LOGINMatahari pagi baru saja naik, Raga sedang sibuk mengayunkan sapu lidi, membersihkan sisa daun kering yang berserakan di dekat pagar. Kaos oblong yang dikenakannya tampak sedikit basah oleh keringat, menempel ketat pada lekuk otot punggung dan lengannya yang kokoh. Suara langkah sepatu yang beradu dengan aspal tiba-tiba memecah keheningan pagi itu. Raga menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah sumber suara yang mendekat ke pintu gerbang. Seorang wanita berdiri di sana, memancarkan aura yang seketika membuat suasana pagi terasa jauh lebih panas. Wanita itu mengenakan blouse berwarna peach yang cukup ketat, membungkus lekuk dadanya yang sangat berisi dengan sempurna. Rok hitam yang dikenakannya hanya sebatas paha, memamerkan sepasang kaki jenjang yang mulus dan berkilau. Rambutnya yang hitam panjang tergerai indah, membingkai wajah cantiknya yang dipoles riasan kantor yang elegan namun sangat menggoda. "Permisi, Mas, apa benar di sini ada kamar yang kosong?" tanya wanita itu d
Dua minggu berlalu tanpa drama-drama berarti di rumah Tante Maya. Raga menjalani harinya dengan rutinitas membersihkan area kosan dan memastikan semua fasilitas berfungsi baik. Namun, ketenangan itu selalu terusik oleh tatapan menggoda dari para penghuni kamar bawah. Gita sering kali muncul dengan daster yang sengaja terbuka kancing atasnya saat Raga sedang menyapu teras. Wulan pun tidak mau kalah, ia kerap meminta bantuan Raga untuk hal sepele hanya agar bisa berdekatan di lorong sempit. Bagi mereka, sosok Raga adalah magnet yang tak mungkin diabaikan barang sehari pun. Terutama Wulan yang sudah mulai menaruh hati kepada Raga. Berbeda dengan Rahma dan Ningsih yang lebih memilih menyapa dengan sopan tanpa banyak tingkah. Meskipun Rahma mungkin memiliki perasaan berbeda dengan Ningsih, tapi kedewasaannya membuatnya tidak ingin terlihat berlebihan. Mereka hanya memberikan senyum simpul atau sekadar menawarkan kopi saat melihat Raga tampak kelelahan. "Mas Raga, kerahnya miring t
“Kamu yakin mau kuanter sampai sini aja?” tanya Raga sekali lagi, memastikan, saat mobil berhenti tepat di depan minimarket yang masih terang oleh lampu putih. “Iya, gapapa Mas,” jawab Maudy santai. “Dari sini aku bisa naik taksi.” Raga menoleh, tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. “Yaudah kalau gitu. Kamu hati-hati ya.” “Iya, Mas. Makasih ya, Mas.” Maudy condong sedikit, lalu mencium pipi Raga singkat—ringan, tanpa ragu. “Buruan pulang,” sambung Maudy sambil tertawa kecil. “Si Wulan rewel nanti,” godanya, sebelum membuka pintu dan turun dari mobil. Raga hanya tersenyum. Ia menunggu sampai Maudy melangkah menjauh beberapa meter, memastikan perempuan itu benar-benar aman, sebelum akhirnya menginjak pedal gas dan melajukan mobil. **** “Kamu dianter siapa?” tanya pria yang sejak tadi duduk di kursi depan minimarket, suaranya datar tapi matanya terus mengikuti arah mobil yang baru saja pergi. “Temen,” jawab Maudy singkat, tanpa berhenti melangkah. Vincent berdir
“Maudyy! Kamu kok curang sih! Nyolong-nyolong Mas Raga gituu.”Pesan itu muncul di layar ponsel Maudy saat ia sedang duduk santai di tepi ranjang hotel.Maudy tertawa kecil membaca chat itu. Raga terlihat sedang membuka koper kecil di dekat sofa, punggungnya membelakangi Maudy, sibuk mengeluarkan baju ganti.Dengan jari ringan, Maudy membalas.“Yaampun Wulan sayang, kamu tenang aja yaa. Nanti aku balikin kok.”Tak lama, balasan Wulan masuk lagi.“Iyalah, balikin lho yaa. Awas aja kalo ampe ada yang kurang.”Maudy langsung menutup mulutnya, menahan tawa. Senyumnya cengengesan, matanya menyipit geli. Tanpa sadar, ia tertawa kecil agak lama.Raga menoleh dari arah sofa.“Kamu kenapa sih, Dy?” tanyanya sambil berdiri, menutup koper.Maudy buru-buru menurunkan ponselnya.“Eh, nggak apa-apa kok, Mas. Lagi whatsapp-an aja ama temen.”Raga mengangguk, lalu berjalan ke arah jendela, membuka sedikit tirai dan melihat pemandangan malam dari balik kaca.Sementara itu, Maudy kembali melirik ponsel
“Gaa…” panggil Tante Maya yang sedang duduk santai di ruang tamu rumahnya. “Iya, Tan,” jawab Raga sambil keluar dari kamar mandi. Handuk masih melingkar di lehernya, rambutnya ia keringkan pelan sambil melangkah mendekat. “Tadi Maudy nge-WA Tante,” kata Tante Maya sambil menoleh ke arahnya. Raga berhenti di dekat sofa, lalu duduk. “WA apa, Tan?” “Dia minta izin,” lanjut Tante Maya. “Katanya mau ngajak kamu keluar.” Raga mengangkat alis sedikit. “Ngajak aku keluar? Kok dia nggak WA aku langsung ya?” Tante Maya tersenyum kecil. “Mungkin dia mau izin dulu sama Tante, baru ngomong ke kamu.” Raga mengangguk pelan. “Hm… gitu ya. Ya kalau Tante ngizinin, aku sih nggak masalah.” “Kalau kamunya mau, Tante izinin,” kata Tante Maya. “Kamu atur aja sendiri kapan perginya sama dia.” “Iya, Tan,” jawab Raga singkat. Tante Maya menatap Raga beberapa detik, lalu tersenyum dengan ekspresi setengah menggoda. “Kamu tuh idola banget di kosan, ya. Sampai Maudy yang udah nggak
"Ga, Ra… untuk sementara ini kamar Anita biarin kosong dulu aja ya,” kata Tante Maya sambil menutup pintu kamarnya perlahan. “Barang-barang dia masih lengkap di dalam kan?” Raga dan Laura yang duduk berdampingan di ruang tamu saling pandang sebentar. “Iya, Tan,” jawab mereka hampir bersamaan. Tante Maya melangkah mendekat, raut wajahnya tampak lelah. “Tadi pihak kepolisian baru ngabarin,” katanya pelan. “Katanya Anita gak punya kontak sanak saudara. Tante jadi bingung, barang-barangnya mau disimpan di mana.” Raga menghela napas sebentar, lalu duduk lebih tegak. “Gini, Tan,” ujarnya. “Kalo masih ada space sekitar dua atau tiga meter, mending minta tukang buatin ruangan kecil buat gudang.” Laura menoleh ke arah Raga, menyimak. “Biar nanti pas udah jadi, barang-barang Anita kita pindahin ke sana dulu,” lanjut Raga. “Jadi kamarnya bisa tetap kosong dan rapi.” Tante Maya menyilangkan tangan di dada, tampak berpikir cukup lama. “Hmmm…” gumamnya pelan. “Ya udah







