Se connecterSiang itu kantin kampus cukup ramai. Suara sendok beradu dengan piring bercampur obrolan mahasiswa yang datang dan pergi. Wulan duduk berhadapan dengan Maudy, segelas es teh di tangannya sudah hampir habis. “Dy,” kata Wulan membuka obrolan, nadanya pelan tapi jelas penasaran. “Kenapa sih kamu tiba-tiba bilang mau nikah kemarin? Aku kaget, tau.” Maudy menghela napas pendek, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ya gak tiba-tiba juga sih, Lan,” katanya. “Aku dijodohin.” Wulan langsung mengangkat alis. “Dijodohin?” “Iya,” jawab Maudy sambil memainkan sedotan. “Sama temen kecilku. Anak dari temennya Papah.” “Terus kamu… mau?” tanya Wulan ragu. Maudy tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip pasrah. “Ya, mau gak mau, Lan. Gak mungkin juga aku nolak,” katanya jujur. “Papah seneng banget. Aku gak tega bikin dia kecewa.” Wulan terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan. “Hmm…” “Berat juga ya.” Maudy lalu mengalihkan pandangan ke arah Wulan. “Eh, kalo di kosa
Raga duduk di samping Wulan, menatap layar laptop yang terbuka di atas meja kecil. Tangannya sesekali menunjuk baris-baris tugas, tapi matanya justru menangkap wajah Wulan yang terlihat murung, bahunya turun, geraknya lambat. “Kenapa sih kamu dari tadi nggak semangat gitu?” tanya Raga akhirnya, menoleh penuh perhatian. “Gak apa-apa,” jawab Wulan cepat, terlalu cepat. Raga tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya dan mengelus kepala Wulan pelan. “Kalo kamu gak semangat begini, aku bantuinnya juga jadi gak semangat nih.” Wulan langsung menoleh. “Lah, kalo bantuin tugasku gak semangat? Trus kalo bantuin Mbak Elistia semangat gitu, Mas?” Raga terkekeh pelan sambil menggeleng. “Kamu cemburu sama Elistia?” katanya ringan. “Kenapa sih?” Wulan menunjukkan wajah kesalnya. “Soalnya dia genit banget,” ucapnya. “Nyamperin Mas mulu. Males liatnya, tau.” Raga tersenyum, nada suaranya sengaja dibuat bercanda. “Ya gak usah diliat.” Belum sempat Raga lanjut bicara, Wula
Raga berdiri di atas bangku kecil, satu tangan menahan ujung wallpaper, tangan satunya lagi meratakan permukaannya dengan kain kering. Dinding kamar Rahma perlahan berubah, motifnya mulai rapi tanpa gelembung. Rahma sendiri berjongkok di lantai, sesekali menyerahkan lem sambil memperhatikan hasilnya. “Mas, kurang pas yang itu,” kata Rahma sambil menunjuk sudut dinding. “Bagian situ masih miring.” Raga menunduk sedikit, menggeser posisinya. “Iya, ini bentar. Kalo keburu kering malah susah.” Rahma berdiri, menyender ke lemari kecil di sudut kamar. Nada suaranya berubah lebih santai, seperti obrolan yang sengaja ditunggu momennya. “Mas Raga tau nggak,” katanya pelan, “Wulan kemarin cerita ke aku.” Raga terkekeh kecil tanpa menoleh. “Cerita apaan lagi itu anak.” “Katanya,” Rahma melanjutkan, “semenjak ada penghuni baru si Elistia itu, Mas lebih sering ngobrol sama dia.” Raga berhenti sebentar, lalu tertawa kecil sambil menggeleng. “Ya ngobrol kan wajar lah, Ma. Masa ak
Sore itu saung terlihat lebih lengang dari biasanya. Matahari sudah condong, cahayanya masuk miring di sela-sela atap. Di sana cuma ada Laura dan Cahya. Laura duduk bersandar, sementara Cahya selonjor di bangku, satu tangan memegang camilan, satu lagi memegang ponsel. Suasana santai, nyaris tanpa suara selain angin dan dengung motor sesekali dari luar gerbang.. Langkah kaki terdengar mendekat. Raga muncul dari arah gerbang, kausnya sedikit lembap karena habis bantu-bantu Tante Maya. Begitu melihat saung, langkahnya melambat. “Ga,” panggil Laura lebih dulu. “Sini bentar.” Raga mendekat. “Kenapa, Ra?” Laura menggeser badannya sedikit, memberi ruang. “Kenalin nih, Cahya.” Cahya langsung duduk lebih tegak. Ia menurunkan camilannya, menatap Raga tanpa canggung. “Cahya.” “Raga,” balas Raga sambil tersenyum tipis. “Udah dapet kamar?” “Udah,” jawab Cahya santai. “Di samping kamar Laura.” “Oh iya?” Raga mengangguk pelan. “Enak lah gak perlu naik tangga ya.” Cahya terkekeh kecil.
Matahari naik pelan, tapi anginnya masih adem. Raga duduk sendirian di ruang tamu rumah Tante Maya yang terpisah dari bangunan kosan di depan. Pintu rumah terbuka setengah, membiarkan udara masuk bercampur aroma kopi hitam di cangkirnya. Televisi menyala sekedar agar tidak terlalu sepi. Raga lebih sibuk merokok, punggungnya bersandar malas di sofa, pikirannya entah ke mana. Dari arah kamar, suara pintu terbuka terdengar. Tante Maya keluar dengan rambut masih sedikit basah, mengenakan daster rumah yang sederhana. Handuk kecil melingkar di lehernya. Ia berhenti sejenak di ambang ruang tamu sebelum bicara. “Kamu udah diinfoin nggak ama Laura?” tanya Tante Maya. Raga menoleh, mengangkat alis sedikit. “Soal temennya yang mau ngekos ya, Tan?” jawabnya. “Iya,” kata Tante Maya sambil melangkah mendekat. “Katanya siang ini datengnya.” Raga mengangguk pelan. “Oh gitu. Iya, Tan.” Tante Maya duduk di sofa di sebelah Raga. Jarak mereka dekat—cukup dekat untuk membuat Raga sed
"Kemana sih ini anak. Di rumah gak ada, di kosa juga gak ada." Ucap Laura dengan Nada sedikit kesal setelah cukup lama mencari Raga dari Rumah Tante Maya sampai seluruh kosan. Lalu Laura mengambil air dari dapur dan berjalan kembali menuju kamarnya. Disisi lain, Raga. "Gak perlu malu atau pura-pura, Mas." Ucap Elistia di sela sentuhan hangat mereka. "Aku bukan pura-pura, aku hanya memastikan apakah tadi cuma sekedar jebakan atau permintaan Mbak." Bisik Raga, yang kemudian menjatuhkan tubuh Elista ke ranjang. Elistia tersenyum, dan membiarkan Raga melepaskan kain penutup bawahnya hingga kebagian dalam. Tanpa menunggu perintah, Elistia memberikan jalan untuk Raga dapat bermain dengan kesenangan para Pria. "Uughh!!" Elistia melenguh menikmati setiap gerakan yang di berikan Raga. Raga membenamkan Wajahnya di sela jalur kenikmatan yang sengaja di buka untuk memberi akses sepenuhnya kepada Raga. Tanpa menyiakan sedetik pun Raga memulai permainan yang mungkin pertama kali di r







