Vina menangkap kebingungan penuh rasa ingin tahu di mata Valdi. Senyum kecilnya menyimpan rahasia, ada kerlip lucu di matanya yang seolah menantang.
"Your dad told me about you… and I’ve read your story," ujarnya ringan. "Tapi ketemu langsung seperti ini? Kayaknya belum. Why?" Pertanyaan sederhana itu, dilontarkan dengan kepala sedikit dimiringkan, terasa seperti Vina sedang membaca setiap inci rahasia yang tersembunyi dalam diri Valdi.
Valdi perlahan melepaskan genggaman tangannya, namun jemarinya sempat menyapu punggung tangan Vina, gerakan yang sarat makna, seolah mencari jejak kehangatan yang baru saja menyelinap.
"Cuma penasaran aja," bisiknya pelan, nyaris gumaman. "Seems like we already knew each other… for a long time." Tatapannya dalam, intens, namun dibungkus ketenangan yang menggoda.
Vina melangkah lebih dekat, keintiman di antara mereka semakin kentara. Jari-jemarinya yang lembut mengusap pipi Valdi. Nada suaran
Napas Mayang terasa pendek-pendek saat ia berdiri di depan pintu kamar Valdi. Rambutnya yang masih setengah basah menetes pelan, membasahi punggung crop top putih ketat yang dikenakannya. Kain tipis itu menempel erat, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang muda. Rok mini coklat muda di pinggangnya bergoyang lembut setiap kali ia bergerak, memperlihatkan paha jenjangnya yang bersih nyaris tanpa tertutup apa pun.Jantungnya berdebar. Bukan debaran normal, tapi debaran yang aneh—campuran gugup, rasa ingin tahu, dan sesuatu yang lain yang belum ia pahami.Dengan telapak tangan yang terasa lembab karena keringat dingin, ia mengangkat tangan dan mengetuk pintu.Tok. Tok.&ldqu
Dua hari telah berlalu sejak kepulangannya dari rumah sakit. Valdi akhirnya kembali ke rumahnya sendiri. Sebuah bangunan besar, megah berlantai tiga, berdiri kokoh di tengah kawasan elit yang sunyi, nyaris tersembunyi dari hiruk pikuk dunia luar. Pintu gerbang besi menjulang, dijaga ketat oleh sepasang penjaga berpakaian serba hitam yang nyaris tak pernah bersuara, mereka hanya bergerak atas instruksi langsung dari Valdi.Dahulu, sekitar tiga tahun lalu, Mayang pernah mengenal rumah ini dengan nuansa yang berbeda. Saat itu, ia datang bersama ibunya, yang berstatus sebagai pembantu setia di kediaman Valdi. Namun, sekarang... segalanya terasa asing. Rumah ini kehilangan kehangatannya, tanpa kehadiran Anya, mantan istri Valdi yang dulu ceria. Tanpa Ibunya, yang menjadi satu-satunya jembatan Mayang ke tempat ini. Dan tanpa siapa-siapa lagi... hanya Valdi... dan dirinya sendiri.
"Aku... aku nggak ngerti apa maksud kamu, Valdi." Anya akhirnya bersuara, raut wajahnya dipenuhi kepanikan yang berusaha ia sembunyikan. "Aku cuma khawatir sama kondisi kamu kalau dirawat di rumah. Kamu masih butuh pengawasan ketat."Valdi mendengus. "Bullshit." Napasnya terdengar berat. "Asal kamu tahu aja, setelah aku tahu apa yang bikin aku koma selama ini, aku nggak akan diem, Anya. Dan kamu tahu itu." Ia menatap Anya tajam, seolah mampu menembus kebenaran yang disembunyikan di balik matanya."Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud, Valdi. Kamu pikir aku orang seperti apa? Aku nggak akan sembarangan menangani pasien, apalagi kamu..." Suara Anya bergetar, berusaha meyakinkan, tapi justru terdengar seperti pembelaan diri yang lemah.Valdi memejamkan mata sejenak, berusaha meredam amarah yang membara dalam dirinya. "Sudahlah, Anya. Aku nggak mau denger alasan ini itu dari kamu. Aku capek. Tolong keluar sekarang juga."Anya berdiri terpaku, seolah kakinya
Vina menangkap kebingungan penuh rasa ingin tahu di mata Valdi. Senyum kecilnya menyimpan rahasia, ada kerlip lucu di matanya yang seolah menantang."Your dad told me about you… and I’ve read your story," ujarnya ringan. "Tapi ketemu langsung seperti ini? Kayaknya belum. Why?" Pertanyaan sederhana itu, dilontarkan dengan kepala sedikit dimiringkan, terasa seperti Vina sedang membaca setiap inci rahasia yang tersembunyi dalam diri Valdi.Valdi perlahan melepaskan genggaman tangannya, namun jemarinya sempat menyapu punggung tangan Vina, gerakan yang sarat makna, seolah mencari jejak kehangatan yang baru saja menyelinap."Cuma penasaran aja," bisiknya pelan, nyaris gumaman. "Seems like we already knew each other… for a long time." Tatapannya dalam, intens, namun dibungkus ketenangan yang menggoda.Vina melangkah lebih dekat, keintiman di antara mereka semakin kentara. Jari-jemarinya yang lembut mengusap pipi Valdi. Nada suaran
Beberapa hari berlalu. Siang itu di rumah sakit terasa sunyi, namun udara di sekitar kamar VIP Valdi terasa penuh ketegangan yang tak terlihat. Di dalam, Valdi sedang duduk di ranjangnya, mendengarkan tim dokter dari Singapura yang menjelaskan panjang lebar soal kondisinya. Suara percakapan mereka terdengar formal, cepat, dan penuh istilah sulit yang tak dikenal Valdi—namun ia tetap menyimak dengan serius.Di luar pintu, Mayang berdiri mematung, tubuh mungilnya menempel ke dinding. Ia berjinjit, mengintip dari celah jendela kaca kecil. Tak satu kata pun dari diskusi di dalam yang bisa ia pahami. Tapi melihat raut wajah dokter dan Valdi yang tidak terlihat panik, setidaknya sedikit menenangkan hatinya. Ia menggenggam erat nampan berisi makan siang Valdi yang mulai dingin.Namun tiba-tiba, di ujung koridor yang sepi, terdengar derap langkah pelan dan suara
Suara napas Anya terdengar pelan tapi berat. Di antara ketegangan yang menggantung di udara kamar, ia mencoba merespons dengan nada yang terdengar terkendali. "Val… kamu salah paham. Aku sama Evan itu cuma rekan kerja."Celine langsung memotong dengan cepat. "Rekan kerja? Bukannya loe berdua udah kenal dari kuliah?"Anya menoleh tajam ke arah Celine. Nada suaranya naik sedikit, matanya menyipit. "Apa sih, Cel? Loe tuh ada masalah apa sih dari dulu sama gue?!"Lalu ia kembali menatap Valdi, mencoba mengembalikan fokus. "Val, kita emang udah kenal lama dari kuliah, iya. Tapi hubungan kita nggak seperti yang kamu pikirin. Aku nggak mau kamu salah paham dalam kondisi kayak gini."Valdi menatapnya. Sorot matanya tak lagi meledak-ledak. Tidak ada amarah, tidak juga kese