya yang menikmati proses ini, seolah ini adalah awal dari sesuatu yang lebih.
Malam semakin larut, dan setelah mereka selesai memilih pakaian, Valdi mengantar Mayang kembali ke kamarnya. “Pesanan kita mungkin sampai dua atau tiga hari lagi, jadi sementara pakai yang kamu punya dulu, ya,” katanya sambil tersenyum.
“Terima kasih, Om,” jawab Mayang dengan senyum lembut, tidak menyadari kegelisahan yang mulai menggelayuti hati Valdi. Ketika Mayang masuk ke kamarnya dan menutup pintu, Valdi berdiri sejenak di depan pintu kamar gadis itu, hatinya masih dipenuhi dengan gejolak yang tak kunjung reda.
Malam itu, saat Valdi kembali ke kamarnya sendiri, bayangan Mayang dalam pakaian yang ketat dan minim terus menghantui pikirannya. Keheningan kamar terasa semakin pekat, seolah mengisyaratkan bahwa sesuatu yang tak terucap akan segera mengubah dinamika di antara mereka. Valdi berbaring di tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri, namun sensasi dari sentuhan tadi dan bayangan pakaian yang akan dikenakan Mayang terus menghantui pikirannya, menyalakan api keinginan yang semakin membara di dalam dirinya.
*****
Pagi yang tenang menyelimuti rumah Valdi, sinar matahari menerobos lembut melalui jendela besar di ruang tamu. Valdi sudah terjaga lebih awal, duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya, memikirkan bagaimana hari ini akan berjalan. Suara langkah kaki yang ringan terdengar dari arah kamar Mayang, dan tak lama kemudian, gadis itu muncul, masih dengan pakaian yang sama dari malam sebelumnya, namun kali ini dia tampak lebih segar dan tenang.
“Selamat pagi, Om Valdi,” sapa Mayang dengan senyum kecil di wajahnya.
“Selamat pagi, Mayang. Tidurmu nyenyak?” tanya Valdi sambil memandang gadis itu, yang masih tampak sedikit malu-malu.
“Nyenyak, Om. Terima kasih,” jawab Mayang, matanya melirik ke arah dapur. “Om mau sarapan apa hari ini?”
Valdi tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Kita belum bahas soal pekerjaan kamu di sini, ya? Mungkin kita bisa mulai dari situ,” katanya sambil mengisyaratkan Mayang untuk duduk di meja makan bersamanya.
Mayang menurut, duduk dengan tenang sambil menatap Valdi penuh perhatian. “Tugas utama kamu di sini sebenarnya cukup sederhana,” Valdi memulai penjelasannya. “Kamu hanya perlu membantu menjaga kebersihan rumah, dan tentu saja, menyiapkan makanan sehari-hari. Itu aja.”
Mayang mengangguk, tampak lega karena tugas yang diberikan tidak terlalu berat. “Aku suka masak, Om. Di rumah nenek, aku sering masak untuk nenek dan adiknya. Nenek mengajarkan aku banyak resep rahasia keluarga,” kata Mayang dengan antusias. “Jadi, soal makanan, Om nggak perlu khawatir. Aku bisa menyiapkan semuanya.”
Valdi tersenyum lebar mendengar jawaban Mayang. “Wah, hebat sekali. Kalau begitu, mulai sekarang, kamu yang tentukan menu kita setiap harinya,” katanya. “Om nggak terlalu pandai masak, jadi Om serahkan semuanya sama kamu.”
Mayang tersipu malu, namun jelas dia senang diberi kepercayaan. “Baik, Om. Aku senang bisa masak buat Om,” jawabnya sambil tersenyum.
Valdi kemudian melanjutkan, “Oh ya, pekerjaan Om itu trader forex, crypto, dan saham. Jadi, Om biasanya kerja dari rumah aja, nggak perlu sering keluar. Makanya kamu nggak usah khawatir kalau lihat Om jarang pergi,”
Mayang mengangguk, mengerti. “Jadi, Om di rumah terus? Nggak bosan?”
Valdi tertawa kecil. “Kadang bosan, tapi ya begitulah pekerjaan Om. Tapi dengan kamu di sini, mungkin Om nggak akan terlalu bosan lagi.”
Setelah percakapan mereka, Valdi mengajak Mayang ke dapur untuk memperlihatkan peralatan masak yang ada di sana.
“Ini dapurnya, kamu bisa pakai semuanya. Tapi kayaknya kamu belum pernah pakai kompor ini, ya?” tanyanya sambil menunjuk ke arah kompor gas modern dengan berbagai fitur otomatis.
Mayang menatap kompor itu dengan sedikit kebingungan. “Belum pernah, Om. Di rumah nenek cuma ada kompor biasa,” katanya jujur.
Valdi tersenyum lagi, sedikit senang karena bisa membantu Mayang. “Nggak apa-apa, Om ajarin ya,” katanya sambil memposisikan dirinya di belakang Mayang. “Kamu berdiri di sini, biar Om tunjukin caranya.”
Mayang berdiri di depan kompor, sementara Valdi mendekat dari belakang, posisinya sangat dekat sehingga tubuh mereka hampir bersentuhan. Valdi memegang tangan Mayang dengan lembut, menuntunnya untuk mengoperasikan kompor tersebut.
“Pertama, kamu nyalain ini dulu,” kata Valdi sambil memutar knop gas, tangannya yang besar menuntun tangan kecil Mayang untuk melakukan hal yang sama. “Lalu tekan tombol ini buat nyalain apinya.”
Mayang mengikuti instruksi Valdi, namun karena posisi mereka begitu dekat, kehangatan tubuh Valdi terasa jelas di punggungnya. Saat Valdi menuntunnya untuk menekan tombol, tanpa sengaja kemaluan Valdi menyentuh bokong Mayang yang lembut. Sensasi itu mengejutkan Valdi, dan seketika dia merasa aliran panas menjalar di tubuhnya.
Mayang tidak mengatakan apa-apa, tapi dia merasakan sentuhan itu. Tubuhnya sedikit menegang, namun dia tidak bergerak, tetap fokus pada instruksi yang diberikan Valdi. Sementara Valdi berusaha keras untuk tetap tenang, dia merasakan dorongan yang kuat untuk lebih dekat lagi dengan Mayang, meski dia tahu itu salah.
Di tengah kekalutan dan kebingungan dengan apa yang barusan terjadi, pandangan Mayang perlahan beralih pada Valdi. Pria itu masih terbaring, memejamkan mata, tapi anehnya... wajahnya kini terlihat begitu tenang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah beban berat yang selama ini dilihat Mayang di wajah itu, kini telah terangkat.Melihat Valdi yang tampak begitu damai seketika menorehkan perasaan aneh di hati Mayang. Ada... kepuasan? Perasaan bahwa ia berhasil mengurangi penderitaan Valdi, menenangkannya. Dan anehnya, perasaan itu juga menenangkan Mayang, meredakan sedikit kepanikannya.Dengan tangan masih sedikit gemetar, Mayang meraih handuk kecil dari baskom di dekat ranjang. Ia mulai membersihkan noda hangat lengket itu dari telapak tangannya, mengusap di antara jemarinya, lalu dengan hati-hati membersihkan bagian yang terkena noda di tubuh Valdi.Valdi merasakan sentuhan lembut lagi. Matanya terbuka sedikit, menatap Mayang yang sedang membersihkan noda dengan tekun dan tulus.
“Kamu… ngapain?” Suara Valdi serak, terdengar penuh pertanyaan, tapi mata yang baru terbuka separuh itu memancarkan sesuatu yang lain. Bukan marah, bukan kaget, melainkan… pengamatan yang dingin.Mayang menarik tangannya seolah tersengat listrik. Wajahnya masih memerah, napasnya sedikit terengah. “Ma-maaf, Om!” Ia tergagap. “Mayang… Mayang nggak sengaja…”Ia menatap Valdi dengan mata penuh penyesalan. “Mayang cuma… heran ini apa. Keras di dalam tapi lembek di luar. Tadi waktu Mayang pegang… kok tiba-tiba tegang sendiri. Mayang pikir… sakit.”Valdi mengamati ekspresi Màyang yang masih dipenuhi kebingungan. Ada sedikit keanehan, kegugupan yang halus yang mulai muncul di mata polosnya, tetapi dibungkus erat oleh hasr
Napas Mayang terasa pendek-pendek saat ia berdiri di depan pintu kamar Valdi. Rambutnya yang masih setengah basah menetes pelan, membasahi punggung crop top putih ketat yang dikenakannya. Kain tipis itu menempel erat, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang muda. Rok mini coklat muda di pinggangnya bergoyang lembut setiap kali ia bergerak, memperlihatkan paha jenjangnya yang bersih nyaris tanpa tertutup apa pun.Jantungnya berdebar. Bukan debaran normal, tapi debaran yang aneh—campuran gugup, rasa ingin tahu, dan sesuatu yang lain yang belum ia pahami.Dengan telapak tangan yang terasa lembab karena keringat dingin, ia mengangkat tangan dan mengetuk pintu.Tok. Tok.&ldqu
Dua hari telah berlalu sejak kepulangannya dari rumah sakit. Valdi akhirnya kembali ke rumahnya sendiri. Sebuah bangunan besar, megah berlantai tiga, berdiri kokoh di tengah kawasan elit yang sunyi, nyaris tersembunyi dari hiruk pikuk dunia luar. Pintu gerbang besi menjulang, dijaga ketat oleh sepasang penjaga berpakaian serba hitam yang nyaris tak pernah bersuara, mereka hanya bergerak atas instruksi langsung dari Valdi.Dahulu, sekitar tiga tahun lalu, Mayang pernah mengenal rumah ini dengan nuansa yang berbeda. Saat itu, ia datang bersama ibunya, yang berstatus sebagai pembantu setia di kediaman Valdi. Namun, sekarang... segalanya terasa asing. Rumah ini kehilangan kehangatannya, tanpa kehadiran Anya, mantan istri Valdi yang dulu ceria. Tanpa Ibunya, yang menjadi satu-satunya jembatan Mayang ke tempat ini. Dan tanpa siapa-siapa lagi... hanya Valdi... dan dirinya sendiri.
"Aku... aku nggak ngerti apa maksud kamu, Valdi." Anya akhirnya bersuara, raut wajahnya dipenuhi kepanikan yang berusaha ia sembunyikan. "Aku cuma khawatir sama kondisi kamu kalau dirawat di rumah. Kamu masih butuh pengawasan ketat."Valdi mendengus. "Bullshit." Napasnya terdengar berat. "Asal kamu tahu aja, setelah aku tahu apa yang bikin aku koma selama ini, aku nggak akan diem, Anya. Dan kamu tahu itu." Ia menatap Anya tajam, seolah mampu menembus kebenaran yang disembunyikan di balik matanya."Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud, Valdi. Kamu pikir aku orang seperti apa? Aku nggak akan sembarangan menangani pasien, apalagi kamu..." Suara Anya bergetar, berusaha meyakinkan, tapi justru terdengar seperti pembelaan diri yang lemah.Valdi memejamkan mata sejenak, berusaha meredam amarah yang membara dalam dirinya. "Sudahlah, Anya. Aku nggak mau denger alasan ini itu dari kamu. Aku capek. Tolong keluar sekarang juga."Anya berdiri terpaku, seolah kakinya
Vina menangkap kebingungan penuh rasa ingin tahu di mata Valdi. Senyum kecilnya menyimpan rahasia, ada kerlip lucu di matanya yang seolah menantang."Your dad told me about you… and I’ve read your story," ujarnya ringan. "Tapi ketemu langsung seperti ini? Kayaknya belum. Why?" Pertanyaan sederhana itu, dilontarkan dengan kepala sedikit dimiringkan, terasa seperti Vina sedang membaca setiap inci rahasia yang tersembunyi dalam diri Valdi.Valdi perlahan melepaskan genggaman tangannya, namun jemarinya sempat menyapu punggung tangan Vina, gerakan yang sarat makna, seolah mencari jejak kehangatan yang baru saja menyelinap."Cuma penasaran aja," bisiknya pelan, nyaris gumaman. "Seems like we already knew each other… for a long time." Tatapannya dalam, intens, namun dibungkus ketenangan yang menggoda.Vina melangkah lebih dekat, keintiman di antara mereka semakin kentara. Jari-jemarinya yang lembut mengusap pipi Valdi. Nada suaran